Senin, 15 September 2025
Beranda / Celoteh Warga / Cahaya yang Padam di Tengah Badai: 25 Tahun Kepergian Prof Safwan Idris

Cahaya yang Padam di Tengah Badai: 25 Tahun Kepergian Prof Safwan Idris

Senin, 15 September 2025 12:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Mirza Ferdian

Mirza Ferdian, Warga Banda Aceh. [Foto: dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Celoteh Warga - Pagi itu dingin. Banda Aceh diselimuti kabut kecemasan.

Tanggal 16 September 2000, baru saja memasuki jam-jam awal ketika suara tembakan membelah keheningan di kawasan Darussalam. Di sebuah rumah sederhana, tepat pukul 06.45 WIB, nyawa seorang ulama, cendekiawan, dan Rektor IAIN Ar-Raniry, Prof. Safwan Idris, direnggut secara tragis oleh peluru yang tak bertuan.

Aceh terguncang. Di tengah panasnya konflik bersenjata yang membara di awal milenium, peristiwa itu menjadi pukulan yang dalam. Bukan hanya karena kehilangan seorang akademisi, tetapi karena bangsa ini kehilangan salah satu pemikir terbaiknya, seorang putra Aceh yang bercita-cita mengubah masa depan negerinya lewat pendidikan dan keilmuan.

Prof. Safwan Idris lahir pada 5 September 1949 di Gampong Siem, Aceh Besar. Ia tumbuh dalam keluarga religius. Ayahnya, Tengku H. Idris bin Mahmud, dikenal sebagai ulama sekaligus pejuang gerakan DI/TII. Dari ibunya, Hj. Siti Hafsah binti Ali, ia mewarisi kelembutan dan kepekaan sosial.

Masa kecilnya dilalui di antara dua dunia, pendidikan formal dan pendidikan dayah. Pagi ia bersekolah, sore hingga malam ia duduk bersimpuh di Dayah Darul Ulum, Lueng Ie, tempat ia menimba ilmu agama selama lebih dari satu dekade. Perpaduan ini membentuk karakternya yang teguh dalam prinsip, luas dalam wawasan.

Tak seperti remaja seusianya pada masa itu, Safwan mengambil langkah yang dianggap tak biasa. Setelah menamatkan PGA, ia melanjutkan studi ke Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry dan memilih jurusan Bahasa Inggri, sebuah keputusan berani di tengah pandangan masyarakat yang masih memandang bahasa asing sebagai ancaman nilai-nilai agama. Namun justru dari pilihan itu, cakrawala hidupnya terbuka lebar.

Kemampuan dan ketekunannya membawanya meraih beasiswa dari Mobil Oil Indonesia untuk studi ke Amerika Serikat. Di University of Wisconsin, ia bukan hanya menempuh satu, tapi dua gelar Master sekaligus, Library Science dan Educational Policy. Dalam tiga tahun, ia menuntaskannya dengan gemilang.

Kemudian, ia melanjutkan ke jenjang doktoral (Ph.D) di universitas yang sama, yang diselesaikannya hanya dalam dua tahun, sebuah pencapaian luar biasa, bahkan untuk ukuran internasional.

Namun, alih-alih mengejar karier di luar negeri, Prof. Safwan memilih pulang ke tanah air. “Ilmu harus kembali ke umat,” begitu ia sering mengungkapkan.

Sekembalinya ke Aceh, ia segera dipercaya mengemban tanggung jawab akademik. Dari Pembantu Dekan Fakultas Tarbiyah (1983-1988), Pembantu Rektor bidang Akademik (1988-1996), hingga akhirnya diangkat menjadi Rektor IAIN Ar-Raniry (1996-2000).

Di bawah kepemimpinannya, kampus tidak hanya menjadi pusat pengajaran, tapi juga pusat perubahan. Ia memfasilitasi beasiswa lanjutan bagi dosen, mendorong transformasi IAIN menjadi research university, dan bahkan memikirkan kesejahteraan dosen melalui pembangunan perumahan di Lambaro Angan.

Tak hanya di kampus negeri, Prof. Safwan juga turut membesarkan Universitas Abulyatama, kampus swasta yang ia pimpin sejak 1984 hingga 1996. Ia merintisnya dari nol, membawa lembaga itu menjadi salah satu institusi pendidikan yang disegani.

Yang tak kalah penting, ia adalah penulis dan pemikir. Karya tulisnya, “Gerakan Zakat dalam Pemberdayaan Ekonomi Ummat”, menjadi refleksi dari pemikiran visionernya bahwa zakat bukan sekadar kewajiban ritual, melainkan instrumen untuk memberdayakan masyarakat secara ekonomi dan sosial.

Pagi itu, 16 September 2000, menjadi akhir dari perjalanan seorang pemikir besar. Peluru yang menembus tubuhnya tak hanya mengakhiri hidup seorang rektor, tapi juga memadamkan harapan besar yang sedang ia bangun untuk Aceh.

Ironisnya, hingga dua dekade lebih berlalu, pelaku penembakannya tak pernah terungkap. Keadilan seolah enggan menyentuh luka itu. Namun, yang lebih abadi dari keadilan yang tertunda adalah warisan keteladanan yang ia tinggalkan.

Sudah 25 tahun Prof. Safwan Idris pergi. Namun ingatannya tetap hidup di ruang-ruang kuliah, di kepala para dosen yang dulu ia bantu sekolah, di hati mahasiswa yang masih menelusuri jejaknya, dan di benak para ulama yang menghormatinya sebagai bagian dari mereka.

Prof. Safwan adalah satu dari sedikit akademisi yang mendapat pengakuan penuh baik di dunia intelektual maupun keulamaan. Ia menunjukkan bahwa menjadi cerdas tak berarti kehilangan kerendahan hati, bahwa menjadi ulama tak berarti menolak ilmu dari luar.

Ia selalu menekankan bahwa pendidikan harus berpihak pada rakyat. Ilmu, katanya, tidak boleh hanya berputar-putar di menara gading, tapi harus turun ke sawah, ke pasar, ke kampung untuk mengubah hidup masyarakat.

Hari ini, saat kita mengenang kepergiannya, satu pertanyaan menggema di antara ingatan,

Sudahkah Aceh melahirkan kembali pemimpin seperti Prof. Safwan Idris?

Pemimpin yang berpikir jauh ke depan, teguh dalam integritas, dan berani mengambil sikap demi kebenaran.

Ia adalah cahaya yang padam di tengah badai. Tapi cahayanya belum benar-benar hilang. Ia terus menyala, menuntun jalan bagi siapa pun yang masih percaya bahwa ilmu dan iman adalah pondasi bagi masa depan Aceh yang lebih baik.

Selamat jalan, Guru. Cahayamu masih bersama kami. [**]

Penulis: Mirza Ferdian (Warga Banda Aceh)

Keyword:


Editor :
Indri

perkim, bpka, Sekwan
riset-JSI
sekwan - polda
bpka - maulid