Beranda / Data / Kisah Pilu Partai Aceh di Banda Aceh Diawali Kejayaan Hingga Kian Terpuruk, Simak!

Kisah Pilu Partai Aceh di Banda Aceh Diawali Kejayaan Hingga Kian Terpuruk, Simak!

Minggu, 05 Mei 2024 15:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Biyu

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pusat ibukota Provinsi Aceh yakni Banda Aceh dikenal sebagai kota tua yang erat terkait dengan sejarah gemilang Kerajaan Aceh Darussalam. Bahkan, tercatat sebagai salah satu kota Islam tertua di Asia Tenggara. Lebih strategis lagi, Kota Banda Aceh juga memerankan peran penting dalam penyebaran Islam ke seluruh Nusantara. Oleh karena itu, kota ini juga dikenal sebagai Serambi Mekkah.

Ada sisi menarik jika menelisik dinamika politik lokal di Banda Aceh, khususnya pascakonflik damai. Kisah tersendiri terjadi pada tiga kali penyelenggaraan Pemilu di 2014, 2019, dan 2024.

Selama tiga kali penyelenggaraan Pemilu di Kota Banda Aceh, perlakuan berbeda diterapkan dibandingkan dengan era sebelumnya. Kontestan Pemilu bukan hanya berasal dari kalangan partai nasional, tetapi juga hadir partai lokal hasil kesepakatan MoU Helsinki antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka, yang dikukuhkan melalui payung hukum UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Menarik untuk mencermati eksistensi partai lokal di Banda Aceh, yakni Partai Aceh. Di sinilah tim riset Dialeksis.com menelusuri sepak terjang partai jebolan mantan GAM dan kombatan tersebut.

Tim Dialeksis memulai dengan sejarah Partai Aceh yang terbentuk pada 7 Juli 2007. Partai ini pertama kali mengikuti Pemilu Legislatif 2009 dan memperoleh 33 kursi dari 69 kursi parlemen. Pada Pemilu 2014, Partai Aceh memiliki 29 kursi dari 81 kursi parlemen, sedangkan pada Pemilu 2019, hanya mendapat 18 kursi dari 81 kursi. Namun, pada momentum Pemilu 2024, eksistensi Partai Aceh kembali bangkit dengan mendapatkan 20 kursi dari 81 kursi di DPRA.

Jika mengecilkan fokus pada eksistensi Partai Aceh di Kota Banda Aceh, terutama di DPRK Banda Aceh, terdapat 30 kursi anggota DPRK yang dipilih secara langsung dalam Pemilu Legislatif setiap lima tahun sekali.

Distribusi kursi antara Pemilu 2019 dan Pemilu 2024 mengalami pergeseran. Jika di Dapil II Kecamatan Kuta Alam pada Pemilu 2019 memiliki 6 kursi, maka pada Pemilu 2024, kuotanya hanya 5 kursi. Sebaliknya di Dapil V Kutaraja dan Meuraxa, pada pemilu 2019 4 kursi menjadi 5 Kursi dikarenakan pertumbuhan penduduk meningkat di dapil tersebut.

Temuan tim Dialeksis pada Pemilu 2014 di Kota Banda Aceh menunjukkan bahwa Partai Aceh hanya mendapatkan 4 kursi. Selanjutnya, pada Pemilu 2019, mereka memperoleh 2 kursi, dan di Pemilu 2024, Partai Aceh sama sekali tidak mendapatkan kursi.

Dari data tersebut, tim Dialeksis menyimpulkan bahwa eksistensi Partai Aceh di Kota Banda Aceh mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Awalnya, mereka mendapat kursi pimpinan hasil Pemilu 2014, tetapi pada pemilu selanjutnya, kursi tersebut hilang dan Partai Aceh tidak mendapatkan kursi sama sekali di Pemilu 2024.

Berdasarkan temuan data dari tim Dialeksis, pada Pemilu 2014, kader Partai Aceh yang duduk di DPRK Kota Banda Aceh adalah T. Hendra Budiansyah (Dapil II), Bunyamin (Dapil III), Razali Ismail (Dapil IV), dan Tasrif (Dapil V).

Pada Pemilu 2019, hanya tersisa dua kader Partai Aceh, yakni T. Hendra Budiansyah (Dapil 2: Kuta Alam) dan Bunyamin (Dapil 3: Syiah Kuala dan Ule Kareng). Jika merujuk pada data perbandingan Pemilu 2014 dan 2019, kursi Partai Aceh hilang di Dapil IV dan V.

Bahkan, yang lebih miris lagi, pada Pemilu 2024, Partai Aceh sama sekali tidak mampu mempertahankan kursi di DPRK Kota Banda Aceh. Mereka yang terpilih semuanya berasal dari kalangan partai nasional, artinya eksistensi Partai Aceh kian terpuruk di Banda Aceh.


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda