Beranda / Liputan Khusus / Dialetika / 16 Tahun Damai, Apa Kabar Aceh?

16 Tahun Damai, Apa Kabar Aceh?

Rabu, 18 Agustus 2021 07:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Bahtiar Gayo
Perdamaian Aceh. (Foto/Antara)

Sejarah sudah membuktikan, rakyat yang hidup di Bumi Serambi Mekkah tidak terlepas dari peperangan. Cukup banyak sudah aliran darah menetes dan nyawa yang melayang di negeri ujung barat Pulau Sumatera ini.

Beragam peperangan sudah diukir, sejarah panjang perang itu telah membuat Aceh menjadi perhatian. Bahkan tidak sedikit para peneliti dunia menjadikan Aceh sebagai laboratorium dalam melakukan riset dan studi kajian terkait konflik dan perdamaian.

Terahir (semoga tidak ada konflik lagi) pertikaian berdarah antara GAM dan NKRI. Pertikaian yang banyak meminta tumbal nyawa, darah dan air mata ini, berahir dalam sebuah perdamaian. Perdamaian 16 tahun lalu itu dikenal dengan MoU Helsinki.

Proses perdamaianya juga terbilang panjang dan berliku, kini bumi Iskandar Muda ini sudah merasakan alam damai tanpa letusan senjata yang meminta tumbal nyawa, meminta darah dan air mata.

Bagaimana perdamaian di Aceh dan apa yang sudah dilakukan manusia di Aceh dalam mengisi perdamaian, serta apa lagi yang harus dilakukan kedepanya agar perdamaian ini awet, sampai ahir zaman?

Perdamaian Aceh dapat tercipta karena Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberikan ruang dan ihlas. Sehingga tidak ada lagi mereka yang meregang nyawa dibumi Aceh akibat pertikaian.

Sikap SBY ini hingga 16 tahun Aceh damai (2021) mendapat pujian dan ucapan terima kasih dari berbagai pihak. Prof. Dr. H. Apridar, SE, MSi guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh menilai, 16 tahun perdamaian Aceh adalah buah dari keberanian dan konsentesi Presiden SBY.

“Perdamaian Aceh melalui Nota Kesepahaman Helsinki (2005) merupakan tonggak sejarah yang mengubah 'Image' dunia terhadap Indonesia. Inilah kemudian yang menjadikan Aceh sebagai laboratorium perdamaian dunia,” sebut Afridar.

Menurut Apridar, proses perdamaian yang terjadi di Aceh, tidak terlepas dari keberanian pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam menyikapi peluang yang muncul paska tsunami di Aceh (2004).

Presiden SBY sebagai Panglima Tertinggi TNI dengan teguh dan konsisten mengedepankan pendekatan kemanusiaan. Berani meninggalkan pendekatan keamanan dalam menyelesaikan konflik bersenjata di Aceh.

Pendekatan keamanan yang cenderung represif harus ditinggalkan, karena selalu gagal menyelesaikan konflik yang sudah berlangsung lebih dari tiga dekade. Bahkan pendekatan represif lah yang sejatinya selalu menimbulkan masalah baru di Aceh, sebut Afridar.

Guru besar ini mengucapkan terima kasih kepada pemerintahan SBY. Selanjutnya tugas semua pihak untuk melanjutkan estafet, menjaga, merawat, dan mengisi perdamaian dengan pembangunan dan kontribusi nyata.

16 tahun perdamaian Aceh (15/08/2021) juga dikenang oleh junior SBY. Dalam sebuah keteranganya AHY (ketua Demokrat) selain mengucapkan selamat atas perdamaian Aceh, juga menyampaikan harapan agar perdamaian ini terus dipelihara dan pembangunan di Aceh tetap berkelanjutan.

“Meski masih banyak tantangan yang harus diselesaikan, perdamaian menjadi fondasi yang kokoh untuk berkembang.Semoga harapan-harapan masyarakat Aceh bisa tercapai. Dengan solidaritas dan kolaborasi, Insyaallah Aceh bisa terus maju kedepan. Selamat memperingati Hari Damai Aceh ke-16,” sebut AHY.

Konflik Aceh antara GAM dengan pemerintah RI berlangsung selama 30 tahun. Tentunya perdamaian yang tercipta bukan hanya diperingati sekedar serimonial atau tradisi. Harapan itu disampaikan mantan Gubernur Aceh dr. Zaini Abdullah.

“Peringatan MoU Helsinki ini jangan hanya sekedar tradisi, tetapi harus diimplementasikan butir-butir yang sudah tertulis sebagai substansi MoU Helsinki. Selama ini hal itu belum berjalan dengan mulus,"sebut Zaini, yang disiarkan langsung via channel Youtube tvriacehofficial.

Menurut Zaini Abdullah, banyak faktor-faktor yang sampai sekarang belum tuntas terutama persoalan bendera, itu dari awal sampai sekarang belum terselesaikan.

Lain lagi yang disampaikan pengamat kebijakan publik Aceh, Nasrul Zaman. Dia meminta semua pihak untuk tidak menumbuhkan rasa curiga. Dalam memelihara perdamaian Aceh ini hilangkanlah rasa saling curiga dan fokus untuk memperkuat Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA).

“Jangan ada lagi curiga terhadap mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), TNI dan curiga terhadap Polri, karena semuanya menjadi instrument penegakkan keadialan Aceh. Mari sama sama kita melihat Aceh untuk mewujudkan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat,” ujar Nasrul Zaman kepada Dialeksis.com.

Demikian dengan turunan turun UUPA, Pemerintah Aceh harus fokus dan apa saja persoalan yang dibutuhkan, misalnya untuk persoalan investasi Aceh, maka belum ada satu pun qanun yang didorong untuk melakukan percepatan investasi Aceh.

Seharusnya untuk persoalan bisnis itu dilakukan oleh Pemerintah Aceh dan bukan kewenangan Pemerintah Pusat. Maka dalam hal tersebut Pemerintah Aceh belum bergerak secara cepat untuk menyelesaikannya.

Aceh Saat Ini

Sosiolog, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Dr. Otto Syamsuddin Ishak menilai kebijakan pembangunan di Aceh sangat buruk, karena tidak menyelesaikan persoalan di akar rumput.

“Jika dikiaskan dalam Bahasa Aceh asoekaya kajeut keu boh labu (srikaya malah jadi buah labu). Kalau diistilah negara ini gagal, provinsi Aceh adalah provinsi yang gagal,” sebut Otto.

Mengapa demikian? Menurut Otto hal yang tidak kalah penting untuk dilakukan adalah juga untuk merenungkan kembali ucapan juru runding GAM, pada saat perundingan di Helsinky.Khususnya yang dulunya dikampanyekan oleh pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

“Misalnya mereka berdebat soal Self-determination, lalu mengatakan Aceh akan seperti Singapura dan Hongkong kira-kira begitu," sebut Otto.

Ada juga istilah yang sering didengungkan, menyoe aweuk ka bak jaroe droe bamandum jeut tapeuget (kalau alat centong sudah di tangan kita semua bisa kita buat). Boh labu jeut keu asokaya (buah labu bisa menjadi srikaya),” ujar Otto.

Paska MoU Helsinky, kata Otto, secara umum parlemen di setiap kabupaten dan kota, pasti banyak dari Partai Aceh, demikian dengan kepala daerah. Begitu juga di level provinsi. Pemerintah dan parlemen didominasi oleh Partai Aceh.

Untuk eksekutif ada nama Irwandi Yusuf, Zaini Abdullah, bahkan Muzakir Manaf. Kemudian disambung kembali oleh Irwandi dan dilanjutkan Nova Iriansyah (Demokrat). Kesemua mereka itu adalah Partai Aceh sekaligus tercatat sebagai pejuang GAM.

“Tapi apa yang terjadi dalam kenyataan sekarang, kita bisa lihat misalnya sisa anggaran tetap terjadi setiap tahun. Koordinasi yang buruk antar institusi yang ada di Aceh. Adanya kemiskinan serta pengangguran," sebut Otto.

Koordinasi yang buruk itu secara horizontal antara eksekutif dan legislatif, antar SKPA.Antara lembaga lama dan baru yang dibentuk karena adanya mandat UUPA. Seperti Lembaga Wali Nanggroe, bagaimana koordinasinya dengan Majelis Pendidikan, adat dan Majelis Ulama.

Otto menilai, pada masa BRR angkan kemiskinan bisa turun setiap tahunya mencapai 2 persen. Tetapi ketika BRR selesai, angka kemiskinan yang menurun hanya nol koma persen saja.

Otto Syamsuddin menyarankan agar struktur pemerintah di Aceh dievalusi. Sehingga, koordinasi tidak macet. Distribusi kekuasaan akan diisi oleh manusia yang tepat. Qanun juga harus diecaluasi, sejauh mana kecocokaannya denga UUPA dan MoU Helsinky.

Ia juga mengusulkan agar semua produk qanun di Aceh berdasarkan Maqasid Syariah, karena konteks Aceh merupakan konteksi negeri Syariah. Maqasid Syariah sangat cocok dengan konteks nasional, karena tidak radikal. Bahkan menjadikan Aceh yang inklusif, sebut Otto.

Lain lagi penilaian pengamat Ekonomi dan Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala (USK), Dr. Amri, SE, MSi, Menurutnya, Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh terdiri dari 273 Pasal itu bagus sekali,Tetapi yang menjadi persoalan adalah tataran Implementasi.

“Dari 273 pasal saya lihat salah satunya dipemberdayaan ekonomi, kemudian penekanan pemberdayaan sumber daya manusia (SDM), pemberdayaan bidang politik, pemberdayaan bidang sosial dan budaya, dan yang wujud terkahir semuanya adalah perdamaian abadi,” ucapnya.

Lebih lanjut ia menjelaskan, yang dimaksud dari kelima variabel yang disebutkan adalah kesejahteraan rakyat. Kemudian pada topik yang kedua tentu ada indikator-indikator ekonomi makro, yang dimana angka-angka tersebut tidak bisa berkhayal.

“Pertama saya melihat dari indkator kesejahteraan rakyat dari tingkat regional 23 kab/kota, 286 Kecamatan dan 6496 Gampong. Saya melihat tingkat kemiskinan sebesar 15,43 persen di kota dan di pedesaan sebesar 17,96 persen. Tingkat pengangguran tertinggi di sumatera dan angka rasio 0.319,” sebutnya.

Ini mengartikan tidak terjadi pemerataan ekonomi di 23 kab/kota, dan pertumbuhan ekonomi sangat rendah se-sumatera, sebut pengamat ini ketika dilangsungkan dialog Suara Publik TVRI dengan tema 16 Tahun MoU Helsinki dan Kesejahteraan Rakyat.

Hasil dari MoU Helsinki ujungnya, menurut Amri, Aceh mendapatkan dana dari tahun 2008 sampai 2021 melalui Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA). Data yang sudah diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia (RI) lebih kurang mencapai Rp 88 Trilliun. APBA itu bukan hanya DAU, DAK, PAD, dan dana transfer migas yang rata rata mencapai Rp 17 Trilliun.

Aceh mendapat DOKA bukan karena keistimewaan saja tapi kekhususan, yang seharusnya dana kekhususan ini bisa dioptimalkan untuk pemberdayaan ekonomi, sebutnya.

“Ketika nanti Aceh sudah tidak mendapat DOKA, masyarakat level bawah bisa keluar dari garis kemiskinan. Janganlah melihat Aceh dikota saja, tapi lihat di desa-desa. Ini yang menjadi persoalan hari ini, pada tataran implementasi MoU Helsinki, sehingga kesejahteraan rakyat tidak tercapai,” ucap Dr Amri.

Amri menilai, dari daya yang ada menunjukkan indikator ekonomi makro (IME) Provinsi Aceh belum tercapai seperti yang diharapkan. Ada yang salah dalam management pemerintahan, terutama dalam pemanfaatan DOKA sejak 2008 sampai 2021.

DOKA belum tepat sasaran dan tidak sesuai dengan Qanun yang meliputi pemberdayaan ekonomi masyarakat, pendidikan, kesehatan, atau untuk Keistimewaan Aceh.

BRA Bagaimana Kabarmu?

Keberadaan Badan Reintegrasi Aceh (BRA) selama 16 tahun di Aceh dinilai tidak memberikan suatu dampak signifikan terutama terhadap pemenuhan dan penyelesaian hak-hak korban konflik.

Tolak ukur dalam menjalankan kelembagaan tidak berpijak kepada perencanaan yang tepat sasaran, tepat manfaaat dan tepat guna. Sehingga terkesan keberadaan BRA sebatas menghabiskan uang APBA semata, demikian penilaian Farnanda, pengamat politik dan pemerintahan, sekaligus Peneliti Jaringan Survei Inisiatif (JSI).

“Keberadaan BRA disinyalir memilki muatan kepentingan pada elit dan kelompok tertentu yang membuat pendistribusian pelayanan kepada masyarakat Aceh yang terkena imbas konflik tidak merata,” sebutnya.

Catatan JSI, jelas Farnanda, terdapat sejumlah persoalan yang menggelayuti lembaga BRA. Mulai dari ketidakharmonisan di internal lembaga, mencuatnya kasus dugaan pelecehan seksual yang menyeret nama seorang deputi BRA.

Persoalan dominasi elit lokal dalam struktrur kepemimpinan BRA, sampai munculnya program diluar nalar, seperti pengadaan handuk telah memicu polemic.

Keberadaan BRA harus dievaluasi secara komprehensif dengan melibatkan pihak eksternal yang independen. Hasil dari evaluasi itu nantinya akan dijadikan dasar kebijakan untuk mengambil keputusan. Apakah BRA harus berlanjut atau dibubarkan sebagai lembaga mengurus korban konflik,” jelas Farnanda.

Menurut Farnanda, tujuan didirikan BRA adalah dalam rangka reintegrasi terhadap mantan pasukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan tahanan politik yang memperoleh amnesti, serta masyarakat yang terkena dampak konflik demi penguatan perdamaian.

"Secara legalitas kelembagaan, kedudukan BRA tidak dijelaskan secara detail dalam Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA)," sebutnya.

Peran dan tupoksi BRA selama ini dinilai tumpang tindih dengan keberadaan SKPA lain yang juga berwenang menyelenggarakan fungsi BRA.Seperti, pemberdayaan dan pengembangan ekonomi, pemberdayaan dan bantuan sosial serta penyediaan lahan pertanian, kelautan dan perikanan serta lapangan pekerjaan.

Bagaimana penilaian Nova Iriansyah, Gubernur Aceh menanggapi perdamaian Aceh yang sudah berlangsung selama 16 tahun ini? Dalam peringatan damai Aceh yang diselengarakan BRA, Nova menyampaikan sambutan tertulisnya yang dibacakan asisten umum, Ikandar.

Menurut Nova, selama 16 tahun perdamaian pasca konflik, Aceh telah mengalami banyak kemajuan di berbagai sektor pembangunan, baik ekonomi, pendidikan, infrastruktur dan berbagai sektor penting lainnya.

Perdamaian benar-benar menjadi fondasi dalam mensukseskan pembangunan menuju Aceh yang bermartabat. Meskipun berbagai tantangan kerap muncul selama 16 tahun usia perdamaian.Terutama sejak dua tahun terakhir ketika pandemi Covid-19 melanda dunia termasuk Aceh, jelas Nova.

“Untuk merawat perdamaian, maka aspek bina damai perlu menjadi tanggung jawab berbagai elemen penting di Aceh. Kolaborasi berbagai pihak dalam menanggulangi wabah covid-19 juga menjadi salah satu bagian dalam melaksanakan bina damai di Aceh,” sebut Gubernur Aceh.

"Badan Reintegrasi Aceh (BRA) dan SKPA terkait lainnya harus mampu mengintegrasikan pendekatan yang terbaik terhadap permasalahan yang terjadi dalam upaya penanganan pandemi di masa damai," pinta Gubernur.

"Kita patut bersyukur, bahwa kesuksesan bina damai yang berkelanjutan pasca konflik di Aceh telah mendapat perhatian dan dijadikan model bagi beberapa kawasan negara di Asia Tenggara, seperti Myanmar dan Filipina," kata Iskandar.

Bahkan tak sedikit para peneliti dunia menjadikan Aceh sebagai laboratorium dalam melakukan riset dan studi kajian terkait konflik dan perdamaian. Dalam kesempatan itu gubernur mengucapkan terima kasih kepada semua pihak dan mengajak seluruh komponen masyarakat Aceh, agar terus bersatu padu, bahu membahu menjaga dan merawat perdamaian dengan kebersamaan.

Nova ada menyebutkan sejak paska damai, Aceh sudah banyak mengalami kemajuan. Namun gubernur tidak menyebutkan rincian kemajuan itu,apa yang akan dilakukan ke depan, serta apa terobosan yang sebaiknya dilakukan guna mengatasi beragam persoalan yang ada.

Simaklah apa yang disampaikan Ketua Badan Reintegrasi Aceh (BRA) Fakhrurrazi Yusuf, dalam acara resepsi damai Aceh ke 16. Ia mengatakan, pihaknya siap untuk terus menjalankan tugas dalam rangka mewujudkan reintegrasi Aceh dengan melakukan berbagai program untuk keberlanjutan perdamaian dan membangun Aceh lebih baik lagi.

Salah satu program yang telah lakukan adalah memberikan lahan pertanian untuk mantan kombatan, tahanan politik dan korban konflik. Selama tahun 2019 sampai 2021 dilakukan sertifikasi dan menyerahkan 3.575 hektar lahan di Aceh Utara, Aceh Timur, Pidie Jaya kepada mereka yang diamanatkan dalam MoU Helsinki, kata Fakhrurrazi.

Untuk tahun depan pihaknya kembali akan menyerahkan 1.000 hektar lahan di Nagan Raya.Pada tahun 2021 BRA telah memberikan bantuan kepada 463 orang masyarakat Aceh yang terdampak konflik. Pada tahun yang sama juga pihaknya menyerahkan bantuan sosial kepada 200 orang anak yatim.

Dalam tahun ini pihaknya gencar mensosialisasikan sejarah perdamaian dan konflik Aceh kepada siswa SMA dan SMP. Menurutnya itu penting agar generasi muda mengetahui sejarah dan menjadikan pelajaran untuk pembangunan Aceh.

Aceh sudah memasuki masa damai selama 16 tahun. Ada yang menilai Aceh masih carut marut, bahkan ada yang memberi penilaian gagal. Namun ada juga yang menyebutkan banyak kemajuan yang telah dicapai Aceh.

Walau Aceh mendapat dana yang cukup besar sejak 2008 sampai saa ini (Rp 88 trilyun dan 17 trilyun dana untuk APBA dari sumber lainya), ada satu yang menyentakan, Aceh masih menjadi provinsi termiskin di Sumatra.

Semoga perdamaian ini terus dipelihara, jangan ada lagi pertumpahan darah dan tumbal nyawa. Jangan ada lagi desingan mesiu diantara ratap tangis. Aceh sudah mengores sejarah dengan perang panjang. Kedamaian itu mahal harganya, maka wajib dipelihara.*** Bahtiar Gayo


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda