Beranda / Liputan Khusus / Dialetika / Menyoal Regulasi Kesetaraan Bacaleg di Aceh

Menyoal Regulasi Kesetaraan Bacaleg di Aceh

Minggu, 25 Desember 2022 17:30 WIB

Font: Ukuran: - +


Ilustrasi caleg. Foto: Ist

DIALEKSIS.COM | Dialektika - Berapa persen kouta Bakal Calon Legeslatif (Bacaleg) di Aceh? Apakah persentasenya sama antara Partai Lokal dan Partai Nasional? Apakah pengalaman Pemilu 2019 terulang kembali, dimana soal persentase kouta Bacaleg ini menjadi perselisihan.

Keputusan jumlah kuota pengajuan bakal calon legislatif (bacaleg) untuk anggota DPR Aceh dan DPRK sedang dinantikan. Apakah untuk Parlok setera dengan Parnas (Partai Nasional) masing-masing mengajukan 100 persen, atau untuk Parlok mencapai 120 persen?

Komisi Pemilihan Umum (KPU) mewajibkan partai politik untuk memperhatikan kuota pengajuan bacaleg paling banyak 100 persen dari jumlah kursi di daerah pemilihan. Bagaimana dengan Aceh yang memiliki Qanun No.3/2008 tentang Partai Politik Lokal Peserta Pemilu Anggota DPRA dan DPRK?

Dalam Qanun ini disebutkan bahwa daftar Bacaleg dari Parlok memuat kuota paling banyak 120 persen dari jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan, dan memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan.

Kouta persentase ini kembali menjadi pembahasan yang membuat perpolitikan di Aceh sedikit memanas. Bagaimana tanggapan dari para pihak dan pengamat politik di Aceh soal ini. Dialeksis.com merangkumnya.

Pihak Komisioner Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, belum berani memutuskan tentang kepastian soal persentase antara Parlok dan Parnas dalam pesta Demokrasi di Aceh pada Pemilu 2024 ini.

Ketua KIP Aceh Munawarsyah ketika Dialeksis.com meminta keteranganya soal kuota yang diributkan ini, belum berani menyatakan dengan pasti, regulasi mana yang akan mereka terapkan dalam Pemilu di Aceh.

Munawarsyah menyatakan bahwa untuk Pemilu 2024 kemungkinan penerimaan pengajuan bacaleg dari parpol lokal maupun parpol nasional akan tetap mengikuti alur dari pengalaman Pemilu 2019.

“Untuk saat ini belum ada PKPU baru tentang pencalonan untuk Pemilu 2024. Jika merujuk pada apa yang diterapkan pada Pemilu 2019, KPU hanya mengakomodir pengajuan 120 persen Bacaleg dari Parpol lokal dan tetap 100 persen untuk Parpol nasional,” jelas Munawarsyah.

Ketua KIP Aceh ini tidak mau memberikan komentar lebih jauh, pihaknya menunggu PKPU baru tentang pencalonan pada Pemilu 2024 ini.

Bagaimana tanggapan Jubir Partai Aceh, keputusan KIP Aceh dalam menentukan kouta sangat mempengaruhi jumlah kadernya yang akan meramaikan pesta demokrasi dua tahun mendatang.

Saat dihubungi, Juru Bicara Partai Aceh, Nurzahri menyatakan bahwa persolan mengenai kuota pengajuan bacaleg untuk parlok pada Pemilu 2024 hanya bisa dijawab oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh selaku penyelenggara Pemilu.

“Kayaknya sih masih seperti Pemilu 2019, tetapi teknisnya lewat penetapan keputusan KIP. Namun apakah KIP sudah mengeluarkan terkait hal ini atau belum. Pertanyaan ini hanya lembaga KIP yang bisa jawab,” ujar Nurzahri kepada reporter Dialeksis.com, Banda Aceh, Rabu (21/12/2022).

Nurzahri menyatakan, Partai Aceh sebagai peserta Pemilu sangat menghormati aturan. Pada Pemilu 2019 sempat terjadi selisih paham tentang pengajuan bacaleg antara DPR Aceh dengan KIP Aceh, karena pada waktu itu KPU melampirkan surat yang mana menyebutkan kuota Bacaleg adalah 100 persen.

“Persoalan kuota 120 persen ini di Pemilu 2019 memang sempat ada ketegangan, tapi itu terjadi antara DPR Aceh dengan KIP Aceh. Kami sebagai peserta Pemilu mengikuti aturan yang ditetapkan. Prinsip kekhususan Aceh bukan hanya di masalah 120 persen saja, tetapi ada syarat tambahan seperti tes baca Alquran yang mana persyaratan tersebut berbeda dengan nasional,” tutur Nurzahri.

Jubir Partai Aceh itu kembali mengingatkan bahwa KIP Aceh punya kewenangan khusus yang diamanatkan undang-undang, yang mana bisa menetapkan sendiri tanpa intervensi dari KPU, karena KIP Aceh bersipat independen walaupun bagian dari KPU RI.

Menurutnya, KIP Aceh harus punya keberanian untuk menjalankan wewenang yang diberikan undang-undang, karena polemik Pemilu 2019 dan Pemilu 2014 terjadi akibat munculnya keragu-raguan dari komisioner KIP Aceh.

“Penetapan kuota 120 persen di Pemilu 2019 memang agak berlarut-larut, tetapi akhirnya ditetapkan juga menjadi 120 persen. Kalau saja KIP Aceh punya keberanian untuk menetapkan di awal, pasti tidak akan muncul polemik dikemudian hari,” sebutnya.

Bagaimana pandangan Pemerhati Pemilu dan Pilkada Aceh? Hendra Fauzi, salah seorang pemerhati Pemilu dan pemerintahan, dalam bincang-bincangnya dengan Dialeksis.com, mengurai pengalaman Pemilu 2019.

Menurutnya, penetapan bakal calon di dalam Pasal 17 Qanun Aceh No. 3 Tahun 2008, disebutkan bahwa ‘daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Qanun tersebut memuat paling banyak 120 persen dari jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan.

Misalnya, kata dia, dalam satu Dapil di provinsi lain terdapat 10 setelah perhitungan jumlah penduduknya, tapi di Aceh ditambah 20 persen lagi.

Hal yang menjadi masalah, kata Fauzi, di KPU RI ada yang namanya Sistem Aplikasi Calon. Dan sistem aplikasi ini dipakai menyeluruh oleh seluruh Indonesia, dan secara Indonesia mengangkut kuota 100 persen, bukan 120 persen.

“Sedangkan di Aceh kan nggak kayak gitu. Ketika kita input nanti biasanya membal tuh. Walaupun nanti ujung-ujungnya bisa juga, biasalah, ribut dulu KIP Aceh dengan KPU RI, baru nanti dimasukin,” ujar Fauzi kepada reporter Dialeksis.com.

Ppernah ada debat antara KIP Aceh dengan KPU RI karena Sistem Aplikasi Calon nggak tersedia slot untuk menginput nama-nama peserta bakal calon ke aplikasi tersebut.

“Jadinya banyak partai politik (Parpol) yang menggugat KIP Aceh. Tapi setelah diperpanjang baru dibuka slot,” jelas Fauzi.

Bagi Fauzi, kejadian demikian berefek kepada sosialisasi setiap kali masuk pencalonan. Dan jadinya KIP Aceh harus mensosialisasikan kembali dengan aturan yang tersedia, karena kalau tidak dimasukkan semua, dirasa masih ada yang tertinggal, dalam artian KIP Aceh bekerja dua kali.

Berkaca pada Pemilu 2019 kemarin, Fauzi mengatakan ada kejadian aneh. Karena kuota 120 persen hanya diterima dari partai lokal saja, sedangkan partai nasional tidak.

Kalau kejadian seperti ini kembali terulang di tahun 2024, menurut Fauzi, berarti penyelenggara Pemilu tidak menganut asas kesetaraan dan partisipatif yang sederajat sesama parpol. kesannya seperti 10 banding 12. Dalam artian bagi yang 12 ini peluangnya terbuka lebih lebar.

Makanya menurut Fauzi, kesetaran partai lokal dan partai nasional di Pemilu 2024 harus terwujud, agar partisipasi dalam kontestasi politik lebih adil dan merata.

Fauzi menilai perlu ada peran pemerintah untuk membantu mensosialisasikan partai-partai yang ikut jadi peserta Pemilu, baik untuk partai lokal maupun partai nasional. Disosialisasikan kepada masyarakat dengan penekanan konsep penyamarataan, sehingga tidak ada partai yang terdiskredit, Pemilu bisa terlaksana secara pure dan fair.

Makanya dalam upaya ini, Fauzi menganggap perlu ada tambahan dana Pemilu yang lebih untuk Aceh, karena Aceh adalah provinsi khusus. Termasuk bagaimana upaya meng-create dan me-manage partai nasional dan partai lokal. Bisa saja dari calon pesertanya, atau dari tes uji baca Alquran umpamanya.

“Nah, ini perlu peran pemerintah hari ini untuk segera mensinergikan dengan KPU RI. Jangan nanti diujung baru kelihatan masalahnya. Padahal ini terus berulang-ulang,” tandasnya.

Menurut Fauzi, semua ungkapan yang disebutkannya ini perlu disampaikan, mengingat poin penting Pj Gubernur Aceh Achmad Marzuki yang meminta daerah untuk menyukseskan Pemilu 2024.

Hanya saja, Fauzi mengaku belum melihat ada persiapan yang betul-betul sistematik ke arah penyuksesan Pemilu 2024. Masih dianggap Pemilu Aceh sama seperti Pemilu di daerah-daerah lain.

Ada catatan menarik dan perlu dijelaskan bahwa tahapan Pemilu di Aceh tidaklah sama seperti tahapan-tahapan Pemilu di provinsi lain. Katakanlah semisal tes uji baca Alquran bagi Bakal Calon Anggota Legislatif (bacaleg) di Aceh yang memang dijadikan sebagai salah satu syarat yang wajib dipenuhi. 

Jika syarat ini tak terpenuhi, maka calon tersebut dipastikan gugur. Pada Pemilu 2019, di Aceh telah dilaksanakan tes baca Alquran bagi bacaleg Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh yang digelar di salah satu gedung Asrama Haji, Banda Aceh.

Sementara Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia menyatakan bahwa tes baca Alquran tidak akan mempengaruhi syarat pencalonan kontestan Pemilu. Karena tes baca Alquran tidak diatur dalam Undang-undang No. 7/2017 tentang Pemilu.

Provinsi Aceh memiliki regulasi, karena Aceh merupakan wilayah yang diberi kewenangan khusus. Tapi untuk tahun 2024, Pemilu serentak di Aceh akan memegang regulasi yang mana, apakah keputusan KPU RI yang berlaku untuk seluruh provinsi di Indonesia atau Aceh kembali ke UUPA dengan turunannya yang diatur di dalam Qanun Aceh. 

Tentu saja konklusinya bahwa masyarakat tak mau dalam tahapan Pemilu 2024 nanti ada dua regulasi yang saling terbentur. 

Bagiamana pendapat pengamat politik Aceh? Aryos Nivada, Pendiri Jaringan Survei Inisiatif dan Direktur Eksekutif Lingkar Sindikasi Grub dalam tulisanya berjudul “Gugat Kesetaraan Kuota Caleg Partai di Aceh”, mengurai panjang tentang keadaan ini, mulai dari regulasi sampai dia memberikan solusi.

Menurut Aryos, selain menguraikan tentang aturan dan logika hukum soal Pemilu di Aceh, dampak Pemilu, dia juga memberikan solusi dalam mengangkat kesetaraan Pemilu di Aceh agar adanya kepastian hukum.

Menurut Aryos, ada tiga jalan keluar dalam mengatasi polemik yang paling masuk akal dalam rangka mengakhir polemik kouta caleg 120 persen di Aceh.

Pertama, Pemerintah Pusat merevisi UUPA, dimana dipertegas, bahwa kouta Caleg bagi Parlok mengikuti ketentuan yang berlaku secara nasional dalam rangka menjamin asas kepastian hukum dan persamaan bagi setiap peserta pemilu.

Kedua, Mendagri dapat membatalkan ketentuan kouta caleg 120 persen sebagaimana tercantum dalam pasal 17 Qanun 3 Tahun 2008 Tentang Partai Lokal.  

Hal ini dimungkinkan sebab dalam ketentuan Pasal 235 Ayat 2 UUPA huruf c disebutkan bahwa : Pemerintah dapat membatalkan qanun yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kecuali diatur lain dalam Undang- Undang ini.

Pasal 17 Qanun 3 Tahun 2008 Tentang Partai Lokal yang mengatur kouta caleg 120 persen bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, yaitu Pasal 244 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang mengatur syarat caleg 100 persen. 

Ketiga, Parnas melakukan uji materiil terhadap ketentuan kouta Caleg 120 persen sebagaimana tercantum dalam pasal 17 Qanun 3 Tahun 2008 Tentang Partai Lokal ke Mahkamah Agung. 

Menurut Aryos, hal ini dirasakan perlu dilakukan dikarenakan pengaturan dalam pasal tersebut menciderai kesetaraan dan keadilan dalam kontestasi pemilu legislatif tahun 2019. Hal itu dimungkinkan bila merujuk aturan dalam Pasal 235 Ayat 3 UUPA , disebutkan Qanun dapat diuji oleh Mahkamah Agung sesuai dengan peraturan perundang- undangan.

Sebuah solusi yang ditawarkan Aryos untuk memastikan adanya kepastian hukum, agar Pemilu di Aceh tidak senantiasa diributkan soal kuota. Agar regulasinya jelas, tidak lagi menyita perhatian, menguras energy dan selalu mempersoalkan persentase kouta.

Kini kembali kepada para pihak yang ingin menerapkan bagaimana pelaksanaan Pemilu di Aceh. Apakah kita senantiasa menjelang dilaksanakan Pemilu selalu meributkan soal persentase kouta Parpol, atau sudah ada kepastian hukum yang mempertegas bagaimana pelaksanaan Pemilu di Aceh khususnya dalam peneraparan kouta Caleg DPRK dan DPRA.

Kita iikuti saja, bagaimana mereka yang terlibat dalam hingar bingar pesta demokrasi ini menyelesaikan masalah. Atau tetap “memelihara” masalah yang senantiasa diributkan menjelang dilaksanakan Pemilu. * Bahtiar Gayo

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda