Minggu, 03 Agustus 2025
Beranda / Liputan Khusus / Dialetika / Tuah Hasto, Tom, di Panggung Politik Rekonsiliasi

Tuah Hasto, Tom, di Panggung Politik Rekonsiliasi

Minggu, 03 Agustus 2025 11:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Pemberiaan Amnesti dan Abolisi kepada Hasto dan Tom oleh Presiden Prabowo menuai gelombang kritik tajam. [Foto: Instagram via eksposkaltim.com]


DIALEKSIS.COM | Dialektika - Ini bukan kisah kejar - kejaran lucu ala kartun Tom and Jerry. Ini panggung politik nasional, dengan skenario hukum yang rapi, penuh simbol dan kalkulasi. Dua tokoh utama kini menjadi sorotan Thomas “Tom” Lembong dan Hasto Kristiyanto. Tom, mantan Menteri Perdagangan, mendapatkan abolisi (penghentian proses hukum) dari Presiden Prabowo Subianto setelah divonis 4 tahun 6 bulan penjara dalam kasus korupsi impor gula.

Sementara itu, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto diganjar amnesti Presiden usai divonis 3 tahun 6 bulan penjara karena terbukti terlibat suap Harun Masiku dalam pergantian antarwaktu anggota DPR. Publik menyambut keputusan ini dengan senyum optimistis, dan Presiden Prabowo pun tampak puas. Citra dirinya sebagai tokoh rekonsiliator kian melekat pada Prabowo Subianto.

Sekjen PDIP (berompi tahanan oranye) tersenyum dan mengepalkan tangan saat akan meninggalkan rumah tahanan KPK berkat amnesti dari Presiden Prabowo (Jakarta, 1 Agustus 2025). Amnesti ini mengakhiri hukuman penjara Hasto Kristiyanto dalam kasus suap Harun Masiku.

Namun, ada narasi lebih luas di balik panggung utama ini. Dalam lawatannya ke Rusia pada Juni 2025, Prabowo berpidato menyinggung Nelson Mandela sebagai tokoh yang ia kagumi, khususnya karena sikap Mandela yang merangkul mantan musuh demi rekonsiliasi nasional. 

Pada forum internasional di St. Petersburg itu, Prabowo terang-terangan menyebut contoh di dalam negerinya Muzakir Manaf alias Mualem, mantan pimpinan gerakan pemberontak GAM yang kini bergabung di Partai Gerindra dan menjabat Gubernur Aceh.

“Sekarang ia berada di partai saya, ia menjadi Gubernur Aceh, dan saya Presiden Indonesia. Ini menunjukkan mantan musuh bisa bersatu,” ujar Prabowo, yang disambut riuh tepuk tangan audiens. Skenario rekonsiliasi Prabowo di panggung global tersebut memperkuat citranya sebagai pemimpin pemersatu bekas rival.

Simbol Aceh dalam Panggung Politik

Akan tetapi, sebelum semua pujian dialamatkan kepada sang presiden, jangan lupakan satu hal tentang Aceh yang telah lebih dulu memberi “tuah” kepada Hasto. Pada 27 Februari 2022, Hasto Kristiyanto berkunjung ke Aceh dan dalam satu prosesi budaya ia dipasangkan kupiah Meukeutop oleh Wali Nanggroe Aceh, Tengku Malik Mahmud Al Haytar. Prosesi ini turut disaksikan oleh Muzakir Manaf (Mualem) selaku Ketua Partai Aceh waktu itu. Pemasangan Meukeutop kopiah kehormatan Aceh bukan sekadar aksesori budaya.

Dalam tradisi Aceh, itu adalah simbol restu dan penerimaan. Wali Nanggroe bahkan berseloroh sambil tersenyum kepada Hasto, “Selamat sudah menjadi warga Aceh”. Tanah Rencong yang dulu pernah menjadi simbol perlawanan, kini seolah memberi berkah tersendiri sebagai simpul rekonsiliasi nasional.

Kenangan lain terhadap sosok Thomas Lembong pun bukan orang asing bagi Aceh. Oktober 2024 lalu, Tom Lembong bertandang ke Serambi Mekkah dalam sebuah acara dialog dengan ratusan pemuda Aceh. Ia hadir sebagai Co - Captain (Wakil Ketua) tim pemenangan Anies Baswedan - Muhaimin Iskandar pada Pilpres 2024, dan berbagi pandangan tentang masa depan demokrasi dan peran generasi muda di sana.

Dalam diskusi bertajuk “Peu Haba Aceh?” itu, Tom memuji semangat juang dan integritas sejarah Aceh sebagai fondasi kuat bagi pemuda Aceh untuk berperan lebih besar di panggung nasional. Simbolisme budaya, jika diambil serius, memang menciptakan narasi tersendiri. Dalam hal ini, Tom dan Hasto tampak seperti telah “disucikan” oleh simbol-simbol Aceh sebelum kini melenggang di panggung politik nasional berkat abolisi dan amnesti.

Sufmi Dasco: Sutradara di Balik Layar?

Tepuk tangan publik boleh riuh. Tapi siapa sebenarnya penata lakon dari drama besar rekonsiliasi ini? Banyak yang melirik ke nama Sufmi Dasco Ahmad, Wakil Ketua DPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Gerindra. Politikus satu ini dikenal piawai memainkan ritme politik dan menjalin komunikasi lintas lembaga. Ia jugalah yang berada di balik suksesnya “pemulangan” empat pulau sengketa ke pangkuan Aceh baru - baru ini. Polemik wilayah empat pulau kecil antara Aceh dan Sumatera Utara yang telah berlangsung lama, tuntas secara kilat pada Juni 2025 setelah Presiden Prabowo memutuskan keempatnya sah milik Aceh.

Pakar komunikasi politik Yudhi Fahrimal dari Universitas Teuku Umar menilai, hal itu bisa cepat terselesaikan karena ada sosok “jembatan komunikasi” di balik layar sosok yang ia maksud tak lain adalah Sufmi Dasco. Dasco berperan strategis menjembatani komunikasi politik antara legislatif (DPR) dan eksekutif (Presiden) sehingga tercapai solusi win - win bagi Aceh.

Di panggung rekonsiliasi nasional kali ini, banyak yang menduga Dasco turut menyusun plotnya. Ibarat sutradara, ia menyulam simpul - simpul hukum dan politik dengan benang halus yang nyaris tak terlihat, tapi pengaruhnya jelas terasa. Rekonsiliasi politik melalui pemberian abolisi dan amnesti kepada tokoh lintas kubu tentu membutuhkan lobi dan orkestrasi tingkat tinggi peran yang cocok bagi operator politik ulung seperti Dasco di belakang layar.

Hukum Dikorbankan Demi Stabilitas?

Jika penonton hanya terpaku pada lakon di depan panggung, mereka bisa melewatkan cerita sesungguhnya: apa yang terjadi di balik layar. Contohnya adalah langkah penyelesaian hukum kasus Tom Lembong. Wiryawan Chandra, Dosen Hukum Administrasi Negara Universitas Atma Jaya Yogyakarta, sempat menyarankan agar mantan Presiden 2014 - 2024 (Joko Widodo) dihadirkan ke pengadilan. Menurut Wiryawan, hal ini penting untuk menguji kebenaran pernyataan Tom bahwa ia hanya menjalankan perintah atasan saat melakukan impor gula. Dalam kerangka hukum, menteri memang wajib melaksanakan perintah Presiden selaku atasan langsung. 

Dalam hukum pidana, perintah atasan yang sah bahkan dapat menggugurkan niat jahat (mens rea) dari bawahan. Artinya, jika Tom benar hanya menjalankan instruksi Presiden saat itu (Jokowi), kehadiran sang mantan Presiden sebagai saksi kunci bisa membuat duduk perkara menjadi terang -- apakah kebijakan impor gula kontroversial itu murni perintah atasan atau inisiatif Tom sendiri.

Namun dengan pemberian abolisi, skenario pengadilan terbuka itu tak pernah terjadi. Presiden Prabowo mengajukan abolisi untuk Tom Lembong yang disetujui DPR, sehingga seluruh proses hukum yang tengah berjalan otomatis dihentikan. Tak ada lagi kebutuhan memanggil saksi kunci yang berpotensi mengguncang stabilitas narasi kekuasaan. Tak ada risiko munculnya kesaksian atau bukti yang bisa merembes ke tokoh - tokoh besar lain. Semua berakhir rapi dan “happy ending”. Seolah - olah semua memang telah disusun, bukan demi keadilan semata, melainkan demi stabilitas politik belaka.

Thomas Lembong divonis 4,5 tahun penjara dalam kasus korupsi impor gula, namun proses hukum ini dihentikan melalui abolisi demi agenda rekonsiliasi politik.

Sementara itu, di sisi Hasto, amnesti datang bak hujan di musim kemarau. Setelah bertahun-tahun bayang-bayang kasus Harun Masiku menghantui kariernya, kini Hasto seolah lahir kembali di panggung politik dengan penuh percaya diri. Sekjen partai berlogo banteng moncong putih ini bebas menghirup udara luar per 1 Agustus 2025, begitu Keppres amnesti diteken dan disetujui DPR.

Dengan “Tuah Aceh” yang telah ia kantongi secara simbolik sejak 2022, amnesti ini bisa menjadi titik balik karier politik Hasto. Ia punya kesempatan menyusun ulang konsolidasi PDIP dari dalam, pasca-kekuasaan era Megawati. Bahkan, bukan mustahil Megawati Soekarnoputri selaku Ketua Umum PDIP kelak mengarahkan para kadernya untuk bukan saja mendukung pemerintahan Prabowo, tapi juga lebih peduli pada Aceh bumi yang lebih dulu menunjukkan bahwa rekonsiliasi bukan cuma wacana, melainkan bisa diujudkan dalam realitas politik.

Rekonsiliasi: Antara Simbol dan Akuntabilitas

Tentu saja, publik tetap layak bersikap kritis. Jangan sampai rekonsiliasi hanya menjadi jargon yang dibungkus narasi hukum. Apalagi jika rekonsiliasi itu justru dijadikan instrumen untuk menutup jalur pengadilan dan melindungi tokoh-tokoh tertentu dari pertanggungjawaban. Tuah dan restu budaya bisa jadi penanda, tetapi bukan pengganti transparansi dan akuntabilitas. Sejumlah mantan pegawai KPK bahkan menganggap amnesti Hasto sebagai langkah politis yang berbahaya menyulap kasus korupsi menjadi sekadar perkara politik yang diselesaikan lewat deal politik pula.

Praswad Nugraha, eks penyidik KPK, menilai Presiden Prabowo rentan dituduh melakukan penyalahgunaan kewenangan karena membebaskan terpidana korupsi dengan dalih rekonsiliasi nasional. Ia mengingatkan, ini bisa menjadi preseden buruk ke jangan sampai di masa depan, sebesar apa pun korupsi yang dilakukan, para pelakunya berharap bisa lolos dari hukuman dengan mekanisme amnesti politik.

Dalam politik Indonesia, simbolisme acap kali meninabobokan publik. Panggung boleh saja diramaikan, lakon dimainkan, tetapi naskah sejatinya masih disusun oleh segelintir elite di ruang gelap. Rekonsiliasi, jika sungguh-sungguh hendak menjadi jalan bersama, harus bersandar pada kejujuran sejarah dan keterbukaan hukum bukan semata permainan simbol. 

Dan jika Tom Lembong serta Hasto Kristiyanto benar - benar ingin tampil sebagai wajah rekonsiliasi nasional, mereka pun harus siap menghadapi tafsir kritis publik. Sebab rekonsiliasi sejati bukan tentang siapa yang diberi amnesti atau abolisi, melainkan tentang siapa yang berani berkata benar, bahkan ketika kekuasaan sudah tak lagi di tangan. [arn]

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI