Beranda / Liputan Khusus / Dialetika / Wajah MoU Helsinki, Antara Realisasi dan Kemandekan

Wajah MoU Helsinki, Antara Realisasi dan Kemandekan

Senin, 09 Maret 2020 20:30 WIB

Font: Ukuran: - +


Suasana diskusi bertajuk Ada Apa dengan MoU Helsinki, Minggu (8/3/2020). [Foto: Sara Masroni/Dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Ada apa dengan MoU Helsinki? Itulah yang coba dipertanyakan masyarakat Aceh pasca 15 tahun Aceh damai.

Diketahui, Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki adalah nota kesepahaman atau perjanjian damai antara Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), usai konflik panjang 30 tahun lamanya di bumi Aceh.

Buah dari MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005 lalu, salah satunya siraman dana Otonomi Khusus (Otsus) sejak 2008 lalu hingga 2027 mendatang.

Tak tanggung-tanggung, sepanjang 2008-2020 saja, Aceh sudah menerima Rp 81,402 triliun. Sisanya Rp 41,177 triliun akan di terima hingga 2027 mendatang. Sejauh ini, sudah sejahtera kah masyarakat Aceh?

Menanggapi hal tersebut, LSM Pemuda Cinta Aceh (PCA) mengadakan Diskusi Keacehan yang bertajuk "Ada Apa dengan MoU Helsinki?" di Aula Gedung Kesbangpol Aceh, Minggu (8/3/2020). Hadir para tokoh kunci, akademisi dan para pemangku kebijakan dalam diskusi tersebut.

"Ada beberapa butir MoU yang belum terealisasi. Bikin sesak rakyat Aceh. Ini yang coba kita pikirkan hari ini, mencoba memikirkan nasib Aceh di masa depan," kata Ketua Umum Pemuda Cinta Aceh, Sulthan Alfaraby.

Selanjutnya, Pimpinan Presidium GAM Independen Tgk Sufaini Usman Syekhy mengungkapkan, MoU Helsinki tak lepas dari perjuangan rakyat Aceh. Namun ketika tidak mencapai subtansi, maka MoU dianggap gagal.

"Kenapa MoU tidak menjalankan kepentingan dan keinginan rakyat Aceh? Jawabannya karena para petingginya tidak fokus," buka Syekhy.

"Jangan ngomong MoU, kalau kalian menerima jabatan dari pemerintah. GAM tidak mau yang seperti itu. Sebab idealnya, kita sebagai pengontrol, bukan malah terlibat di sana," ungkapnya.

Menurut Syekhy, 15 tahun pasca-damai Aceh, harusnya segala persoalan sudah banyak yang selesai. Namun karena ada banyak pihak yang bermain-main dengan kepentingan pribadi, persoalan kesejahteraan dan kesenjangan di Aceh pun jadi tertelantarkan.

"Harusnya setelah setahun perjanjian damai, MoU selesai. Kalau tidak, maka kenakan pinalti. Namun kenyataannya, sampai sekarang urusan MoU belum selesai-selesai juga," jelasnya.

"Harusnya MoU bisa mengantarkan kesejahteraan dan lapangan kerja bagi rakyat Aceh. Ke sana arahnya," tambahnya.

Syekhy juga berujar, banyak yang mengaku-ngaku GAM, namun tidak ditemukan saat perang (konflik Aceh) dahulu. "Kalian ngaku-ngaku GAM, di mana kalian waktu perang dulu. Ingat, perjuangan GAM untuk jangka panjang, ini belum selesai," ungkapnya.

"Ketika MoU kalian gunakan untuk kepentingan perut kalian, anak yatim dan fakir miskin tidak kalian pentingkan. Ingat, nanti kalian akan hancur sendiri," tegasnya.

Pimpinan Presidium GAM Independen itu berharap, Wali Nanggroe dan para petinggi GAM harus selesaikan dulu urusan masyarakat Aceh. Sebab menurutnya perjuangan mensejahterakan rakyat belum selesai.

"Saat terima jabatan, happy-happy. Lupa sama rakyat. Harusnya kita berada di garda terdepan sebagai pengontrol, bukan terlibat di pemerintahan," tandasnya.

Selanjutnya, Tokoh Aceh Karimun Usman dalam pemaparannya mengatakan, UUPA bukan Undang-undang milik segolongan Partai, melainkan Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang lahir dari MoU Helsinki dan diperuntukkan untuk seluruh rakyat Aceh.

"Saya melihat, kalau bukan karena MoU, adek-adek tidak bisa ngopi sampai jam 3 malam. Dan itu hanya segelintir dari sekian banyak buah yang dihasilkan dari MoU Helsinki," ungkap tokoh yang disapa Ayah Karimun itu.

Menurut pandangannya, MoU ini hampir selesai. Hanya sebagian saja yang belum beres dan itu yang akan sama-sama diperjuangkan rakyat Aceh ke depan.

"Saya katakan, 90 persen dari MoU Helsinki sudah diadop ke UUPA. Kemudian sekarang ada niat revisi UUPA, saya terus terang sangat mendukung. Mana pasal yg merugikan rakyat, ya kita coret. Dan yang menguntungkan rakyat Aceh, mari kita pertahankan," ungkapnya.

"Kemudian saya minta para dewan, sampaikan kepada gubernur agar bisa lobi partai-partai lokal dan nasional. Samakan persepsi. Kalau sudah selesai ini maka akan mudah selanjutnya (revisi UUPA)," tambanya.

Ayah Karimun juga berharap, ke depan tidak ada lagi yang namanya GAM Independen atau tidak. "GAM ya GAM, dan perjuangan kesejahteraan untuk rakyat Aceh bisa dilakukan melalui apapun dengan tetap menjaga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya," ungkap salah satu tokoh Aceh itu.

Ayah Karimun juga menyentil sikap para pemimpin daerah (eksekutif dan legislatif) yang berkoar-koar saat berhadapan dengan rakyat, namun lemah saat berhadapan dengan pusat.

"Sebut saja dewan yang kita pilih, bukan orang yang terbaik. Kenapa? Salah kita juga, siapa suruh pilih dia," ungkap tokoh Aceh itu.

Selanjutnya, Ketua Komisi I DPR Aceh, Tgk Muhammad Yunus Yusuf dalam penyampainnya mengatakan, Aceh wajib merdeka di bawah NKRI. Syaratnya adalah dengan melaksanakan MoU sesuai butir-butir yang terkandung di dalamnya.

"Tolong kalian anak-anak muda ini, berjuanglah untuk mewujudkan MoU Helsinki sebagai alat menuju kesejahteraan rakyat. Kalau berharap pada kami, tidak mungkin lagi. Secara usia, kami sudah tua," ungkapnya.

Tgk Yunus juga menjelaskan bahwa UUPA bukanlah Undang-undang Partai Aceh atau milik segolongan orang. "Saat berjuang dulu, semua masyarakat Aceh dalam perjuangan. Bukan sekelompok orang saja. Makanya, saat menikmati buah MoU, harus sama-sama pula," tambahnya.

Ia berharap, anak-anak muda di Aceh melanjutkan perjuangan dengan ikut berpikir tentang Aceh serta menyelesaikan segala masalah yang ada di Aceh.

"Mulai hari ini jangan banyak ngomong, tapi banyak berbuat. Semua yang sampai dipuncak, harus diperjuangkan dari bawah. Itu saja kuncinya kalau memang cinta Aceh dan ikut memperjuangkan kesejahteraan rakyat Aceh," kata Tgk Yunus.

"Kemudian kalau bicara tentang Aceh, mari kesampingkan kepentingan pribadi. Semua yang diperjuangkan harus bermuara pada kesejahteraan rakyat Aceh. Mahal Aceh gara-gara orang Aceh, murah Aceh juga gara-gara orang Aceh itu sendiri," tandasnya

Selanjutnya, Mantan Ketua Komisi II DPRA, Nurzahri mengatakan, banyak saat ini yang salahkan para pimpinan eks kombatan GAM soal kesejahteraan Aceh. Padahal tugas mereka cuma dua yaitu potong senjata dan 3 ribu anggota lepas atribut GAM.

"Selebihnya adalah tugas Pemerintah RI. Dan Pemerintah Aceh adalah bagian Pemerintah RI. Harus wujudkan itu kesejahteraan rakyat," Nurzahri.

Ia juga berujar, kepada masyarakat Aceh agar berhenti saling salah-menyalahkan. Sebab jika begini terus menerus kondisinya, maka bukan rakyat Aceh yang bertikai dengan pemerintah pusat melainkan pertikaian sesama rakyat Aceh itu sendiri.

"Semoga ke depan terus ada pemuda-pemuda Aceh yang setia terhadap perdamaian Aceh. Aceh selamanya akan hancur karena sesama kita tidak kompak dan saling salah-menyalahkan," ungkapnya.

"Jalankan peran kita masing-masing, jangan berharap buah MoU Helsinki sama orang lain. Mulai perjuangan itu dari diri sendiri. Dan ada poin penting, usai MoU Helsinki, Aceh menjadi salah satu daerah terbaik di Indonesia dalam menurunkan kemiskinan. Mari berpegang tangan, ayo jaga UUPA dan dorong Aceh untuk lebih baik lagi," pungkasnya.

Selanjutnya, Akademisi Unsyiah Basri Effendi mengatakan, MoU merupakan pintu masuk lahirnya UUPA. Ada yang sudah dimuat di UUPA tetapi tidak selesai, ada yang sudah dimuat tetapi belum dilaksanakan. Namun ada pula poin yang memang belum dimuat sama sekali.

"Kalau ditanya ada apa dengan MoU Helsinki, maka tiga poin itulah jawabannya," kata Basri Effendi.

"Namun sekarang, MoU Helsinki seperti kehilangan subtansi. Ke depan, tugas terbesar kita adalah membuat UUPA dan MoU menjadi milik bersama dulu. Sebab kalau ini belum selesai, maka yang lain tidak ikut selesai juga," ungkapnya.

Ia mengungkapkan, dahulu kemunculan GAM didominasi oleh kesenjangan sosial yang terjadi pada masyarakat Aceh. Dahulu masyarakat Aceh sangat kompak. Namun semua itu hilang ditelan waktu karena kepentingan pribadi dan kelompok lebih diutamakan saat ini.

"Sekarang, berhenti saling menyalahkan. Kita tidak boleh salahkan pusat, sebab kita juga salah. Tugas kita adalah kembali bergandeng tangan dan bagaimana menatap Aceh yang lebih baik di masa depan, tanpa membawa kepentingan kelompok atau golongan tertentu," pungkasnya. (sm)


Keyword:


Editor :
Sara Masroni

riset-JSI
Komentar Anda