Beranda / Dialog / Cerita Adik-Adik Asal Papua Askin dan Noldy Selama Tempuh Pendidikan di Aceh

Cerita Adik-Adik Asal Papua Askin dan Noldy Selama Tempuh Pendidikan di Aceh

Rabu, 08 Desember 2021 14:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : fatur

Askin Alimdam (Kiri) dan Noldy Wilson Adadikam (Kanan), Adik papua yang menempuh pendidkan di Aceh lewat program beasiswa Afirmasi. [Foto: Dialeksis/Kolase/ftr]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Cerita pengalaman baru dari adik-adik Papua yang menempuh pendidikan di Aceh merupakan sebuah cerita keseruan tersendiri bagi mereka khususnya.

Adapun mahasiswa Papua yang tengah menempuh pendidikan di Universitas Syiah Kuala (USK), Fakultas Teknik, Askin Alimdam dan Alumni Mahasiswa Politeknik Negeri Lhokseumawe, Jurusan Tata Niaga, Noldy Wilson Adadikam menceritakan sedikit pengalaman baru di Aceh.

Berikut sedikit cerita/Dialog singkat bersama mereka, Rabu (8/12/2021):

Ceritakan sedikit pengalaman apa yang dirasakan pertama kali menginjak Tanah Rencong?

Askin mengatakan, tentu pertama kali menginjakkan kaki ditanah rencong yang dirasakan pertama kali adalah rasa rindu terhadap Papua. 

“Saya secara pribadi menginjakkan kaki di Tanah Rencong itu tanggal 2 Agustus 2019, memang banyak juga cerita dari orang sana, bahwa di Aceh itu begini-begini (Hal yang tidak baik), Aceh juga terkenal dengan GAM dan salah satunya kerajaan Islam terbesar di Indonesia, jadi ada yang bilang kalau saya datang kesana (Aceh) nanti di bunuhlah inilah itulah, padahal itu sama sekali tidak benar,” jawab Askin kepada Dialeksis.com, Rabu (8/12/2021).

Lanjutnya, Askin menegaskan, bahwa apa yang disampaikan bahwa Aceh itu seperti yang dikatakan tersebut, itu tidak BENAR!.

“Padahal selama saya tinggal di Aceh, untuk toleransi itu ada, dan luar biasa sekali, kami sangat disambut disini, dilayani dengan baik, dan toleransi terhadap kami juga sangat bagus dan baik sekali,” tegasnya.

Namun untuk bagaimana terhadap Papua, Askin mengatakan, secara pribadi saya tidak bisa tenang.

“Karena seperti yang kita tahu, bahwa Papua itu juga saat ini juga sedang tidak baik-baik juga, orang tua saya juga tentu saya selalu ingat dan kepikiran. Karena kalau ditanya Papua itu bagaimana seperti saat ini, mungkin bisa saya katakan masih diatas menangis,” sebutnya.

Karena, kata Askin, seperti Intan Jaya, pegunungan Bintang, Induka, apa yang mereka rasakan dan apa yang mereka makan, kami juga tidak tahu. “Khusus pribadi saya, kalau orang tua tenang dan aman disana, saya juga pasti tenang juga disini,” ujarnya.

Kemudian, Noldy mengatakan, pertama kali sampai di Banda Aceh dan melanjutkan perjalanan ke Lhokseumawe itu masih belum terbiasa. “Jadi selama seminggu bosan sekali, pinginnya pulang saja ke Papua, namun setelah lama kelamaan, seminggu berlalu dapat kawan-kawan baru, akhirnya sadar sendiri, ternyata kita sama semua, sama-sama jauh dari keluarga, dan tentu sangat welcome sekali terhadap saya khususnya,” ucapnya Dialeksis.com, Rabu (8/12/2021).

Noldy mengatakan, untuk rasa rindu tentu pasti ada. “Tentu rindu sekali dengan Papua dan orang tua, namun biasanya, bisa tersampaikan rasa rindu itu lewat Video Call (VC) atau telepon,” ujarnya.

Selama di Aceh apakah ada makanan yang disuka atau menjadi favorit?

Askin megatakan, pasti ada, namanya Kuah Belangong khas Aceh Besar. “Saya pertama kali coba kuah Belangong itu sewaktu ada festival kuliner di Banda Aceh, dan itu rasanya enak sekali, dan saya langsung jatuh cinta, karena rempah-rempahnya sangat terasa, ya susah diungkapkan dengan kata-kata,” ucapnya Askin sambil tertawa.

Sedangkan Noldy mengatakan, lebih suka dengan kuah pliek. “Pertama kali coba itu, wah enak sekali, tapi ada yang bilang, kalau kuah pliek itu kalau bukan orangnya yang masak itu tidak pas rasanya,” ujarnya Noldy.

Pernah tidak mendapati hal-hal lirikan tajam selama di Aceh?

Askin mengatakan, kalau secara berkelompok itu belum pernah, tapi kalau secara personal mungkin untuk lirikan atau tatap secara spontan itu ada. “Tapi itu seperti jadi keunikan tersendiri ya, karena mungkin masyarakat sekitar jarang sekali melihat orang Papua di Aceh, jadi kalau secara spontan itu ada,” sebut Askin.

Sedangkan Noldy mengatakan juga hal-hal seperti itu belum pernah. “Karena semuanya welcome sekali semuanya,” ujarnya.

Diterima tidak dengan masyarakat Banda Aceh khususnya?

Askin mengatakan, kalau untuk di Banda Aceh kan sudah banyak yang tahu, bahwa ada adik-adik Papua disini. “Karena kami yang menempuh pendidikan di Aceh lewat Program Afirmasi ini sudah ada sejak tahun 2012 sampai sekarang, jadi sudah banyak yang tahu, mungkin kalau di daerah Aceh lainnya, masih banyak yang belum tahu, tapi untuk seperti rasisme itu tidak ada sama sekali, karena setahu saya sampai saat ini, tingginya Toleransi terhadap kami itu sangat tinggi, tapi kalau seperti lirikan secara spontan itu pasti ada,” sebut Askin.

Noldy juga mengutarakan hal yang sama juga. “Selama di Lhokseumawe dan di Banda Aceh saya dan kawan-kawan lain itu juga sangat diterima, bahkan seperti yang saya bilang tadi juga tentu Toleransinya luar biasa, bahkan saya juga masih komunikasi dengan kawan-kawan kuliah di Lhokseumawe kemarin, bahkan juga sering ketemu juga selama di Banda Aceh, sangat disambut kami, selama di Aceh,” ujar Noldy.

Menempuh pendidikan di Aceh menggunakan biaya pribadi atau Beasiswa?

Askin menjelaskan, kami adik-adik Papua itu berkuliah di Aceh itu menggunakan Beasiswa Program Afirmasi. “Itu namanya Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat. Itu sejak Presiden SBY, sampai dengan tahun 2014 Ketika Bapak Jokowi naik Presiden, disaat itulah Afirmasi ditetapkan di Papua dan Papua Barat, itukan bekersama dengan Kemendikbud,” kata Askin.

Lanjutnya, “Saya, Noldy, dan kawan-kawan Papua lainnya yang di Aceh itu lewat Program Beasiswa Afirmasi ini, jadi ini tidak hanya di Aceh, tapi seluruh Indonesia,” Jelas Askin.

Pengalaman luar biasa apa yang dirasakan selama di Aceh?

Askin mengatakan, sebenarnya bukan pengalaman tepatnya. “Tapi perubahan yang luar biasa, karena selama di Papua, itu kita tidak jelas ya, maksudnya seperti kenakalan remaja itu selalu kita lakukan, tapi selama di Aceh hal-hal seperti itu tidak ada lagi, perubahan secara rohani itu luar biasa berubah drastis, lebih tenang, lebih fokus, dan merasakan perbedaan yang luar biasa,” jawab Askin.

Sedangkan Noldy juga merasakan hal yang sama. ‘”Iya sama saja, yang buruk-buruk selama di Papua itu sudah tidak ada lagi, jadi saya sangat bersyukur bisa datang ke Aceh, dan ini merupakan pengalaman terbaik untuk saya khususnya,” sambung Noldy.

Sambung Askin lagi, karena Aceh ini dikenal dengan negeri Serambi Mekkah, jadi ada aturan khusus yang melarang hal-hal yang berbau seperti minuman keras, judi, dan sebagainya. 

“Jadi hal-hal seperti itu tidak ada, jadi aturan itu yang harus membuat saya atau lebih tepatnya wajib meninggalkan kenakalan remaja atau hal-hal merugikan saya secara pribadi, dan karena itu tentu saya dan kawan-kawan lainnya sangat bersyukur bisa hadir di Aceh,” tambahnya.

Askin dan Noldy mengatakan, bahwa selama di Aceh kita mengalami hal-hal yang luar biasa, pengalaman yang luar biasa, dan juga mengajarkan tentang sebuah arti perbedaan dan toleransi yang tinggi.

“Aceh itu mengajarkan saya tentang seperti apa Aceh itu dimata dunia, seperti apa budayanya, dan seperti sejarah yang mempersatukan kita semua,” ucap Askin. 

Sambung Noldy, tidak hanya mengajarkan hal-hal itu saja, namun saya mendapati hal yang luar biasa selama di Aceh, tentang seperti rasanya merantau dan jauh dari keluarga dan Papua. “Karena itu, seperti apa yang disampaikan Askin, saya sangat bersyukur bisa sampai di Aceh. Negeri Serambi Mekkah mengajarkan saya secara pribadi menjadi orang atau pribadi yang lebih baik,” ucap Noldy. [ftr]

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda