Beranda / Liputan Khusus / Diaspora / Studi Islam di Amerika Serikat: Sebuah catatan

Studi Islam di Amerika Serikat: Sebuah catatan

Selasa, 13 Juli 2021 13:00 WIB

Font: Ukuran: - +


Agustus 2018 lalu, saya berangkat ke kota Chapel Hill, Amerika Serikat, untuk studi jenjang doktor di University of North Carolina (UNC) Chapel Hill. Ada dua hal yang mengusik benak saya setibanya di tanah Amerika untuk pertama kali ini; studi Islam di Barat, dan kota Chapel Hill. Perkara pertama, khususnya sejak tahun 2015 semakin kontroversial, terutama di Aceh. Kalimat semacam “belajar Islam kok di Barat, liberal nanti!”, “kok belajar Islam dari orientalis? Mereka kan ingin menghancurkan Islam!” adalah komentar-komentar lazim. Kata “Islam” dan “Barat” seakan-akan minyak dan air. Tidak ada kebaikan jika mereka bersatu, hanya akan merusak. Dalam pandangan ini pula, belajar Islam hanya pantas di Timur Tengah, tempat kelahiran Islam. Barat hanyalah tempat asing dan musuh bagi Islam dan Muslim. Singkat kata, barat adalah antitesis dari Islam.

Perkara pertama ini semakin parah jika disatukan dengan perkara kedua, kota Chapel Hill. Coba saja google dengan kata kunci “Chapel Hill + Muslim”. Informasi halaman pertama pasti penuh dengan berita pembunuhan tiga mahasiswa Muslim tahun 2015 di kampus tempat saya belajar. “Belajar Islam kok sama orientalis Barat, di kota tempat pembunuhan Muslim, presidennya Trump lagi! Edan!” Namun demikian, sampai saat ini saya masih tetap belajar di jurusan sejarah, konsentrasi sejarah global modern dan masyarakat Muslim. Kelas-kelas yang saya ikuti pun beragam, mulai dari introduction to Islamic Studies, Islam dan Gender, Sejarah Pikiran Sosial Barat hingga sejarah dan studi kritis Timur Tengah, Asia Tenggara dan Indonesia. Setelah tiga tahun belajar dan tinggal di kota Chapel Hill, saya berkesimpulan bahwa Muslim di ujung timur sini hanya terpapar berita sisi paling buruk manusia Barat sana. Pada kenyatannya, relasi Islam dan Barat tidak pernah sehitam putih asumsi kita; musuh atau penghancur Islam. Tapi lebih berwarna dan rumit.

Jika kita merujuk sumber primer sejarah Amerika Serikat, maka Muslim telah hadir di Benua Amerika paling telat akhir abad ke 18. Islam datang baik akibat dari perdagangan manusia Afrika, perdagangan hingga dari aktivitas para mualaf. Job Bin Sulaiman dari Maryland, Abdurrahman dari Missisipi, Lamine Kebe dari Georgia, dan Omar bin Said dari Karolina Utara, adalah beberapa dari ribuan Muslim yang diperdagangkan dari Afrika. Mereka adalah lulusan sekolah Quran di Afrika Barat, ahli dalam berbagai Bahasa (poliglot), diziarahi dari berbagai daerah di Amerika dan bahkan terkadang memiliki posisi yang lebih dari mayoritas warga kulit putih. Carl Ernst, professor studi Islam di UNC-Chapel Hill, pernah menceritakan bahwa tulisan-tulisan Omar bin Said itu banyak mengandung ajaran tasawuf yang mendalam.

Muslim muallaf juga berkontribusi besar dalam pengenalan Islam di Amerika. Alexander Russell Webb adalah satu dari sekian banyak mualaf di Amerika. Ia lahir dan besar di Amerika dan menjadi mualaf pada tahun 1888, dua tahun setelah mengenal Islam ketika berkunjung ke India. Setelah menulis beberapa buku tentang Islam, Webb dipercayai oleh Sultan Abdul Hamid II sebagai konsul kehormatan Kerajaan Usmani. Contoh demikian ini adalah bukti kuat bahwa Islam dan Muslim sebenarnya tidak pernah asing di Benua Amerika. Ia telah lama hadir dan berkontribusi aktif di tanah Amerika.

Dalam konteks hari ini, saya dan keluarga serta teman-teman mahasiswa internasional sering pula disapa oleh bulek kota Chapel Hill. Bukan untuk mengganggu apalagi menghina, tapi untuk meminta maaf atas komentar dan kebijakan rasis dan Islamofobia presiden mereka. “Acara” minta maaf itu biasanya ditutup dengan kalimat “you are welcomed here”. Yang paling melekat di ingatan saya adalah buntut dari penembakan Muslim tahun 2019 di salah satu masjid di kota Christchurch, Selandia Baru. Sejak penembakan itu, selalu ada satu mobil patroli polisi yang berjaga di depan masjid kota Chapel Hill sebagai penjaga keamanan. Sebelumnya tidak pernah ada penjagaan demikian. Pada hari penembakan itu juga, hati saya awalnya sangat waswas ke masjid untuk shalat Jumat. Namun setibanya di masjid, saya melihat beberapa tampuk bunga. Kemudian ketika khutbah sedang berlangsung, tiba-tiba datang seorang wanita kulit putih, membawa satu buket bunga lainnya. Dengan mata sembab, ia masuk ke dalam masjid, menaruh bunga, dan langsung keluar. Melihat aksi itu, seorang Muslimah dari saf belakang berlari menyusul wanita tadi. Ia langsung memeluk wanita itu dan mengucapkan terima kasih. Kedua mata sembab itu terlihat saling menguatkan dan mengerti duka yang dirasakan muslim di Chapel Hill. Saat itu saya merasa yakin, kami akan baik-baik saja di sini.

Atmosfer yang sama juga mengisi ruang-ruang akademi studi Islam di UNC-Chapel Hill. Simpatik, kritis, dan saling menghormati antar perbedaan pandangan adalah norma-norma utama di kelas. Charlez Kurzman, salah satu dosen saya yang juga editor buku Liberal Islam, sangat simpatik terhadap Islam. Kesan seperti ini mungkin terasa asing di kebanyakan penduduk kita, apalagi jika hanya membaca judul salah satu bukunya saja; Wacana Islam Liberal; pemikiran Islam kontemporer tentang isu-isu global. Yang jarang diketahui, Charlie, sapaan akrab mahasiswanya, adalah suara aktif yang mencoba menyeimbangkan kesalahpahaman masyarakat Barat terhadap Islam. Dalam berbagai acara, Charlie aktif menggambarkan Islam yang lebih berimbang dan beragam.

Setali dengan Charlie, Carl Ernst juga simpatik dan aktif mengedukasi masyarakat Amerika tentang Islam. Buku-bukunya yang tentang Islam dan tasawuf sudah mulai banyak mengisi rak-rak perpustakaan masyarakat Indonesia. Saya sangat ingat dalam satu sesi kelas Introduction to Islamic Studies bersamanya. Carl, sapaan akrabnya, mungkin karena tahu saya orang Indonesia, tiba-tiba meminta saya untuk baca Quran di depan kelas. Dengan gugup, saya membuka aplikasi Quran di handphone dan langsung membaca Quran dengan irama datar. Ia mengomentari bahwa bacaan saya adalah irama bacaan kebanyakan Muslim di Indonesia. Kemudian ia memutar sebuah rekaman bacaan Quran oleh Qari profesional dari Indonesia. Lantunan irama Bayati langsung membuat kuduk saya merinding. Ketika saya mengalihkan pandangan ke Carl, ia sedang menunduk hikmat dalam-dalam. Setelah rekaman selesai, ia angkat wajahnya kembali. Terlihat matanya telah merah dan sembab. “Beautiful!” ia berkomentar dengan suara kerongkongan yang cekat sambil menahan haru. Kami semua tertegun dan terdiam sejenak. Tidak lama setelah itu kelas dibubarkan.

Contoh lain dari studi Islam yang simpatik dan kritis di Amerika dapat kita cermati dari berbagai tulisan Cemil Aydin, dosen sejarah di kampus saya. Ia mengkritik tajam tulisan-tulisan Bernard Lewis dan Samuel Huntington. Dua mantan penasehat penting presiden Amerika Serikat periode George W. Bush. Analisa-analisa Lewis dan Huntington dalam berbagai tulisannya sering menyederhanakan kompleksitas relasi Islam, politik, budaya di Timur Tengah. Lewis misalnya mengatakan bahwa kemarahan Muslim terhadap Barat berakar dari ketidakmampuan Muslim mengakomodir dunia modern, khususnya nilai-nilai modern yang telah dianut Barat sejak pasca periode pencerahan. Aydin mengkritik keras pandangan ini. Menurutnya, hingga akhir abad 19, ide-ide anti-barat tidak ditemukan dalam pikiran baik intelektual Muslim ataupun non-Barat. Bagi mereka, ide-ide pencerahan Eropa; kebebasan individual, kesetaraan dan kemanusiaan, tidak bertentangan dengan Islam maupun agama-agama dunia lainnya. Namun persepsi ini mulai berubah sejak akhir abad 19 dan khususnya sejak abad 20. Pada periode ini, mereka menilai bahwa Barat (intelektual, publik, dan Kerajaan-kerajaan Eropa-Amerika) hipokrit terhadap nilai-nilai yang mereka junjung sendiri. Dengan kata lain, Muslim marah terhadap Barat bukan karena mereka anti modern, tapi karena Barat berkhianat terhadap nilai-nilainya sendiri.

Di samping itu, tentunya studi Islam di Amerika bukan tidak ada tantangan. Ketenaran studi Islam di Amerika biasanya beriringan dengan tantangan terhadapnya pula. Pertemuan perdana kelas Introduction to Islamic Studies, misalnya, dimulai dengan membaca perdebatan tulisan Aaron Hughes, seorang akademisi yang mengkritik tulisan-tulisan simpatik dari akademisi Amerika, seperti Carl Ernst. Ia menuding karya-karya Carl Ernst dan sejawatnya mereka sebagai apologetis dan tidak memenuhi standar ilmiah atau akademis.

Kemudian pada tahun 2002, muncul pula Campus Watch, sebuah organisasi berbasis website. Organisasi ini kerjanya melacak dan mendata akademisi-akademisi yang simpatik terhadap Islam, yang mengecam pendudukan illegal Israel dan yang mendukung kemerdekaan Palestina. Dari data itu, Campus Watch kemudian mempublikasi “daftar hitam” akademisi tersebut. Akibatnya, akademisi-akademisi ini menjadi target ancaman dan kecaman dari sebagian masyarakat Amerika. Pada tahun 2019, Pusat Studi Islam dan Timur Tengah UNC, yang dipimpin Charlez Kurzman, pernah ditekan dan dikritik keras karena menyelenggarakan seminar konflik tentang Gaza.

Deskripsi singkat ini menggambarkan bahwa studi Islam di Amerika Serikat tidak sehitam putih pandangan sementara masyarakat kita. Ia kompleks dan dinamis, simpatik dan juga kritis, tidak homogen dan tidak pernah sepi dari kritikan dan tekanan. Atmosfer inilah yang pada akhirnya membuat Muslim-muslim di Amerika semakin marak mendirikan beragam pusat studi dan kampus yang fokus terhadap kajian Islam. Zaytuna College, pimpinan Sheikh Hamza Yusuf, Yaqeen Institute, pimpinan Sheik Omar Sulaiman, Bayyinah Institute, pimpinan Nouman Ali Khan, dan Usuli Institute, diprakarsai oleh Khaled Abou el Fadl adalah beberapa institusi baru yang fokus utamanya adalah hukum dan filsafat Islam serta Hadist dan tafsir Quran.

Penulis: Baiquni Hasbi, Dosen IAIN Lhokseumawe. Saat ini sedang menyelesaikan studi doktoral konsentrasi sejarah global modern dan masyarakat Muslim di University of North Carolina-Chapel Hill, Amerika Serikat


Keyword:


Editor :
M. Agam Khalilullah

riset-JSI
Komentar Anda