Beranda / Berita / Dunia / Dampak Pandemi Covid-19, Cathay Pacific Rugi Rp40 triliun

Dampak Pandemi Covid-19, Cathay Pacific Rugi Rp40 triliun

Kamis, 11 Maret 2021 09:30 WIB

Font: Ukuran: - +


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Cathay Pacific Airways Hong Kong telah melaporkan rekor kerugian tahunan senilai AS$2,8 miliar atau sekitar Rp40,36 triliun (kurs Rp14.416/dolar AS) selama 2020. Setahun sebelumnya, maskapai masih dapat membukukan laba senilai AS$220 juta (Rp3,1 triliun).

Kerugian fantastis ini tak lain adalah imbas dari anjloknya perjalanan selama pandemi korona.

Maskapai Hong Kong ini sebelumnya telah memperkirakan bahwa kerugian pada semester II/2020 akan lebih besar dari semester I. Pada semester I pun sebenarnya kerugian Cathay sudah cukup besar, mencapai AS$1,3 miliar atau setara Rp 18,73 triliun.

"Prospek jangka pendek kami terus menantang. Namun, kami masih sangat yakin dengan masa depan jangka panjang dan posisi kompetitif maskapai kami," kata Chairman Cathay Pacific, Patrick Healy, seperti dikutip BBC, Rabu (10/3/2021).

Tahun 2020 memang cukup memilukan bagi maskapai penerbangan Hong Kong. Sebab, tidak seperti maskapai di negara lain, Cathay tidak memiliki pasar perjalanan domestik yang dapat diandalkan.

Pada Oktober 2020, Cathay Pacific telah menutup anak perusahaannya Cathay Dragon, maskapai penerbangan regional yang mayoritas melayani rute penerbangan dari Cina daratan dan tujuan Asia lainnya.

Induk perusahaan dan maskapai berbiaya rendahnya, Hong Kong Express, mengambil alih rute Cathay Dragon. Operator penerbangan itu juga memberhentikan 8.500 pekerja, yang jumlahnya sekitar 25 persen dari seluruh staf. Mereka berharap tahun 2021 ini bisa menjual setengah kapasitas kursi. “Itu sudah paling optimis,” kata Healy.

Pendapatan anjlok

Dalam laporan keuangannya, tercatat bahwa pendapatan Cathay Pacific turun 56 persen dari 2019, menjadi AS$ 6 miliar. Penurunan ini terutama disebabkan oleh penurunan tajam dalam lalu lintas penumpang, yang selama ini berkontribusi 70 persen pada pendapatan perusahaan.

Pengumuman Cathay ini tak berbeda jauh dengan konsensus 11 analis yang dikumpulkan oleh QUICK-FactSet. Mereka sebelumnya memperkirakan, kerugian bersih perusahaan rata-rata akan sebesar HK$20,88 miliar (AS$2,68 miliar).

Selain karena anjloknya penumpang, penurunan nilai dan biaya sebesar AS$520 juta pada 2020 juga merupakan beban berat. Biaya itu terutama datang dari 34 pesawat yang dianggap tidak memberikan kontribusi finansial berarti.

Biaya restrukturisasi sebesar AS$511 juta, termasuk penghapusan aset pajak tangguhan sebesar AS$200 juta untuk Cathay Dragon, juga membebani laba maskapai. Perusahaan pun tidak dapat menghindari kerugian besar, meskipun telah menerima bantuan pandemi dari pemerintah Hong Kong senilai AS$340 juta dan rekapitalisasi senilai AS$5 miliar pada Juni 2020 lalu.

Salah satu penyelamat Cathay Pacific saat ini adalah layanan kargo. Dari semua lini bisnisnya, saat ini layanan antar barang ini memiliki kinerja paling baik. Pendapatan grup untuk segmen kargo meningkat 17 persen menjadi AS$3,6 miliar.

Di tengah seretnya pendapatan, maskapai masih terselamatkan oleh jatuhnya harga minyak dunia. Sehingga, biaya bahan bakar turun 62 persen dibanding 2019, menjadi AS$1,5miliar. Sayangnya, kerugian lindung nilai Cathay melonjak 30 kali lipat dibanding 2019, menjadi AS$388 juta. Sehingga, penurunan biaya avtur seolah menjadi tak berarti, karena digunakan untuk menutup biaya lindung nilai.

Sampai tahun 2021 pun awan gelap masih memayungi maskapai. Sebab, ternyata pada Januari lalu Cathay Pacific hanya mengangkut total 30.410 penumpang. Jumlah ini longsor 99 persen dibanding Januari 2020. Menurut South China Morning Post, penumpang yang diangkut Cathay pada Februari 2021 hanya 981 orang per hari. Jumlah ini adalah rekor penumpang terendah sejak Juni 2020.

Manajemen bahkan memperkirakan, aturan karantina baru yang lebih ketat di Hong Kong bakal membuat perusahaan semakin berdarah-darah dengan kehilangan AS$ 52juta per bulan. Cathay mengatakan, pada Februari pihaknya telah menyelesaikan penerbitan obligasi konversi, dan mengumpulkan dana baru sekitar AS$870 juta. “Belum jelas bagaimana pandemidan dampaknya akan berkembang selama beberapa bulan mendatang,” tutur Healy dalam sebuah pernyataan.

Bergantung pada vaksin

Pandemi yang tak kunjung usai ini memang paling memukul industri penerbangan dan pariwisata. Pada Januari 2021, Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) memperkirakan, maskapai penerbangan dunia membutuhkan dana bantuan dari pemerintah sebesar AS$70-80 miliar. Dana talangan itu sangat diperlukan maskapai agar dapat melewati masa pandemi virus korona dengan selamat. Sebab, IATA memperkirakan, perjalanan udara tidak akan kembali normal seperti sebelum pandemi, paling tidak hingga 2024.

Cathay Pacific sebelumnya menggantungkan harapannya pada keberhasilan vaksin Covid-19 di musim panas ini. Namun, seiring dengan banyaknya keluhan dari warga Hong Kong setelah menerima vaksin Sinovac, progress vaksinasi pun menjadi lambat. Banyak warga yang kini enggan divaksin. Saat ini baru sekitar 110.000 orang di Hong Kong yang telah menerima vaksin Covid-19.

Meski demikian, Healy menegaskan kembali keyakinannya bahwa pemulihan ekonomi akan terjadi setelah vaksinasi berhasil. Namun, ia juga masih mengkhawatirkan kebijakan pembatasan perjalanan. “Korelasi antara vaksinasi dan pelonggaran pembatasan perjalanan tetap masih sangat tidak pasti dan sulit diprediksi,” kata dia kepada Nikkei Asia.

Maskapai dunia terpukul

Menurut StockApps, buletin investasi yang berbasis di Inggris, sejumlah perusahaan maskapai penerbangan publik terbesar di dunia berdasarkan penjualan yakni Delta Air Lines, American Airlines, Lufthansa Group, United Airlines, Air France, dan International Airlines Group, kehilangan pendapatan AS$110 miliar sejak awal tahun 2020.

Delta Airlines AS mengalami kerugian terbesar mencapai AS$ 22,4 miliar. Kerugian bersih Delta adalah AS$5,4 miliar di kuartal ketiga, dibandingkan dengan keuntungan AS$1,5 miliar di periode tahun sebelumnya.

American Airlines kehilangan pendapatan AS$21,1 miliar sejak awal tahun. United Airlines, terbesar keempat secara global melaporkan kerugian AS$20,4 miliar dalam tiga kuartal tahun 2020, turun 63 persen dibanding tahun lalu.

Maskapai penerbangan terbesar ketiga di dunia berdasarkan penjualan dan terbesar di Eropa, Lufthansa Group, rugi AS$10,6 miliar pada paruh pertama tahun 2020. Lufthansa memberhentikan 8.300 karyawan tahun lalu, dan kemungkinan masih akan mengurangi karyawannya lagi sebanyak 22 ribu orang.[lokadata.id]

Keyword:


Editor :
M. Agam Khalilullah

riset-JSI
Komentar Anda