DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terancam kehilangan kewenangan untuk menjerat jajaran direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN sejak 24 Februari 2025.
Dua pasal dalam UU anyar ini menjadi sorotan, karena menghapus status direksi BUMN sebagai penyelenggara negara. Padahal, status itu merupakan syarat utama bagi KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan berdasarkan Undang-Undang KPK.
Pasal-pasal yang dinilai problematik itu adalah:
Dengan demikian, aparat penegak hukum antirasuah seperti KPK bisa kehilangan pijakan hukum untuk mengusut dugaan korupsi yang melibatkan petinggi BUMN.
Menanggapi hal itu, Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian, menilai UU ini seperti sengaja didesain untuk melemahkan peran KPK.
Ia menyebut bahwa banyak BUMN yang selama ini kerap tersandung kasus korupsi, bahkan nyaris tidak ada perusahaan pelat merah yang bersih dari masalah.
“UU ini seperti skenario yang sengaja dibangun agar KPK tak bisa menyentuh BUMN. Padahal tiap tahun negara memberi subsidi besar, tapi laporan keuangannya sering rugi. Ini janggal,” ujar Alfian kepada Dialeksis, Rabu (7/5/2025).
Ia juga menyoroti bahwa dalam UU baru tersebut, pejabat BUMN tak lagi diwajibkan melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), padahal itu merupakan instrumen penting dalam pencegahan tindak pidana korupsi.
"BUMN mengelola uang negara dan bagian dari negara, kenapa tidak wajib LHKPN lagi? Ini justru melemahkan sistem pengawasan," tambahnya.
Alfian menilai, lemahnya instrumen pengawasan dalam UU ini sejalan dengan pembentukan Danantara, Badan Pengelola Investasi besar itu bahkan tidak bisa diaudit oleh BPK maupun BPKP. Namun, hanya auditor pilihan Danantara yang boleh memeriksa keuangan mereka.
"Kalau kita hubungkan dengan waktu lahirnya UU ini yang berdekatan dengan pendirian Danantara, sangat jelas bahwa ada skenario besar untuk menyelamatkan entitas tertentu dari pengawasan dan audit publik," ungkapnya.
MaTA menilai, revisi aturan semestinya memperkuat sistem antikorupsi, bukan melemahkannya.
“Kalau BUMN dibiarkan seperti ini, publik pasti akan sulit percaya bahwa korupsi bisa dihentikan di tubuh perusahaan negara,” pungkas Alfian.