DIALEKSIS.COM | Feature - Selepas menuntaskan ujian tertutup disertasi S3 di Universitas Padjadjaran, Bandung, pemilik Dialeksis, Aryos Nivada, baru saja menarik napas lega. Waktu menunjukkan pukul 12.20 ketika ruang sidang dinyatakan selesai. Namun hanya selang hitungan jam, tepat pukul 16.20, layar ponsel Aryos bergetar. Sebuah pesan WhatsApp masuk dari Komisioner Panwaslih Aceh, Fahrul Rizha Yusuf.
“Bung, kapan sempat ke Jakarta?”
Pesan singkat yang langsung mendapat balasan cepat. Bukan sekadar undangan bertemu, tetapi isyarat percakapan panjang dari seorang yang dikenal sebagai penjaga marwah demokrasi Aceh,”rencana hari Minggu pagi sudah tiba di Jakarta,” balas owner Dialeksis Aryos.
Fahrul lanjut membalas,”Ok kita ketemu di Jakarta ya,” ujarnya singkat.
Setibanya di Jakarta pada pagi harinya, Aryos langsung menuju tempat yang disepakati yang berada di tempat Jakarta Coffee House, Jalan KH Wahid Hasyim. Begitu masuk, sosok Fahrul mantan aktivis Katahati Institute dan pendiri Jaringan Survei Inisiatif telah menanti dengan senyum khasnya.
“Selamat, Bung! Ujian tertutupnya sudah rampung. Tinggal satu tahap lagi menuju sidang terbuka,” ucapnya menyambut, penuh kehangatan.
Sapaannya sederhana namun sarat penghargaan. Dari sana, diskusi menarik pun mengalir deras.
Fahrul bukan nama asing dalam dunia kepemiluan Aceh. Rekam jejaknya panjang dan konsisten. Ia telah dua periode menjadi Komisioner Panwaslih Aceh Barat Daya sejak 2013, dan melanjutkan pengabdian di Panwaslih Aceh untuk dua periode berikutnya sejak 2018 hingga kini. Dalam dunia pengawasan pemilu, sosok seperti ini jarang bertahan bukan karena jabatan, melainkan karena dedikasi.
Tak heran, banyak yang menyebutnya “pejuang demokrasi Aceh”.
Percakapan di meja kopi itu langsung menuju isu besar: perubahan lanskap politik Aceh pada Pemilu 2029. Ketika ditanya apa indikator perubahan itu, Fahrul menjawab tegas,“Ini soal Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024. Putusan ini mengubah seluruh desain pemilu ke depan.”
Menurutnya, publik masih minim memahami dampak putusan yang memisahkan Pemilu Serentak Nasional dan Pemilu Serentak Lokal. Padahal, perubahan tersebut membawa implikasi hukum dan politik yang sangat fundamental.
Dengan nada mantap, Fahrul menerangkan,“putusan MK 135 menutup ruang bagi dualisme pemilu. Tidak bisa lagi Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal berjalan dengan landasan hukum berbeda. UU Pemilu dan UU Pilkada harus duduk dalam satu bangku regulasi,” jelasnya.
Artinya, Aceh yang memiliki kekhususan akan menghadapi masa konsolidasi hukum baru. Sejumlah rujukan regulasi lokal tidak lagi bisa berdiri sendiri.
Fahrul menilai banyak kerancuan muncul di masyarakat karena lemahnya edukasi demokrasi. Pemilu dianggap sekadar momentum politik lima tahunan, padahal desain konstitusinya kini berubah.
Untuk menjawab kebutuhan itu, Panwaslih Aceh telah menggelar rangkaian diskusi publik di 23 kabupaten/kota, mempertemukan penyelenggara pemilu, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil. Forum ini bukan sekadar sosialisasi, melainkan ruang koreksi terhadap praktik kepemiluan selama ini.
Dari dialog tersebut, Panwaslih mencatat empat aspirasi besar masyarakat meliputi kampanye yang mencerdaskan, bukan transaksional, pendidikan politik lintas sektor, penegakan hukum lebih tegas terhadap politik uang, dan transparansi dan akuntabilitas hasil pemilu.
“Publik menginginkan pemilu bermartabat. Mereka tidak ingin mengulang praktik lama yang merusak demokrasi,” kata Fahrul.
Selain Putusan MK 135, Fahrul juga menyinggung Putusan MK 104/PUU-XXIII/2025 yang mempertegas kewenangan Bawaslu dalam menangani pelanggaran administrasi Pilkada. Rekomendasi pengawas kini wajib ditindaklanjuti oleh KPU/KIP, bukan lagi dianggap sekadar saran.
Ia menilai, struktur pengawasan pilkada selama ini terlalu berat. Panwaslih Pilkada bersifat ad hoc, membutuhkan anggaran besar dari APBA/APBK, dan rentan terlambat dibentuk.
“Seharusnya model pengawasan itu tunggal di bawah Bawaslu. Permanen, efektif, dan efisien,” ujarnya.
Bagi Fahrul, Putusan MK 135 telah mengunci arah itu: pengawasan pemilu dan pilkada tidak boleh lagi terpisah.
Menutup diskusi, Fahrul membahas tantangan khas Aceh bagaimana merawat demokrasi dalam bingkai syariat dan kearifan lokal. Aceh bukan hanya daerah istimewa secara politik, tetapi juga daerah berciri hukum yang unik.
“Pemilu Aceh harus menjadi pilar peradaban politik yang menjaga etika, nilai, dan pendidikan bagi masyarakat,” ujarnya.
Diskusi mendalam itu akhirnya harus ditutup karena Fahrul mendapat panggilan makan dari koleganya. Sebelum berangkat dirinya meninggal pesan bijak,”Demokrasi, Pemilu dan Politik bukan hanya aspirasi pada bilik suara Namun, imajinasi dan inovasi membangun peradaban negeri,”
Namun kesan pertemuan tersebut mengendap kuat dibenak pikiran jika sang komisioner Panwaslih ini bukan sekadar birokrat pengawas pemilu, tetapi intelektual lapangan yang memahami detail regulasi dan filosofi demokrasi.
Bagi Aceh bahkan bagi Indonesia sosok seperti Fahrul Rizha Yusuf adalah aset. Seorang yang memilih linimasa panjang pengawasan pemilu bukan sebagai karier, tetapi sebagai jalan pengabdian.
Saat berpisah, keduanya saling memberikan dukungan. Di antara hiruk pikuk Jakarta, dua sahabat lama itu kembali memperkuat tekad menjaga demokrasi tetap pada relnya.
Fahrul, sang pejuang demokrasi Aceh, melangkah pergi meninggalkan pertemuan penuh isi dialektika. Tapi gagasannya tentang masa depan pemilu lebih bersih, lebih bermartabat, lebih terdidik tetap tinggal, menjadi PR besar menuju 2029.