Beranda / Feature / Suratan Hidup Irwandi Yusuf

Suratan Hidup Irwandi Yusuf

Selasa, 21 Februari 2023 11:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Bahtiar Gayo

Irwandi Yusuf


DIALEKSIS.COM | Apakah sudah suratan perjalanan hidup tokoh di ujung barat pulau Sumatera ini? Dia bagaikan tidak terlepas dari lingkaran hukum. Padahal belum terlalu lama dia menghirup udara kebebasan, setelah menjalani hukuman di Suka Miskin.

Kini dia kembali berurusan dengan hukum, statusnya memang sebagai saksi. Irwandi Yusuf, mantan Gubrnur Aceh, tokoh politik dengan warna khas orange, dijadikan saksi dalam kasus dugaan korupsi yang dilakukan Ayah Merin.

Izil Azhar atau lebih kerap disapa Ayah Merin sedang menjalani kurungan, setelah pihak KPK menciduknya, dia masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) sejak 2018. 

Ayah Merin diciduk dengan dugaan korupsi, penerimaan gratifikasi proyek pembangunan dermaga bongkar, Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang tahun anggaran 2006-2011 sebesar Rp 32,45 miliar.

Selain kasus Ayah Merin, publik juga masih dihangatkan dengan pemberitaan adik kandung Irwandi Yusuf yang juga baru mendapat hukuman 4 tahun penjara. Muhammad Zaini Alias Bang M, divonis empat tahun penjara terbukti melakukan korupsi, pengelolaan Aceh World Solidarity CUP (AWSC) tahun 2017 atau Tsunami Cup I Piala Gebernur Aceh.

Sementara Mirza, selaku bendahara AWSC tahun 2017 divonis tiga tahun penjara. Sidang vonis tersebut di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Banda Aceh, Kamis 16 Februari 2023. Proyek itu merupakan kegiatan ketika Irwandi Yusuf menjabat sebagai Gubernur Aceh.

Lantas bagaimana kini dengan kasus Ayah Merin? Hukum tetap hukum, harus ditegakan, demi rasa keadilan. Bagi mereka yang memandang dari sisi hukum, Irwandi harus ikut dalam pusaran kasus Ayah Merih. Namun adilkah kalau Irwandi harus terkena jeratan hukum kembali? 

Apalagi pelaksanaan proyek dermaga Sabang, saat Aceh sedang memasuki masa rawan, masa transisi perdamaian. Rasa simpati kepada Irwandi Yusuf muncul ke publik, bukan hanya dari simpatisanya yang masih menjadikan Irwandi sebagai idolanya.

Namun, kali ini publik dikejutkan ketika seorang professor dari Universitas Siyah Kuala (USK), ketika memberikan pandangan yang berbeda soal Kasus Ayah Merin. Guru besar sosiolog yang pernah terjun berkompetisi di dunia politik ini menilai pemerintah pusat sudah mempermalukan Aceh.

Profesor Ahmad Humam Hamid, Sosiolog, guru besar USK menilai, penanganan kasus gratifikasi yang melibatkan Ayah Merin tidak seharusnya dilihat dari perspektif hukum semata. Tetapi harus juga dilihat dari perspektif sosial karena saat itu Aceh dalam masa transisi pascadamai, yaitu dari perang ke perdamaian.

"Kasus itu harus dilihat dalam perspektif transisi,” kata Humam Hamid, seperti dilansir Serambi. Profesor ini menilai, dari ekonomi perang ke ekonomi damai yang belum jelas benar bagaimana bentuk kesejahteraan kepada eks kombatan, anak yatim, janda konflik saat itu," sebutnya.

Humam Hamid MA meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak mempermalukan Aceh melalui penanganan kasus Izil Azhar alias Ayah Merin. Sebagai sosiolog, ia hanya melihat dari sisi bagaimana pemerintah pusat memperlakukan Aceh.

“Jadi menurut saya, sebaiknya (kasus) ini dihentikan. Ini sosiologis, saya tidak bicara hukum. Dan kadang-kadang sosiologis ini lebih penting daripada hukum. Saya juga tahu Izil bukan manusia hebat dan baik sekali. Tetapi ia punya tanggung jawab. Itu yang saya hormati,” ungkap Humam.

Prof Humam Hamid menjelaskan, dalam konteks penanganan kasus, Presiden Jokowi dan KPK tidak ada kaitan. Akan tetapi, publik Aceh akan memiliki dua memori berbeda terhadap pemerintah pusat dalam menjaga harkat dan martabat Aceh.    

“Pada masa Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), dia berusaha sekuat tenaga untuk mendamaikan Aceh. Pada masa Pak Jokowi, walaupun ini korupsi disebut atau apapun namanya, ini adalah mempermalukan Aceh,” tegas Humam.

Menurut Humam, apa yang dilakukan Ayah Merin saat itu adalah sebuah upaya menjaga perdamaian yang masih muda. Bahkan di sisi lain, Ayah Merin juga menjaga agar senjata dan bom sisa konflik tidak meledak karena persoalan kesejahteraan.

“Kalau kasus ini berlanjut dan Izil (Ayah Merin) dihukum, apapun ceritanya uang itu mengalir ke banyak orang. Kecil sekali uang 32 miliar yang terlibat banyak orang itu dipertaruhkan untuk sebuah perdamaian dan masa depan Indonesia,” tambah dia.

“Pada masa itu, GAM sangat beda. (Kasus Ayah Merin) ini narasinya bukan korupsi seperti (yang dilakukan pejabat) saat ini. Kalau pun ada, lebih kepada uang keamanan yang biasa dipraktikkan eks kombatan masa perang,” ujar Humam.

“Apalagi pada masa itu ada beberapa eks kombatan ada yang menjadi pejabat, ada gubernur, bupati, walikota, DPR. Itu artinya, ada beban besar kepada petinggi GAM untuk mencari cara bagaimana menenangkan eks kombatan walaupun sesaat,” katanya. 

Karena itu, Humam berharap pegiat anti korupsi di Aceh agar jeli melihat kasus ini dan memahami konstruksi persoalannya.

“Saya anti juga dengan koruptor. Tangkap aja koruptor. Tapi ini lain, di sini ada konteks perdamaian,” ucapnya. Dia juga menyakini kalau Irwandi Yusuf tidak terlibat. Namun apabila kasus ini dikaitkan dengan korupsi, maka Irwandi sebagai mantan gubernur Aceh juga harus ditangkap.  

“Saya duga Irwandi tidak terlibat. Saya haqqul yakin. Dan untuk menangkap Ayah Merin, itu Irwandi harus ditangkap. Jika ini korupsi, Irwandi harus ditangkap. Ini tidak benar. Saya juga mendengar Irwandi tidak memerintahkan Ayah Merin,” tutup Humam.

Sebuah statemen dari sang sosilog yang menyentakan publik, berani menyampaikan rasa nuraninya yang terdalam, karena dia tahu persis bagaimana perkembangan Aceh saat awal awal perdamaian. 

Siapa Ahmad Humam Hamid yang dengan lantang meminta agar pemerintah pusat tidak mempermalukan Aceh? Dia lahir di Samalanga Bireuen, 31 Maret 1956. Menyelesaikan sarjana di Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala (USK), kemudian magister Sosiologi di Universitas Ateneo de Manila, Filipina (1986), dan doktoral di University of Kansas Amerika Serikat (1996).

Namun, bagi pegiat anti korupsi, pegiat hukum tetap mengedepankan persoalan hukum harus diselesaikan secara hukum, agar ada kepastian hukum. Siapapun yang bersalah dan terlibat dalam jeratan hukum, harus mempertanggungjawabkan perbuatanya di depan hukum.

Apakah sudah suratan perjalanan hidup Irwandi Yusuf di usia senjanya yang senantiasa dikejar-kejar persoalan hukum. Tuntas kasus yang satu, datang lagi persoalan lainya. 

Tuhan sudah mengatur perjalanan hidup manusia, tidak ada manusia yang meminta perjalanan hidupnya susah, bergelimang masalah. Namun inilah romantika hidup, Irwandi Yusuf sudah mengukir sejarah perjalanan hidupnya. (Bahtiar Gayo)

Keyword:


Editor :
Zulkarnaini

riset-JSI
Komentar Anda