Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Cermin Kemiskinan di Aceh tidak Sesuai Realitas, Benarkah?

Cermin Kemiskinan di Aceh tidak Sesuai Realitas, Benarkah?

Kamis, 25 Februari 2021 08:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Potret hidup di Aceh (Foto/ Antara/Ampelsa)

Siapa mau hidup dalam garis kemiskinan? Semua manusia ingin hidupnya sejahtera. Tidak ada yang berkeinginan hidup dalam “selimut” kemiskinan. Namun mampukah si miskin bebas dari prediket miskinya, tanpa bantuan pihak lain? Sulit. Jika ada bisa dihitung dengan jari.

Untuk itu, negara berkewajiban memperhatikan mereka yang hari harinya diselimuti kemiskinan. Berbagai upaya dilakukan. Namun mengapa angka keminiskinan itu masih tinggi, alamkah yang salah atau manusia yang bertugas mengelolanya kurang bijaksana?

Aceh masih menjadi buah bibir karena persoalan kemiskinan.Triliunan rupiah dana otonomi khusus, ditambah dengan berbagai sumber lainnya, belum mampu membuat Aceh menjadi provinsi yang rakyatnya hidup sejahtera. Aceh masih dinobatkan sebagai daerah termiskin di Sumatera.

BPS telah merilis, September 2019 sebelum terdampak Covid-19, kemiskinan Aceh sebesar 15,01%. Pada Maret 2020 turun menjadi 14,99%. dan September 2020 saat negeri ini dibalut pandemi, kemiskinan Aceh meningkat menjadi 15,43%. Secara nasional angka kemiskinan itu naik.

Apa ada yang salah? Dana yang dikucurkan cukup besar, namun prediket miskin tetap melekat. Apa penyebab predikit itu tidak mau tanggal dari Aceh, apakah pengelolanya yang salah?

Dialeksis.com mencoba meramu “penyebab” kemiskinan itu dan apa yang harus dilalukan oleh mereka pengambil kebijakan. Bagaimana analisa dan tanggapan berbagai pihak, apakah Aceh berpeluang untuk membebaskan diri dari label miskin?

Kesalahan di Pemerintah Aceh?

Alokasi anggaran yang begitu besar untuk Aceh selama ini, ternyata belum mampu dikelola dengan baik, atau bisa dikatakan masih salah urus. Sehingga triliunan dana Otsus dan sumber anggaran lainnya, hanya dinikmati oleh segelintir orang.

Belum begitu menyentuh masyarakat menengah ke bawah, hal itu diungkapkan Ketua Yayasan Aceh Kreatif, Delky Nofrizal Qutni, dalam keteranganya kepada media, Selasa (16/02/2021).

Menurutnya, angka kemiskinan di Aceh, september 2020 sebanyak 833,91 ribu orang. Jumlah itu bertambah 19 ribu orang dibandingkan Maret 2020 (814,91 ribu orang).

Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah Aceh masih gagal dalam mengelola uang yang besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Jelas Delky, sehingga lagi-lagi Aceh hanya berhasil menjadi provinsi dengan predikat kemiskinan tertinggi. Apakah pemerintah Aceh kembali mau mengelak, bahkan mengatakan data BPS itu tidak benar.

Padahal, jelas-jelas secara fakta pemerintah Aceh terlalu banyak terbuai dan lalai dengan program-program yang cenderung hanyalah pemborosan anggaran dan menghamburkan uang rakyat, dimana output dan outcome nya tidak maksimal menyentuh kepentingan real masyarakat.

"Contoh kecilnya ya gerakan bagi-bagi masker yang operasionalnya jauh lebih mahal dari masker yang dibagikan, belum lagi segudang contoh lainnya yang jelas-jelas hanya untuk mempoya-poyakan uang rakyat," sebutnya.

Meningkatnya kemiskinan di Aceh di masa Covid-19, tentunya berbanding terbalik dengan besarnya alokasi anggaran BTT yang mencapai ratusan milyar. Refocusing APBA untuk penanganan Covid-19 yang mencapai 2,3 Triliun Rupiah.

"Kita bisa lihat berapa persentasenya yang menyentuh masyarakat, berapa tinggi yang terindikasi mark up dan rasional penggunaannya," jelas Delky. Perputaran uang Aceh terlalu banyak keluar, sehingga effect ekonomi di kalangan bawah sangatlah kecil.

Sebagai contoh, dari banyak paket APBA atau APBK dikerjakan oleh perusahaan luar, pajaknya keluar, perputaran uang hasil yang di dapat pengusaha-pengusaha itu juga keluar, apalagi pengusahanya tinggal di luar Aceh. Maka perputaran uangnya tentu keluar, sehingga perputaran uangnya tidak di Aceh.

"Alhasil, daya beli melemah, perputaran uang di tataran pedagang lokal minim, harga jual hasil pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan menurun dan pedagang lokal pun turut kewalahan," jelasnya.

Belum lagi, lanjut Delky, program yang dilaksanakan oleh pemerintah yang belum optimal secara output dan outcome kepada masyarakat.

"Jadi, banyak hal yang harus segera dievaluasi dan diperbaiki agar paparan visi-misi Aceh hebat itu bukan hanya sebatas di atas kertas. Jika pemerintah Aceh tidak segera berbenah, maka kepemimpinan Gubernur Aceh saat ini tidak akan mewujudkan Aceh hebat, namun justru menjadikan rakyat Aceh melarat,"tegasnya.

Menurut Delky, jika kita lihat dari dokumen konsultasi Bappeda Aceh untuk tahun 2021 yang dikeluarkan pada tahun lalu itu memang sudah mengarah pada sektor ekonomi real dan pemulihan ekonomi.

"Apakah itu akan berjalan? Tentunya itu bisa dilihat dari besaran alokasi anggaran yang dialokasikan pada tahun 2021. Seberapa besar persentasenya untuk sektor-sektor yang menyentuh langsung kebutuhan masyarakat seperti UMKM, pertanian, perikanan, perkebunan, dan sektor lainnya,” jelasnya.

Namun realisasinya apakah akan mampu menyentuh masyarakat menengah ke bawah atau justru tetap dinikmati oleh segelintir elit dan kalangan menengah ke atas. Ini harus benar-benar dipantau, kata koordinator Solidaritas untuk Rakyat Daerah Terpencil (SuRaDT) itu.

Menurut Delky, jika pemerintah Aceh terus berupaya mengalokasikan anggaran untuk kegiatan fisik yang belum tentu berdampak kepada ekonomi dan kebutuhan real masyarakat, sementara plot anggarannya besar, maka dapat dipastikan pemerintah belum hijrah dari prilaku yang bejat.

"Kenapa kita katakan demikian, asumsinya jika yang menjadi fokus pemerintah Aceh adal infrastruktur besar tanpa dampak maksimal kepada masyarakat, maka tentunya itu adalah bentuk pemborosan uang rakyat,"ucapnya.

Aceh Kreatif berharap, disisa kepemimpinannya, Gubernur Nova Iriansyah lebih serius dan fokus untuk meningkatkan perekonomian masyarakat dengan mengoptimalkan sektor produktif baik itu di bidang pertanian, perikanan, perkebunan, peternakan, dan memaksimalkan sentuhan untuk menyokong keberadaan UMKM lokal di Aceh.

"Kita yakin Pak Gubernur dan stakeholder lainnya tidak ingin mengukir sejarah buruk di Aceh yang akan menjadi catatan dan ingatan bagi generasi-generasi berikutnya, sehingga evaluasi dan pembenahan secara maksimal mesti dilakukan,” sebutnya.

Gubernur harus bekerja lebih maksimal untuk itu dan tidak boleh terlalu lama terbuai seremonial. Jangan sampai sejarah mencatat, di bawah kepemimpinan Nova Iriansyah, Aceh Hebat menjadi Aceh melarat apalagi menjadi Aceh sekarat," jelas Delky.

Catatan Kemiskinan

Dari catatan Badan Pusat Statistik Daerah Istimewa Aceh, provinsi paling ujung barat pulau Sumatera ini sudah menjadi daerah termiskin dengan daerah lain di tanah Sumatera sejak 2002.

Pada 2002, jumlah penduduk miskin di Aceh berjumlah 1,19 juta jiwa atau secara persentase sebesar 29,83%. Namun dari tahun ke tahun, jumlah penduduk miskin di Aceh memang menunjukkan adanya angka penurunan, namun tidak signifikan.

Aceh masih berada dalam data penduduk termiskin di Sumatera. Dilihat dari data tahunan, selama 5 tahun ini jumlah penduduk miskin di Aceh masih tinggi. Pada September 2015 misalnya, jumlah penduduk miskinnya 859,41 ribu atau 17,11%.

Persentase itu turun jadi 16,43% pada September 2016 dan berlanjut lagi menjadi 15,92% pada September 2017 dan 15,68% pada September 2018. Pada September 2019, angka kemiskinan berhasil turun lagi menjadi 15,01% dan turun lagi menjadi 14,99% pada Maret 2020.

Kemudian naik lagi menjadi 15,43% atau sebanyak 833,91 ribu orang pada September 2020 seperti yang dilaporkan oleh Kepala BPS Suhariyanto belum lama ini. Jumlah itu bertambah 19.000 orang dibandingkan dengan Maret 2020 yakni 814,91 ribu orang.

Dari data angka kemiskinan ini, Bappenas membenarkan tingginya angka kemiskinan di Aceh sudah terjadi sejak tahun 2000.

"Jadi so far, Provinsi Aceh tingkat kemiskinan sudah tinggi sejak tahun 2000," jelas Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Kesejahteraan Sosial Bappenas Maliki kepada CNBC Indonesia, Kamis (18/2/2021).

Menurut Maliki, optimalisasi dari sumber daya alamnya masih rendah. Seperti kopi, yang sebenarnya sangat digemari oleh masyarakat dunia. Produk-produk masyarakat miskin rentan masih belum diolah sehingga (tidak) mempunyai daya jual yang lebih tinggi. Mungkin karena Medan masih menjadi pusat ekonomi.

"Hasil olahan rakyat, terutama kopi masih banyak didominasi oleh pasaran melalui Medan, Jadi kontrol harga masih belum optimal," kata Malik. Selain itu, kebanyakan masyarakat penduduk Aceh juga lebih banyak memperhatikan investasi daripada untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-harinya.

"Orang Aceh lebih banyak memperhatikan investasi daripada pengeluaran untuk makanan dan sehari-hari. Inipun pasti akan mempengaruhi profil pengeluaran. Di mana kemiskinan sangat dipengaruhi oleh pola makan dan kalori," tuturnya.

Dana otonomi khusus (Otsus) Aceh yang sudah digelontorkan oleh pemerintah sejak 2015-2020 Rp 47,6 triliun juga menurut Maliki belum dimanfaatkan secara baik.

"Mungkin nanti ke depan (dana otsus) bisa digunakan untuk meningkatkan akses pasar yang lebih independen. Daripada harus lewat Medan, Sumatera Utara," tuturnya.

Untuk menanggulangi dan mengurangi angka kemiskinan di Aceh, Bappenas berencana untuk membuat beberapa uji coba yang akan segera diperluas di Aceh. Bappenas akan memulainya dengan merapikan data dengan melakukan uji coba registrasi sosial mendata seluruh penduduk di beberapa desa di Aceh.

Dalam menanggulangi kemiskinan di Aceh, Bappenas juga akan memperluas cakupan administrasi kependudukan, terutama cakupan akta lahir. Pasalnya masyarakat miskin rentan tidak memiliki memiliki akta lahir.

"Sistem pelayanan dasar, baik pendidikan, kesehatan, maupun sanitasi air minum. Tata kelolanya sedang kami merapikan. Kami juga akan melakukan pemberdayaan ekonomi dengan memberdayakan rakyat miskin melalui pemberdayaan sumber daya lokal, namanya keperantaraan," jelas Maliki.

Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) telah melakukan kajian masalah kemiskinan di Provinsi Aceh. Menurutnya, kemiskinan di Aceh bisa diatasi apabila dana otonomi khusus (otsus) dikelola dengan benar.

Peneliti KPPOD Arman Suparman menjelaskan persoalan kemiskinan di Aceh disumbang oleh persoalan tata kelola pembangunan di daerah. Seharusnya pembangunan di sana bisa difokuskan untuk memenuhi kebutuhan mayoritas masyarakat di Aceh.

"Tata kelola pembangunan, dari birokrasi dan pelayanan publik tidak banyak memberikan andil untuk kesejahteraan masyarakat. Ini juga salah satu kontribusi angka kemiskinan," jelas Arman seperti yang dilansir CNBC Indonesia.

"Tata kelola pembangunan dan implementasinya seharusnya fokus ke persoalan masyarakat di daerah. Kadang pemerintah daerah itu kurang tahu apa yang menjadi kebutuhan masyarakat," kata Arman.

Melihat sumber daya alam yang ada di Aceh, seperti kopi dan kakao, seharusnya kata Arman bisa dimanfaatkan untuk mensejahterakan rakyat di sana. Optimalisasi produksinya, menurut Arman salah satunya bisa digunakan melalui dana otsus.

Menurut Arman, dana pembangunan di Aceh terbesar berasal dari dana otsus. Pun 50% penerimaan daerah berasal dari dana otsus yang setiap tahun digelontorkan oleh pemerintah pusat.

Masalahnya, pengelolaan dana otsus di Aceh, menurut Arman tidak dikelola dengan baik. Seperti diketahui, sejak 2008 - 2015 dana otsus di Aceh meningkat. Terakhir pada 2019 dan 2020, Aceh mendapatkan porsi dana otsus Rp 8,4 triliun, meningkat dibandingkan alokasi 2017-2018 yang sebesar Rp 8 triliun.

"Seharusnya dengan dana otsus itu bisa untuk mengatasi kemiskinan dan mensejahterakan rakyat Aceh. Caranya, dana otsus dialokasikan untuk pembiayaan prioritas seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Dari sistem perencanaan harus focus," jelasnya.

"Money follow program, ketika punya fokus, anggaran seharusnya mengikuti programnya. Ini yang belum optimal dijalankan Pemda Aceh. Juga dari pemerintah pusat kurangnya pengendalian dan pengawasan," jelas Arman.

Oleh karena itu, menurut Arman pemerintah pusat semestinya bisa memberikan semacam NSPK. Atau lebih tepatnya ketentuan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan pemerintah pusat sebagai pedoman dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan konkuren (bersaingan) serta menjadi kewenangan pemerintah pusat dan untuk menjadi kewenangan daerah.

Sementara dari tahun yang sudah berjalan, sambung Arman dana otsus di Aceh tidak dipergunakan secara rata, baik itu untuk infrastruktur, kesehatan atau pendidikan. Dari pengamatannya sejauh ini, dana otsus banyak digunakan untuk pembangunan infrastruktur.

Pembangunan infrastruktur di Aceh pun tidak memberikan multiplier effect yang signifikan untuk masyarakatnya.

"Seharusnya infrastruktur itu untuk mempermudah konektivitas masyarakat. Perlu meningkatkan kebijakan lain, karena mata pencaharian besar di Aceh kebanyakan adalah petani. Perlu memajukan kesejahteraan petani dengan program lain. Makanya dana otsus sebaiknya fokus," jelas Arman.

Berdasarkan data BPS, sampai dengan Agustus 2020 jumlah mata pencaharian masyarakat di Aceh sebanyak 231,86 ribu masyarakatnya atau 21,42% bekerja di sektor pertanian. Kemudian 162,99 ribu orang atau 15,05% sebagai tenaga administrasi pemerintahan, pertahanan, dan jaminan sosial, dan sebanyak 156,84 ribu orang atau 14,49% bekerja di jasa pendidikan.

Bagaimana analisa pengamat? Pakar Ekomoni Syariah, Dr Hafas Furqani mengatakan, dalam menuntaskan kemiskinan di Aceh pentingnya arah pembangunan dengan mengedepankan kebutuhan pokok masyarakat dan adanya sinergisitas antara lembaga-lembaga syariah yang dapat membangkitkan ekonomi Umat.

"Karena kita merupakan daerah termiskin di Sumatera, seharusnya pemerintah lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan pokok yang meliputi hajat hidup masyarakat dan lebih mengoptimalkan serta mensinergikan lembaga-lembaga syariah seperti bank daerah yang seharusnya lebih berfokus pada pembangunan agar kemiskinan bisa turun di Aceh," ujar Hafas Furqani saat dihubungi Dialeksis.com, Kamis (18/2/2021)

Hafas menjelaskan, menurutnya salah satu penyebab Aceh kembali termiskin di Sumatera adalah kebijakan pemerintah yang disinyalir salah sasaran dan dalam kebijakan pemerintah tidak menyentuh dimensi yang dapat mengurangi tingkat kemiskinan.

"Termasuk kebijakan pemerintah yang mungkin salah sasaran yang intinya kebijakan-kebijakan pemerintah tidak langsung menyentuh dimensi-dimensi yang mengurangi tingkat kemiskinan seperti alokasi anggaran yang lebih kepada pembangunan yang tidak berdampak langsung di masyarakat," tambah Hafas.

Hafas juga menjelaskan harapannya, agar pemerintah segera melakukan refleksi untuk melihat bahwa ada yang salah dalam pembangunan Aceh, karena sudah sangat lama Aceh berstatus sebagai Provinsi termiskin di Sumatera bahkan 10 besar di Indonesia.

Mempersoalkan Data BPS

Data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh menjadi polemik. Direktur Kajak Institut meminta pihak BPS arif dan bijak dalam menampilkan angka-angka kemiskinan di Aceh. Setiap kali berita resmi statistik dirilis, terkesan dimanfaatkan pihak lain untuk mendiskriditkan Pemerintah Aceh, dan kemudian berlanjut dengan kontroversi di ruang publik.

Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Kajak Institute, Cut Sri Mainita, melalui keterangan tertulis yang diterima Dialeksis.com, Kamis (18/02/2021).

“Setiap BPS Aceh merilis data ekonomi makro dan tingkat kemiskinan hampir selalu terjadi kontroversi di lini massa, bahkan tampak dipolitisir oleh pihak-pihak tertentu yang tidak suka terhadap Aceh dan pemerintahannya,” ujar Cut Sri Mainita.

Direktur salah satu lembaga intermediary di Aceh ini, mengaku tidak memiliki otoritas untuk mengkritisi data kemiskinan yang dihasilkan BPS Aceh. BPS diberi otoritas oleh negara untuk mengumpulkan, mengolah, dan menyajikan data-data statistik.

Namun, data-data kemiskinan di Aceh seyogyanya dapat disajikan dengan arif dan bijaksana. Dia menilai sangat tidak arif ketika BPS Aceh hanya menyajikan data kemiskinan di Aceh tanpa menampilkan data-data kemiskinan menurut kabupaten/kota.

Diketahui angka kemiskinan Aceh yang disajikan BPS dan dirilis oleh hampir semua media massa, merupakan resultan dari kemiskinan di 23 kabupaten/kota di Aceh.

Akibat tidak disajikan data menurut kabupaten/kota, data kemiskinan versi BPS Aceh itu pun acap diangkat sebagai isu politik dan mendiskreditkan Pemerintahan Aceh. Isu yang sama setiap tahun, dana besar tapi rakyat tetap miskin.

Padahal, lanjutnya, dana pembangunan Aceh dari pendapatan asli daerah atau dana transfer dari pemerintah pusat yang dinilai sangat besar setiap tahun itu tidak hanya dikelola pemerintahan provinsi.

Melainkan juga dikelola pemerintahan kabupaten/kota dan bahkan di tingkat gampong ada dana desa setiap tahunnya. Uniknya, ketika Pemerintahan Aceh dijadikan samsak politik hampir setiap tahun, bupati/walikota tampak tak terusik.

Padahal bupati/walikota juga memiliki kewenangan penuh mengelola anggaran untuk mengurusi rumah tangganya sendiri, menekan angka kemiskinan. Sedangkan kewenangan provinsi mengintervensi program pemberantasan kemiskinan lintas kabupaten/kota, sebut Cut Sri Mainita.

Menurut direktur yang bergerak di lini bisnis event organizer itu, selain tidak menampilkan data-data kemiskinan menurut kabupaten/kota, data-data kemiskinan versi BPS Aceh yang dianggap banyak pihak sahih dan “suci” itu acap kali tampak tidak berkesesuian dengan fenomena sosial ekonomi dalam kehidupan masyarakat Aceh.

“Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran dan dinyatakan dalam garis kemiskinan (GK) dengan satuan rupiah. GK itu sendiri merupakan nilai minimum pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan makanan dan kebutuhan nonmakanan,” jelasnya.

“Lantas, bagaimana BPS Aceh menjelaskan fenomena mas kawin, kenduri, dan konsumsi barang-barang mewah di Aceh?” tanya Cut penasaran.

Cut Sri Mainita mengaku jarang mendengar mahar kawin di Aceh secukupnya atau seperangkat alat shalat saja, seperti yang ia temui di banyak daerah lain di Indonesia. Mahar kawin di Aceh umumnya berupa emas murni 99,99 karat dengan berat paling minimal tiga mayam, atau sekitar 10 gram. Bila dikonversi dalam nilai rupiah saat ini hampir mencapai lima juta rupiah.

"Itu baru mas kawin saja, belum lagi dihitung biaya perhelatan pernikahan dan upacara pestanya. Kebiasaan di Aceh, hampir seluruh keluarga dekat ikut terlibat mulai acara pelamaran dan upacara pernikahan," ujar Cut.

“Pada saat pesta perkawinan digelar, semua warga sekampung plus jiran dan kerabat dekat keluarga itu diundang. Semua undangan disungguhkan makanan padat menu dan minuman aneka rupa”, tambahnya.

Acara kenduri yang melibatkan orang sekampung dengan suguhan makanan dan minuman itu bukan hanya terlihat pada acara pesta kawin, melainkan juga pada setiap acara kenduri lainnya di Aceh.

Ada banyak tujuan berkenduri di Aceh mulai kenduri sunatan, kenduri turun tanah, atau kenduri untuk anggota keluarga yang meninggal dunia.

Bila ada anggota keluarga yang meninggal dunia, kenduri makanan dan minum bisa berlangsung tujuh hingga 10 hari, siang dan malam hari.

Bila kita lihat kenduri maulid untuk memperingati kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW, bisa berlangsung selama tiga bulan penuh di Aceh. Di daerah kabupaten/kota tertentu kenduri maulid itu bisa sangat meriah dan mewah, tutur Cut.

“Kenduri-kenduri itu cukup menggambarkan daya beli makanan, dan lebih jelas lagi pada kepemilikan hewan ternak dan kepemilikan kenderaan,” tambahnya.

Keluarga yang “divonis” miskin di Aceh rata-rata memiliki hewan ternak berupa ayam, itik, kambing, lembu, atau kerbau. Bagi orang Aceh di pedesaan, ternak-ternaknya itu merupakan “tabungan” sumber protein hewani bagi keluarganya, dan sekaligus sebagai aset yang sewaktu waktu dijual untuk kebutuhan nonmakanan, seperti biasa masuk universitas anaknya.

“Lihatlah kenderaan yang dimiliki masyarakat Aceh. Bila dibeberapa daerah di Indonesia masih sangat mudah menemukan penduduk sedang mengayuh sepeda pancal untuk ke pasar atau ke tempatnya bekerja, di Aceh justru geritan angin itu menjadi barang langka, kecuali dalam situasi demam gowes akhir-akhir ini,” sebutnya.

“Hampir setiap rumah orang “miskin” di Aceh tampak sepeda motor terparkir di luar rumahnya. Bahkan, antene parabola acap terlihat menyembul dari atap rumahnya. Antene parabola atau antene UHF tersebut terhubung dengan unit telivisi full coulor di dalam rumahnya, jelas Cut.

Lantas, tanya Cut Sri Mainita, bagaimana menjelaskan fenomena “orang termiskin” di Sumatera itu memiliki budaya mahar dengan emas murni 99,99 karat? Acap menggelar kenduri dengan aneka rupa sajian makanan, dan keritan angin sudah menjadi barang langka di Aceh?

“Jadi, stop memframming Aceh sebagai daerah termiskin. BPS Aceh mestinya juga menjelaskan fenomena kemiskinan Aceh tanpa sepeda pancal ke pasar itu dengan Provinsi Bengkulu yang dinilai lebih kaya itu,” pungkasnya.

BPS merilis penduduk miskin di Aceh meningkat 19 ribu orang pada September 2020. Apa indikator yang dipakai BPS sehingga menyatakan kemiskinan Aceh itu sangat tinggi di Sumatera?

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Aceh, Ihsanurijal melalui video conference, Jumat (19/2/2021), menjawab Dialeksis.com menjelaskan, survei untuk angka kemiskinan ini adalah rilis rutin yang dilakukan BPS di 34 provinsi se-Indonesia.

Sumber datanya melalui hasil Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) pada periode September 2020. Survei yang sekarang ini agak istimewa, karena periode September 2020 itu adalah periode pandemi Covid-19.

Ada yang menarik kalau coba kita cermati dari data BPS tentang kemiskinan ini. Kenapa tidak menyajikan hasil survei di kabupaten/kotanya? Ihsanulrijal menjelaskan, Susenas ini semesteran, bulan Maret dan September. Untuk bulan Maret itu sampelnya besar, sementara untuk September sampelnya kecil atau sedikit.

Untuk Susenas Maret bisa disajikan menurut kabupaten/kota. Sedangkan untuk September, tidak bisa disampaikan hingga kabupaten/kota. Karena sampelnya kecil.

Bulan September sampelnya cuma 2.920 RT di Aceh. Jadi cuma bisa mengestimasi untuk level provinsi. Sementara untuk di Susenas Maret, sampelnya besar, itu dimungkinkan estimasinya untuk sampai level kabupaten/kota.

Menurutnya, survei BPS itu dilakukan di semua provinsi, bahkan kabupaten/kota. Sementara untuk tingkat nasional hanya tinggal penjumlahan saja.

Ihsanulrijal tidak ada menjelaskan tentang perlakuan khusus satu daerah dalam melakukan survey, seperti Aceh misalnya, yang sebelumnya dibalut konflik dan dilanda tsunami.

Menurutnya, hasil rilis terkait kemiskinan yang diunggah pihaknya, hanya untuk provinsi Aceh saja. Kemudian hasil dari setiap provinsi menjadi data seluruh Indonesia.

Apakah kondisi pandemi Covid-19 merubah variabel dalam mengukur satu wilayah yang disurvei oleh BPS?

Nasrul menjelaskan, sumber data atau responden dari Susenas ini adalah pengeluaran rumah tangga. Jadi, kemiskinan ini diukur dari kebutuhan dasar rumah tangga. Ada berapa kebutuhan untuk makanan, berapa untuk kebutuhan minuman. Kebutuhan pokok untuk dia bisa hidup, itu yang survei.

Kaitannya dengan pandemi yakni metodenya yang sesuaikan. Sebenarnya dimakanan itu ada sekitar 52 komoditas yang ditanyakan. Namun karena pandemi, sekarang dibuat penyederhanaan dibuat lebih simpel untuk makanan jadi 10 komoditas yang ditanyakan. Untuk bukan makanan hanya 6 komoditas. Sebab masyarakat dan petugas kita juga takut (tertular Covid-19).

Menurutnya, BPS ini diberi amanah secara undang-undang untuk melaksanakan statistik di Republik Indonesia.Instansi vertikal, ada di pusat dan perwakilan pusat di provinsi, kemudian juga kabupaten/kota.

Apa yang dilakukan BPS seluruh Indonesia, merujuk dari apa yang diinstruksikan oleh BPS Pusat. Namun demikian, pihaknya senantiasa berkoordinasi dengan pemerintah setempat. Meminta izin dulu dasn berkoordinasi dalam melakukan survey, jelasnya.

Berbicara angka kemiskinan Aceh 15,43 persen , Nasrul menjelaskan, pihaknya memiliki rincian lebih lengkap dan siap pertanggung jawabkan.

Masih soal data BPS soal angka kemiskinan, anggota DPR Aceh Fraksi PKS, Bardan Sahidi mengatakan, pandemi menjadi penyebab angka kemiskinan di Aceh meningkat. Namun Aceh lebih baik dari rata-rata nasional.

Bardan Sahidi mengkritisi pernyataan kepala Bappeda Aceh yang memberi penjelasan soal kemiskinan di Aceh. Menurut Bardan, Kepala Bappeda Aceh tak cukup referensi dan tak lengkap membaca data, sebagai pemerintah yang menangani hal itu.

Menurutnya, selama Aceh dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (ABPA) serta Dana otonomi khusus (otsus) dana bagi hasil migas, dan Dana Tambahan Bagi Hasil (TDBH) Migas, angka kemiskinan di provisi ini tak kunjung turun.

"Tentunya ada yang salah dengan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kegiatan pembangunan di Aceh," ujar Bardan Sahidi dalam keterangan tertulisnya.

Kata dia, Perencanaan pembangunan Aceh hilang fokus dan lokus. Tidak berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dasar masayarakat. Misal, pembangunan talud penahan ombak jetty pemasangan batu gajah di sepanjang pantai, apa korelasinya dengan penangulangan kemiskinan, dan pembangunan embung.

"Dengan merusak bentangan alam mengambil batu gunung diangkut ke pantai. Sunnatullahnya ini menganggu lingkungan. Batu gunung dikeruk ketika hujan menyebabkan tanah longsor dan banjir. Embung untuk kawasan tadah hujan di area kawasan hutan yang rusak (deforestasi)," jelasnya.

Selain itu, munculnya usulan kegiatan pembangunan oleh pemerintah Aceh yang berorietasi pada proyek dengan keuntungan pada kelompok-kelompok tertentu, yang punya akses terhadap penguasa.

"Disparitas, kesenjangan sosial sangat tinggi di Aceh. Terlihat diantara rumah megah dengan gubuk, kendaraan mewah dengan sepeda tua pengais rezeki "sipapa" acap terlihat di sepanjang jalan," katanya.

Tak hanya itu, menjamurnya pengemis dengan berbagai latar belakang sosial, saban terlihat disepanjang pertokaan dan cafe di Kota Banda Aceh sebagai ibu kota provinsi Aceh.

Bardan menjelaskan, dengan dana 17 Triliyun lebih APBA bila dibagi dengan 5 juta jiwa penduduk Aceh di 23 kabupaten kota, seharusnya Aceh dapat mengatasi persoalan kemiskinan dan kesenjangan sosial.

"Berjalan tahun ke 4 RPJM Aceh ini lagi-lagi salah fokus dan lokus, di DPRA kami evaluasi kembali pelaksanaannya pada semua Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA)," sebut Bardan.

Menurut Bardan, data pokok BPS Statistik adalah data akademis dari hasil sensus, demikian juga data dari Bank Indonesia (BI). Dari Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Kementerian Dalam Negeri RI masih juga menempatkan Aceh provinsi dengan laju pertumbahan ekonomi paling rendah dengan penduduk miskin paling tinggi di Sumatera.

"Demikian juga data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Investasi (BKPM) Aceh adalah daerah yang tidak ramah investasi. Saya meyakini data ini," ungkapnya.

Anggota DPRA itu menyarankan solusi dari persoalan tersebut, langkah kongkrit pemerintah harus evaluasi RPJM dan RAPBA 2022 dengan berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, lapangan pekerjaan, peningkatan pendapatan keluarga (income per kapita), ekonomi produktif UMKM dan koperasi.

Apa yang Dilakukan Pemerintah Aceh?

 Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Aceh, T. Ahmad Dadek, ikut meramaikan media dalam persoalan kemiskinan. Dadek bagaikan mengeluarkan “jurus” mengantisipasi serangan kritikan.

"Kita harus melihat dalam konteks kondisi nasional dalam kaitan dengan pandemi Covid-19," kata Dadek.

Situasi ini, masih menurut data otoritas statistik, bahkan sudah terjadi selama bertahun-tahun. Sejak 2002, Aceh masih bersatus sebagai provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di tanah Sumatera.

Menurut Dadek, penambahan penduduk miskin di Aceh masih di bawah nasional. Persentase penduduk miskin Indonesia per September 2020, adalah 10,19% atau naik 0,97 poin dibandingkan September 2019 yaitu 9,22%.

"Sedangkan angka kemiskinan Aceh 15,01% tahun 2020 menjadi 15,43%. Dalam hal ini naik sebesar 0,42%, masih rendah dibandingkan dengan kenaikan secara nasional yang mencapai 0,93 poin," jelas Dadek.

Saat ini, jumlah orang miskin di Aceh jauh lebih baik dibandingkan daerah lain. Dadek mencontohkan seperti di wilayah Sumatera Utara yang memiliki orang miskin sebanyak 37 ribu orang, Lampung hingga 41 ribu orang, serta Sumatera Barat 20 ribu orang. Angka kemiskinan di Aceh naik pada masa Covid-19 dan masa Tsunami,"jelas Dadek.

Namun walau demikian, Dadek menjelaskan, tidak ingin menjadikan pandemi Covid-19 menjadi alasan yang akhirnya membuat angka kemiskinan menanjak. Namun, situasi ini memang tidak terelakkan.

"Kami ibaratkan ini seperti sebuah pertandingan kabupaten, kota, provinsi dan negara melawan kelas berat [pandemi Covid-19] yang bersifat global," tegas Dadek.

Khusus dana otsus, Dadek mengakui masih ada sisa kelebihan anggaran yang cukup besar. Ada beberapa kegiatan yang kita rencanakan, nilainya Rp 1,5 triliun," kata Dadek, kepada CNBC Indonesia.

Dadek mengatakan, pemerintah daerah memutuskan untuk tidak menggunakan sementara dana otsus. Pasalnya, pemerintah daerah tak ingin program daerah bertabrakan dengan kebijakan pemerintah pusat yang sudah menggelontorkan bantuan sosial.

Soal data persentase penduduk miskin Indonesia per September 2020, Dadek mengatakan, para pihak harus menyadari bahwa kondisi pandemi Covid-19 telah memberikan dampak besar bagi perekonomian Indonesia dan Aceh khususnya.

“Para pengkritik harus sadar kita berada di masa pandemik di mana pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan dan berbagai kendala yang ditimbulkan. Mulai tidak lancarnya mobilitas ekonomi, sampai dengan dibatasinya aktivitas masyarakat,”ujar Dadek.

Saat ini, kata Dadek, persentase penduduk miskin Aceh pada September 2020 sebesar 15,43 persen, atau naik 0,44 poin dibanding Maret 2020 yang sebesar 14,99 persen.

Sedangkan jumlah penduduk miskin Aceh pada September 2020 sebanyak 833,91 ribu orang, bertambah 19 ribu orang dibanding Maret 2020 yang sebesar 814, 91 ribu orang.

Menurut Dadek, saat ini Pemerintah Aceh terus berupaya bertahan di tengah kondisi pandemi yang berdampak pada terpuruknya perekonomian daerah. Meskipun kenaikan angka penduduk miskin Aceh masih di bawah nasional, Pemerintah Aceh terus melakukan upaya peningkatan perekonomian masyarakat terutama di tahun 2021 ini.

“Namun kita akui, harus bekerja lebih keras lagi tahun 2021 ini,” ujar Dadek.Tahun 2021 Pemerintah Aceh memiliki total anggaran sebesar Rp 9.384 T, yang terdiri dari APBA Rp. 8.058 T, APBN 1.285 dan CSR 41 M.

Dana tersebut akan digunakan untuk meningkatkan kemajuan di berbagai sektor dan diharapkan akan berdampak pada penguatan ekonomi. Total anggaran ini belum masuk Dana TP dan Tekon 2021, Dana Desa dan APBD Kab/kota,” ujar Dadek.

Dadek juga berharap agar Dana Desa juga difokuskan untuk pemberdayaan ekonomi terutama dalam menghadapi pandemi Covid-19 2021 sambil menunggu proses vaksinasi sehingga pandemi ini berakhir.

“Pemerintah Aceh akan merangsang sektor swasta dan UMKM agar dapat bangkit di tahun 2021 ini. Sehingga pelaku UMKM bisa lebih tahan dan kreatif dalam mempertahankan keberlangsungan bisnisnya,” sebutnya.

Menurut Dadek, isu kemiskinan di Aceh berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Kemiskinan di Aceh, meningkat tajam saat tahun 2000 sampai 2004 karena konflik bersenjata dan tsunami yang memporak porandakan Aceh pada saat itu.

“Tahun 2020 angka kemiskinan kita 15,20 dan tahun 2021 ini 15,43%, ini artinya Aceh tidak bisa disamakan dengan daerah lain dan harus bekerja keras dua kali lipat,” aku Dadek.

Dadek juga mengatakan, secara nasional Indonesia juga terus bekerja keras mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan penurunan angka kemiskinan di tengah pandemi Covid-19. Angka kemiskinan Indonesia juga disebut meningkat dari 9,22 % menjadi 10,19% atau naik 0,93 poin.

“Sedangkan Aceh 2019 angka kemiskinan Aceh 15,01 % tahun 2020 menjadi 15,43% dalam hal ini naik sebesar 0,42%, masih rendah dibandingkan dengan kenaikan secara nasional yang mencapai 0,93 poin,” jelasnya.

Menurut Dadek, Pemerintah Aceh telah mencoba berbagai strategi untuk menekan angka kemiskinan di Aceh, di antaranya dengan menekan pengeluaran masyarakat seperti program JKA, bantuan rumah layak huni, hingga meningkatkan pendapatan masyarakat dengan berbagai bantuan.

“Termasuk juga meningkatkan SDM dengan pelatihan kerja dan pendidikan, menekan transaksi ekonomi dengan meningkatkan jalan dalam keadaan baik, menjaga stabilitas pangan dan menangani dampak bencana,” jelasnya.

Apakah Aceh akan terus bertahan dengan prediket termiskin di Sumatera? Sudah pasti semua pihak, khususnya mereka yang mengambil kebijakan, akan berupaya memperkecil angka kemiskinan ini.

Tidak ada manusia yang menginginkan hidup dalam pusaran kemiskinan. Mereka semuanya ingin hidup sejahtera. Aceh dengan kucuran dana yang cukup besar, namun angka kemiskinan di negeri ujung barat pulau Swarnadwipa ini masih tinggi. Sampai kapan? Bahtiar Gayo


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda