Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Gaduh Pemilu Antara Proporsional Tertutup dan Terbuka

Gaduh Pemilu Antara Proporsional Tertutup dan Terbuka

Senin, 02 Januari 2023 18:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Baga

Ilustrasi. [Dok.Viva]

Kembali ke era serba tertutup dinilai sebagai pilihan terbaik setelah sebelumnya Pemilu dengan proprosional terbuka menyisakan sejumlah persoalan yang tak kunjung usai dalam setiap momentum pemilu. Tak lain adalah fenomena praktek vote buying dan vote trading yang marak berlangsung di pemilu 2014 dan 2019.

Selain itu sistem proporsional terbuka dianggap memperlemah partai sekaligus mendorong iklim kompetisi ketat diantara sesama kader partai yang berlaga dalam arena kontestasi demokrasi lima tahunan.

Mahkamah Konstitusi memutuskan agar menggunakan sistem proporsional terbuka dan sudah dimulai sejak pemilu 2009, 2014 dan 2019 terus menggunakan sistem ini.

Bila mau jujur, setiap pilihan varian sistem pemilu memiliki plus-minus, baik proporsional terbuka (openlist proportional representation) ataupun tertutup (closed list proportional representation), sebut Aryos.

Kelemahan dari proporsional terbuka, selain maraknya vote buying atau politik transaksional antara caleg dan pemilih, dinilai adalah terbangunnya individualisme antar politisi dalam satu partai yang berakibat pada konflik internal dan kanibalisme di internal partai politik yang bersangkutan.

Proporsional terbuka ini juga dinilai melahirkan liberalisme politik atau persaingan bebas dengan menempatkan kemenangan individual total dalam pemilu. Hal itu dinilai bertentangan dengan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 yang menyebut peserta Pemilu adalah partai politik bukan individu. Dalam pemilu kompetisi harusnya terjadi antarpartai politik di area pemilu bukan antar individu partai.

Minusnya sistem proporsional tertutup adalah sistem penetapan anggota legislatif berdasarkan nomor urut dinilai bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dijamin konstitusi. Sebab, kehendak rakyat yang tergambar dari pilihan mereka tidak diindahkan dalam penetapan anggota legislatif.

Padahal dasar filosofi dari setiap pemilihan atas orang untuk menentukan pemenang adalah berdasarkan suara terbanyak. memberlakukan sistem nomor urut berarti memasung hak suara rakyat untuk memilih sesuai pilihannya. Selain itu, sistem ini telah mengabaikan tingkat legitimasi politik calon terpilih.

Proporsional tertutup disatu sisi memang menawarkan kesederhanaan pilihan bagi pemilih serta kemudahan konsolidasi dan internalisasi ideologi bagi partai. Namun, bila tidak dikelola dengan baik sistem ini berpotensi menimbulkan party dictatorship dan party oligarchy.

Yakni kandidat terpilih sebagian besar adalah elite atau pimpinan partai dan beberapa kandidat yang memiliki modal finansial untuk membayar posisi tertinggi dalam nomor urut daftar caleg. Tak heran kemudian dalam pemilu sistem proposional tertutup marak ditemukan pula praktik jual-beli nomor urut jadi atau nomor urut kecil.

Selan itu perilaku elite partai yang sarat kolusi dan nepotis membuat kepercayaan publik terhadap partai merosot tajam. Sistem ini dapat membuat masyarakat menjadi apatis terhadap pemilu sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan golongan absen ikut pemilu alias golput.

Lantas bila ada yang bertanya, adakah calon yang terpilih dalam sistem proporsional terbuka yang tidak menghabiskan uang yang banyak? Ini tentu pertanyaan yang sulit dijawab. Karena baik sistem proporsional terbuka atau proporsional tertutup, kandidat harus mengeluarkan modal untuk berkompetisi.

Modal yang umum digunakan sebagai senjata pamungkas para caleg, selain elektabilitas diri, tentulah dukungan modal alias anggaran yang cukup. Sehingga dari sini dapat dikatakan bahwa kedua sistem ini sama - sama menghabiskan modal yang tidak sedikit untuk berkompetisi.

Aryos juga menuliskan wacana alternative. Misalnya kalau mau proporsional tertutup, maka perlu pemilihan secara internal partai. Artinya setiap calon yang ditempatkan dalam dapil, sudah mendapatkan dukungan secara internal lewat pemilihan yang demokratis sehingga penetapan sesuai nomor urut menjadi hal yang bisa diterima.

Bahkan akan lebih baik penggunaan nomor urut dalam daftar calon sebaiknya dihapus. Hal itu guna menghadirkan kompetisi yang lebih adil dan setara kepada semua caleg. Kalaupun tetap ingin dipakai, penentuan nomor urut harus dilakukan melalui pengundian oleh KPU, bukan berdasarkan pilihan partai.

Lalu apakah sistem proporsional tertutup bisa diterapkan dalam Pemilu 2024 ditengah tahapan pemilu sudah berjalan dan memasuki fase-fase krusial?

Palu kini ada di tangan Mahkamah Konstitusi. Saat ini sistem proporsional terbuka sedang digugat di MK. Publik akan menyaksikan ke arah mana demokrasi di negeri ini akan dibawa melalui palu hakim mahkamah konstitusi, sebut Aryos.

Namun tentunya kita berharap, apapun pilihan sistemnya, prinsip demokratis dengan mengedepankan suara rakyat haruslah tetap diutamakan dalam sistem pemilu kita.

“Pilihan sistem yang ada haruslah dapat meminimalisir politik uang sekaligus membendung nafsu berkuasa para oligarki yang sangat pragmatis dan oportunis,” sebut Aryos.

Lantas bagaimana kelanjutan dari hiruk pikuk antara proporsional terbuka dan proporsional tertutup dalam Pemilu di negeri ini, kita nantikan saja apalagi sejarah yang akan diukir, bagaimana keputusan palu MK, akan menentukan hiruk pikuk demokrasi di negeri ini. *** Bahtiar Gayo


Halaman: 1 2 3
Keyword:


Editor :
Akhyar

riset-JSI
Komentar Anda