Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Harus memihak rakyat (Bagian 3)

Harus memihak rakyat (Bagian 3)

Selasa, 30 Januari 2018 20:03 WIB

Font: Ukuran: - +


Gara gara RAPBA sering terlambat disahkan, sering mendapat hukuman dari Kemendagri berupa pemotongan anggaran. Namun nampaknya tidak menjadi pelajaran berharga. Misal, RAPBA 2017 terlambat disahkan oleh DPRA, hingga molor sampai bulan Februari 2017, Dan tahun 2018 ini kembali terulang, hingga saat ini belum ada tanda-tanda mau disahkan oleh parlemen Aceh.

Rumitnya proses pengesahan APBA menjadi tradisi tahunan di Aceh. Sepertinya, tak ada itikad dan tekad yang kuat dari kedua belah pihak (DPRA dan TAPA) untuk mengakhiri drama tersebut.   Kecuali melestarikan sikap egois masing-masing, mendahulukan kepentingannya di atas kepentingan dan nasib rakyat Aceh. Itu pertunjukan klosal kinerka buruk yang sedang dipertontonkan TAPA dan DPRA kepada rakyat yang telah menyematkan harapan atas mereka dan memakan gaji dari hasil uang rakyat.

Disinyalir, faktor kepentingan begitu dominan, bahkan delapan tahun terakhir  ini terkait program usulan rakyat pada saat reses DPRA atau lebih populer dengan sebutan "Dana Aspirasi", selalu menjadi punca dan batu sandungan utama dalam proses tercapainya kesepakatan antara TAPA dan DPRA. Sehingga tidak jarang kisruh yang terjadi dalam pembahasan APBA harus melibatkan unsur pemerintah pusat sebagai mediator. Hal ini pernah terjadi pada proses pembahasan dan pengesahan APBA

Berbagai argument dikemukan para penganbil keputusan (legislative dan eksikutif) dalam APBA 2018. Sesungguhnya, mereka hanya menjustifikasi dan berapologi, bagaimana uang rakyat itu  bisa dipereleli untuk "tumpok" nya terlebih dahulu.

Oleh sebab itu, wajar jika berbagai regulasi dan aturan pemerintah terkait anggaran pun, berani mereka kangkangi. Semua kritik dan saran dari publik juga dianggap ‘anjing menggonggong kafilah lalu". Mereka hanya bisa menyuguhkan janji-jani "demi rakyat", padahal demi perutnya dan perut kroninya sendiri. Diakui atau tidak, itu gambaran sikap anomali para penentu kebijakan negeri ini.

Berbagai elemen di Aceh juga ikut mengingatkan. Media massa, pegiat Lembaga Swadaya Masyarakat LSM, kelompok Mahasiswa, akademisi dan berbagai elemen civil society lainnya tak ketinggalan menyuarakan harapan yang sama. Bahwa  APBA 2018 berpotensi terlambat disahkan kalau tidak ada upaya akselerasi pembahasan tahapan Kebijakan Umum Anggaran dan Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUA-PPAS) dan RAPBA.

Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi (EW-LMND Aceh), seperti dikatakan ketua Ketua Eksekutif Wilayah- Fakhrur Razi, bila APBA tidak disahkan akan berdampak kepada krisis nilai-nilai moralitas, ekonomi yang tidak menentu, kesenjangan sosial dan pergeseran budaya bahkan kriminalitas menjadi pilihan.

Harian Serambi Indonesia, misalnya, dalam tajuk Salam Serambi edisi 6 Desember 2017 sudah memberi warning akan potensi keterlambatan tersebut. Kala itu, Serambi menurunkan tema RAPBA 2018 Mulai Tersandung Masalah. Bahkan, dalam terbitan edisi 29 Desember 2017, Serambi kembali merilis tajuk dengan tema yang lebih satir, Sengketa APBA Menjadi Drama Rutin Akhir Tahun.

Drama akhir tahun karena setiap membahas APBA selalu terjadi kekisruhan antara lesgislatif dengan eksikutif. Sebut saja ketika pembahasan APBA 2015 dan 2016, sempat berlarut larut hingga harus melalui proses mediasi oleh Dirjen Otda di Kemendagri. Waktu itu, perbedaan sikap tidak hanya antara DPRA dan TAPA semata, melainkan juga melibatkan gubernur dengan wakil gubernur.

APBA milik publik yang diamanahkan kepada eksekutif untuk mengelola dana tersebut. Kemudian diterjemahkan ke dalam bentuk program-program pemerintah untuk kepentingan masyarakat, kata akademisi dan pengamata pembangunan, Rustam Efendi (baca: APBA Memiskinkan, dialeksis.com)

Nah, karena tidak mungkin  menjaga semua dana tersebut, maka rakyat telah mengamanahkan kepada wakilnya di DPRA untuk menyusun, menelaah, menilai dan mensahkan bersama dengan eksekutif. Mana dana yang terlalu besar dipotong atau dirasionalisasikan. Mana dana yang dibuat oleh eksekutif (SKPA dan gubernur) dan mana yang disusun oleh DPRA. 

"Masalahnya, DPRA tidak menelaah usulan yang diusulkan oleh eksekutif, tapi justru punya belanja sendiri. DPRA yang seharusnya berperan sebagai juri, rupanya juga bermain. Pengawas, sekaligus agen.  Untung-untungan, mana yang lebih banyak untung dalam membahas anggaran pada RAPBA 2018," tukas Rustam Efendi

Hal senada dikemukan sosiolog Dr Saleh Sjafei, MHum.  Katanya, rakyat tidak boleh diam. Dan menjadi aneh bila masyarakat cenderung apatis, tidak perduli. Padahal APBA itu menyangkut nasib kesejahteraannya. Artinya, perihal APBA bukan persoalan personal para anggota DPRA dan personal gubernur dan wakil Gubernur. "APBA itu satu-satunya sumber proyek kehidupan bansha Aceh," jelas dosen pada Fakultas Hukum Univesitas Syiah Kuala (Unsyiah) itu,

Menurut pandangan Dr Saleh Sjafei, boleh jadi karena takut sehingga diam atau sengaja diam karena mendapatkan keuntungan dari satu persengkolan. "Mungkin karena mereka lebih tertarik pada peukateun para pemimpin (eksekutif-legislatif) daripada agenda pembangunan, yang merupakan substansi dari APBA itu sendiri," paparnya.

Secara sosial, jelas Saleh Sjafei, saat ini masyarakat Aceh dalam beberapa hal cenderung tidak memperlihatkan perlapisannya secara jelas. Utamanya lapisan menengah jika asumsi stratifikasinya "atas (power), menengah (economic), dan bawah (social status). Kekaburan klasifikasi masyarakat Aceh secara vertikal itu, antara lain, ketika dikaitkan dengan pertanyaan "mengapa warga masyarakat Aceh seperti tidak perduli pada masalah APBA.

Dalam beberapa derajat, dapat ditelusuri bahwa kondisi "apatis" dan "fasif: diam" mereka boleh jadi berkaitan dengan "keterlibatan dan persekongkolan" mereka pada kepentingan ekonomi (desakan kebutuhan syafaat) dan relasi-kuasa (patron-klien) pengambil kebijakan dan keputusan di jajaran eksekutif dan legislatif Aceh.

Nah, ketika masyarakat diam, boleh diduga dan dimaknai sebaga "diam makan dalam" atau diam karena bersekongkol pada kepentingan ekonomi yang tak lepas dari relasi kuasa patroen-klien dengan pengambil kebijakan di Aceh. Oleh sebab itu, saatnya masyarakat untuk bersuara. Karena APBA merupakan satu-satunya sumber proyek kehidupan rakyat Aceh, terutama masyarakat menengah. Seharusnya harus dikawal bersama.

Pihak yang paling dirugikan dengan macetnya pengesahan RAPBA adalah rakyat dan pemerintah bawahan. Bukan hanya karena dana otonomi khusus (otsus) kabupaten/kota sudah dikelola provinsi, tapi sekitar sembilan kewenangan kabupaten/kota mulai tahun ini juga sudah dikelola oleh provinsi. Peralihan kewenangan ini juga mengakibatkan peralihan keuangan dari kabupaten/kota ke provinsi. Akibatnya, keuangan kabupaten/kota berkurang drastis, sementara anggaran provinsi naik drastis.

Seperti dijelaskan Bupati Abdya, Akmal Ibrahim, bila anggaran provinsi macet, maka otomatis kabupaten/kota ikut macet. Hampir semua kabupaten/kota sekarang mengalami krisis keuangan alias defisit. "Jangankan untuk dana pembangunan, belanja pegawai dan operasional saja harus diirit seirit mungkin," jelas Akmal.

Secara ekonomi juga akan terjadi stagnasi. Uang pemerintah selama ini menjadi stimulan untuk mendorong aktivitas ekonomi. Ketergantungan orang kepada anggaran pemerintah sangat tinggi. Jadi bukan hanya pemerintah yang stagnan, tapi juga dunia usaha dan masyarakat, karena ekonomi kita ekonomi ketok palu.

Gubernur dan para anggota Dewan harus segera mengambil sikap. Jangan hanya mementingkan pribadi dan kelompok dengan mempertahankan ego masing-masing. Masyarakat berharap APBA 2018 lebih berpihak kepentingan  masyarakat kecil yang sebagian besar saat ini meretas hidup di Aceh. 

Karenanya, drama politik anggaran harus diakhiri, sehingga tidak mendapat pinalti yang lebih besar dari Kemendagri. Sayangilah Rakyat yang memilih anda wahai anggota DPRA Aceh yang mulia. Lihatlah, dan berbaik hatinya pada rakyat Aceh yang telah memilih dan menyematkan harapan kepada Anda.  ***


Keyword:


Editor :
Jaka Rasyid

riset-JSI
Komentar Anda