Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Sapi 'Piejuet' Di Aceh Besar Berpotensi Korupsi?

Sapi 'Piejuet' Di Aceh Besar Berpotensi Korupsi?

Jum`at, 05 Juni 2020 21:35 WIB

Font: Ukuran: - +


Guratan tulang-tulang rangka hewan ini sudah kelihatan. Daging yang membaluti tubuhnya bagaikan hilang dimakan kulit. Kesan kurus tidak dapat dihindari. Masyarakat Aceh menyebutnya piejuet ruet (kurus kering).

Sapi sapi ini dikelola oleh UPTD Inseminasi Buatan Inkubator (IBI), Saree, Aceh Besar. Dibawah kendali Dinas Peternakan Aceh. Namun keadaan sapi di sana menjadi viral, ramai dibahas masyarakat disebabkan kondisi sapi sapi kurus kurang gizi.

Keadaan sapi di sana semakin viral, ketika Syakya Meirizal, koordinator Masyarakat Pengawal Otsus (MPO) Aceh, menggunggah keadaan sapi sapi di sana melalui  unggahan live facebook miliknya, Kamis (4/6/2020).

Syakya selain mendokumentasikan video sapi sapi ini, memberikan narasi tentang keadaan peternakan di Saree ini. Dia menduga telah terjadi penyimpangan dalam pengelolaan anggaran di UPTD Inseminasi Buatan Inkubator (IBI) Saree, Aceh Besar ini.

Demikian dengan LSM MaTA dan YARA, turut meramaikan media dengan kondisi peternakan ini. Bahkan mereka meminta pihak penyidik (kajati Aceh) untuk turun tangan, karena mereka menduga berpeluang potensi korupsi.

Namun Dinas Peternakan Aceh yang dituding sudah menghambur-hamburkan uang rakyat dalam pengembangan sapi, membantah bila seluruh sapi di sana kurus dan kurang terawat.

Rahmandi, Kadis Peternakan Aceh mengakui sapi sapi itu butuh penyesuaian, adaptasi, karena pengadaan konsentrat belum ada, anggaran direvisi. Dia takut mengambil kebijakan karena akan menimbulkan persoalan hukum.

Menurut Rahmandi, sapi itu sudah ada sebelum dia bertugas sebagai Kadis Peternakan Aceh. Sapi itu merupakan anggaran tahun 2016 dan 2017. Bila benar yang dikatakan Rahmandi, sapi yang sudah lebih tiga tahun ini memang piejut ruet.

Sementara Alfian dari LSM Masyarakat Transpransi Aceh (MaTA) menjelaskan, untuk tahun anggaran 2019 saja di dinas Peternakan Aceh tersedia dana yang cukup besar untuk mengembangkan sapi.

MaTA menjelaskan, di UPTD IBI Saree ini pada tahun 2019 tersedia anggaran senilai Rp 2.331.350.000 yang dipergunakan buat pakan konsetrat untuk peternak. Pengadaan hijauan pakan ruminasia sebesar Rp. 1.808.904.000, serta pembangunan padang pengembalaan sebesar Rp. 1.500.000.000.

Alfian menduga terjadinya potensi pidana korupsi. Fakta lapangan, sapi mencapai 400 ekor itu kondisinya sangat kurus, tanpa makanan. Terkesan seperti tidak terurus secara benar. Sampai sampai pengakuan warga di sana, sudah ada yang mati.

Menurut Alfian, kondisi tersebut sangat bertolak belakang dengan rencana awal, dimana pemerintah Aceh membangun perencanaan dengan anggaran yang besar. Tatakelola anggaran patut diduga potensi korupsi.

“Ini menjadi peristiwa berulang terhadap tata kelola pemerintah yang buruk dan tidak dapat di toleransikan lagi. Uang rakyat harus dikelola dengan benar dan satu rupiah wajib di pertangung jawabkan,” jelas Alfian.

Pengelolaan ternak sapi di UPTD Inseminasi Buatan Inkubator (IBI) Saree, Aceh Besar, di bawah Dinas Peternakan Aceh diduga terjadi penyimpangan juga disampaikan Fakhrurrazi sekretaris Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA).

Menurut Fakruzrazi, pihaknya sangat menyayangkan kondisi tidak terawatnya sapi sapi di UPTD IBI Sare. Seharus persoalan ini tidak terjadi, dimana sesuai dengan laporan masyarakat di sekitar lokasi, diperkirakan setiap harinya ada lima sapi yang mati.

"Ini adalah binatang peliharaan, tetapi kalau yang kita lihat hari ini, bukannya jadi binatang peliharaan melainkan penyiksaan terhadap binatang," ungkap Sekretaris YARA, Fakhrurrazi melalui unggahan facebook miliknya.

"Memang kondisi real-nya saat ini sangat miris. Sapi tanpa ada asupan makanan yang cukup. Yang kita lihat, sapinya hanya terbungkus dengan tulang dan kulit. Kita berharap pemerintah hari ini jangan cuma duduk, diam dan mendapatkan laporan ABS (asal bapak senang)," tambahnya.

Di lapangan menurut Fakhrurrazi, hanya sekitar delapan orang yang bekerja memberi makan. Delapan orang lainya menjaga ternak. Dengan jumlah sapi sebanyak ini, tentu jumlah karyawannya tidak memadai.

Menurutnya, bila memang dana itu ada dan memang diperuntukkan untuk asupan peliharaan, harusnya tidak terjadi hal-hal seperti ini, sebut sekretaris YARA ini.

"Mudah-mudahan ini jadi bukti bagi kita. Kami meyakini ada penyelewengan penggunaan anggaran atau uang rakyat dalam proses pengadaan sapi ini atau bahkan pengadaan pakannya," ungkap Syakya, koordinator MPO.

Soal anggaran yang dikucurkan ke sana, menurur Alfian dari LSM MaTA Pemerintah Aceh sudah mengeluarkan anggaran ke UPTD tersebut sejak 2019 dan 2020 sebesar Rp. 158.640.254.000 dan ini berdasarkan pagu anggaran APBA Aceh.

Namun hingar bingarnya sapi piejuet ruet ini, ada yang menyebutkan informasinya tidak benar. Ada yang menyebutnya hoak, atau framing hang sengaja diciptakan untuk menyudutkan pemerintah Aceh.

"Saya sampaikan bahwa informasi yang beredar di media massa saat ini adalah informasi faktual, bukan hoax atau framing media untuk mendiskreditkan Pemerintah Aceh. Faktanya memang (sapi) benar-benar kurus kering. Bisa dilihat sendiri," ungkap Syakya Meirizal melalui ungguhan video facebooknya.

"Inilah kondisi sapi yang dibeli dengan uang rakyat Aceh. Kurus kering. Padahal tahun kemarin ada pengadaan pakan konsentrat dan pakan rumanisia dengan nilai miliaran rupiah. Jadi kalau ada yang bertanya kemana selama ini uang rakyat, beginilah kondisi," sebut Syakya.

Harus Diusut

Koordinator MPO Aceh berjanji akan membawa kasus ini ke penegak hukum untuk diusut, sebab pendanaan pengelolaan ternak tersebut berasal dari APBA. Intansi terkait seperti Kepala Dinas Peternakan Aceh dan Kepala UPTD IBI Saree, merupakan orang bertanggungjawab atas persoalan ini.

Demikian dengan Alfian dari MaTA, meminta kepada pihak Kejati Aceh untuk mengusut potensi korupsi terhadap pengelolaan sapi tersebut. Pihak MaTA sudah melakukan pengecekan ke lapangan, bahwa pengelolaan sapi tersebut sudah dalam kondisi gagal. Sehingga, siapa pun mareka yang terlibat wajib mempertangungjawabkan perbuatan mereka.

Apabila ada pihak yang melindungi, maka patut diduga dia juga terlibat dalam kejahatan pengelolaan sapi ini. Perbuatan ini tidak dapat mentolerir, karena sudah merugikan keuangan dan rakyat Aceh.

Bagaimana sebenarnya menurut Kadis Peternakan Aceh. Kadis Peternakan drh. Rahmandi,M.Si., menjelaskan, sapi 400 ekor itu merupakan sapi indukukan, bukan penggemukan (daging). Pada tahun 2020 pihaknya memiliki program pengurangan pemberian konsentrat untuk sapi di Saree.

Alasannya, karena ratusan sapi di sana peruntukkannya sebagai indukan. Pihaknya sudah menyusun rencana memberikan rumput hingga 90 persen untuk sapi pengembangan di sana.

Tahun ini, pihaknya sama sekali belum memberikan kosentrat untuk sapi-sapi itu. Telah terjadinya revisi anggaran dinas. Dinas Peternakan Aceh tidak berani mengambil kebijakan, karena takut akan berurusan dengan hukum.

 Ada perbedaan harga, sehingga pihaknya tidak bisa membeli pakan sapi. Dampaknya kondisi sapi disana mengalami penurunan berat badan (drop) karena peralihan pakan.

 “Sapi sapi ini butuh penyesuaian, adaptasi, jadi terkait pengadaan konsentrat belum ada. Anggaran revisi, dari dulu-dulu kita ambil kebijakan, tapi kalau sekarang kita nggak berani lagi, karena takut akan menimbulkan persoalan hukum,” jelas Rahmandi

Namun Rahmandi membantah kalau sapi sapi di sana disebutkan kurusnya sangat parah. Hanya 10 persen yang parah dari 400 sapi di UPTD IBI Saree, jelasnya.

“Sapi-sapi kurus itu karena penyesuaian, adaptasi. Sebelumnya sapi sapi ini diberikan pakan konsentrat dan sekarang dialihkan sampai 90% ke hijauan. Pakan hijauan itu diberikan pagi dan sore. Sapi sapi itu rata rata sudah tua,” sebutnya.

Saat ini, sapi sapi itu ada 378 indukan. Ada yang sudah berbiak, anaknya mencapai 50 ekor, dari jumlah ini anak jantan ada 22 ekor. Namun Rahmandi tidak hafal data detailnya tentang angka kelahiran sapi ini.

Bagaimana kisah selanjutnya dari sapi sapi yang diandalkan Aceh sebagai kawasan peternakan ini. Sejumlah pegiat anti korupsi, menilai pengelolaan ternak di sana berpotensi korupsi. Untuk itu mereka meminta pihak terkait agar mengusut kasus ini.

Apalagi menurut LSM dan pihak yang peduli pada persoalan korupsi ini, dana yang dikucurkan untuk pengembangan sapi di sana terbilang besar. Sebenarnya siapa yang digemukan dari dana ini, sapi - sapikah? Bahtiar Gayo


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda