Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Karena Proyek, Benarkah Situs Nasional Loyang Mendale Rusak?

Karena Proyek, Benarkah Situs Nasional Loyang Mendale Rusak?

Rabu, 17 November 2021 08:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Bahtiar Gayo
proyek Dinas Pendidikan dan Kebuayaan Aceh Tengah, penataan Ceruk Mendale (foto/FB Ketut Wiradnyana)

Ada yang marah, sedih dan kecewa. Dunia maya saat ini dihangatkan dengan berita situs nasional di Loyang Mendale dan Loyang Ujung Karang, Aceh Tengah. Hujatan kepada Pemda Aceh Tengah dan Dinas Pendidikan bagaikan air mengalir di musim hujan.

Pemda Aceh Tengah melalui proyek Dinas Pendidikan, penataan Ceruk Mendale dituding telah merusak situs bersejarah. Di situs ini berdasarkan hasil uji karbon telah ada aktiftas manusia 8.400 tahun yang lalu,

Tidak tanggung-tanggung yang menyatakan perusakan situs ini, datangnya dari arkeolog (ketua Balar Medan) yang sudah 10 tahun menggali dan mendalami situs di Loyang Mendale. Spontan dunia maya heboh.

Namun Pemda Aceh Tengah dan Dinas Pendidikan di sana tidak terima kalau dikatakan mereka perusak situs sejarah nenek moyangnya orang Gayo. Situs mana yang dirusak, agar dapat dibuktikan. Justru Pemda menyatakan situs itu ingin diselamatkan dan dijaga.

Bagaimana kisahnya, Dialeksis.com mengurai keadaan di lapangan dan riuhnya dunia maya, serta penjelasan pemerintah daerah sehubungan dengan tudingan perusakan situs tersebut.

Mencuatnya kasus ini bermula dari ketua Tim Peneliti Arkeologi Gayo Prasejarah Ceruk Mendale Aceh Tengah, Dr Ketut Wiradnyana MSi. Dia mengungah keadaan situs Mendale yang sedang ditata oleh Dinas Pendidikan Aceh Tengah.

Di laman akun face book miliknya, Ketut Wiradnyana menuliskan Tragis… Mereka yang tidak faham saja menyatakan ini pengrusakan. Demikian pernyataan Ketut. Ada video dan foto pengerjaan proyek di situs ini.

Kepada media Ketut mengakui menangis saat menyaksikan gambar dan video yang memperlihatkan penimbunan dan penataan lokasi galian arkeologi Mendale yang terkesan ceroboh dan serampangan. Tindakan ceroboh tersebut bisa merusak areal galian dan menghilangkan jejak-jejak Gayo Prasejarah yang tersimpan di sana.

"Saya sedih, saya menangis. Tidak pernah saya menangis seperti ini. Sangat ceroboh, saat melihat rekaman video dan kiriman gambar dari Takengon dari lokasi galian Ceruk Mendale. Mereka tidak mengerti apa yang mereka lakukan," sebut Ketut, seperti yang dilansir Serambi Indonesia.

Peneliti yang sudah 10 tahun bersama Ceruk Mendale ini menyebutkan, penataan yang dilakukan Pemkab Aceh Tengah, seharusnya berkonsultasi terlebih dahulu, tidak dikerjakan secara serampangan. Padahal menurutnya, dia baru saja bertemu di acara di Brastagi yang juga dihadiri Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Aceh Tengah.

“Sama sekali tidak pernah disinggung soal penataan yang bersinggungan dengan areal galian arkeologi itu. Pemkab Aceh Tengah agar menghentikan kegiatantersebut, sampai dilakukan perencanaan yang matang yang tidak merusak atau menghilangkan temuan Ceruk Mendale," pintanya.

Kepala Balai Arkeologi Sumatera Utara menyebutkan, dia bersama tim telah melakukan penggalian dan penelitian arkeologi di Ceruk Mendale, Ceruk Ujung Karang, Peteri Pukes, Muslimin, dan lain-lain selama 10 tahun. Kerja tim ini berhasil menemukan kerangka dan benda-benda tinggalan dari prasejarah.

Menurutnya, dari hasil uji karbon tinggalan-tinggalan prasejarah itu berusia 8.400 tahun Sebelum Masehi (SM). Itu hasil penelitian panjang dan sangat penting artinya dalam arkeologi. Penemuan itu mengungkap jejak-jejak masa Gayo prasejarah. Penting dan besar sekali maknanya dalam dunia ilmu pengetahuan," jelas Ketut.

Lubang-lubang galian menurut Ketut, juga memilik arti besar dalam aktivitas dan ilmu arkeologi. Kalau lubang galian ditimbun, mengurangi nilai dan makna temuan arkeologi itu, jelas Ketut yang menyebutkan lubang itu ditimbun akibat proyek Dinas Pendidikan dalam penataan Ceruk Mendale.

Pernyataan Ketut ini menyentakan banyak pihak, apalagi masyarakat yang menaruh perhatian besar kepada Ceruk Mendale, tempat prasejerah orang Gayo. Muncullah pernyataan dan hujatan di dunia maya.

Banyak pihak yang memberikan komentar atas status Face books milik Ketut.Disana ada cacian dan hujatan, bahkan tidak tanggung-tangung banyak pihak yang meminta segera dihentikan proyek tersebut.

Ramainya pihak yang mengkritisi dan meminta agar proyek penataan Ceruk Mendale ini dihentikan. Ada Fikar W Eda, budayawan sekaligus wartawan senior, Salman Yoga dosen dan budayawan, dan Yusradi Al Gayoni dan banyak pihak lainya.

Ada demo dari HMI MPO. Mahasiswa ini melakukan aksi tutup mulut. Dalam posternya tertulis beragam tuntutan, diantaranya meminta Bupati Aceh Tengah untuk mencopot Kadisdikbud Aceh Tengah. Kurnia Adami coordinator aksi dalam bentangan posternya menuliskan, ini sudah melanggar UU no 11 Tahun 2010.

Dalam undang undang ini, pasal 66 setiap orang dilarang merusak cagar budaya, baik seluruh maupun bagian-bagianya, dari kesatuan, kelompok, dan/atau letak asal.

Adapun sanksi dalam UU tersebut adalah pidana penjara paling singkat 6 bulan paling lama 10 tahun dan/atau denda paling sedikit 250 juta paling banyak 2,5 miliar, sebut HMI MPO yang berdemo.

Kerasnya aksi protes tersebut telah membuat Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Provinsi Aceh meminta untuk sementara agar Dinas Pendikan Aceh Tengah menghentikan kegiatan pembangunan fisik di Loyang Mendale.

Pihak BPCB akan turun ke lapangan melakukan verifikasi untuk memantau langsung aktifitas pembangunan fisik di Ceruk Mendale. Permintaan itu disampaikan Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Provinsi Aceh Drs Nurmatias melalui suratnya yang ditujukan kepada Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Aceh Tengah.

Dalam surat tertanggal 14 November 2021, dijelaskan upaya itu sebagai respon langsung atas laporan masyarakat yang disiarkan dalam berbagai jaringan media sosial. Pihak BPCB meminta Dinas Pendidikan Aceh Tengah dalam suratnya nomor 0775/F7.9/KB.00.04/202, adanya koordinasi secara intens kepada pihak Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Aceh.

Loyang Mendale dan Loyang Ujung Karang adalah Situs Cagar Budaya yang dilindungi oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Karena, memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan kebudayaan;

Menurut surat BPCB Aceh ini, merujuk hal di atas, upaya pemeliharaan berupa pekerjaan fisik pada Situs Cagar Budaya wajib didahului dengan kajian berupa studi kelayakan dan studi teknis, serta pelaksanaan kegiatan didampingi oleh Tenaga Ahli Pelestarian Cagar Budaya agar pelaksanaan kegiatan sesuai kaidah pelestarian Cagar Budaya.

Surat yang ditujukan kepada Kadis Pendidikan dan Kebudayaan Aceh Tengah ini ditembuskan kepada; Bupati Aceh Tengah di Takengon, Direktur Jenderal Kebudayaan Kemdikbudristek di Jakarta, Direktur Pelindungan Kebudayaan Kemdikbudristek di Jakarta, Juru Pelihara Situs Cagar Budaya Loyang Mendale di Takengon, Juru Pelihara Situs Cagar Budaya Loyang Ujung Karang di Takengon.

Penjelasan Bupati

Pekerjaan proyek penataan dua situs nasional ini, Mendale dan Ujung Karang menelan anggaran Rp.681.912.000, dikerjakan oleh CV. Ugel Mentari melalui dana DOKA tahun 2021. Hingar bingarnya pembahasan soal situs ini ditanggapi Bupati Aceh Tengah.

Menurut Shabela Abubakar, Bupati Aceh Tengah menjawab Dialeksis.com, via selular, justru dia balik bertanya. “Yang dirusak itu yang mana? Tolong buktikan. Proyek ini jutsru merawat dan menjaga situs leluhurnya orang Gayo”.

Ini bukan dirusak, namun dirawat dan diperbaiki. Sebelum ini situs itu tidak terawat, pengunjung yang ingin melihat dari dekat situs bersejarah ini mengalami kesulitan. Ada yang jatuh terpeleset. Dengan adanya penataan ini disiapkan tangga, agar memudahkan bagi siapapun yang ingin berkunjung ke sana.

“Selama ini kurang terawat, bahkan jadi tempat tidurnya anjing. Tidak ada penataan yang baik. Kini saat mau ditata, mau dijaga dengan baik, justru disebutkan dirusak. Situs ini akan ditata agar lebih bagus dan mudah dikunjungi,” jelas Shabela.

Seharusnya, sebut Shabela, sebagai seorang arkeolog, Ketut menyampaikanya kepada kami secara beretika. Boleh melayangkan surat secara resmi, bukan justru mengumbarnya di media sosial face book. Ahirnya ada pihak yang tidak tahu keadaan lapangan juga memberikan komentar beragam.

“Etikanya kan dibangun komunikasi, atau disurati secara resmi. Bukan mengumbarnya di media sosial, sehingga melahirkan beragam penafsiran. Kami akan menunggu bagaimana hasil tim Balai Arkeolog Aceh yang melakukan verifikasi di lapangan,” sebut Shabela.

Pernyataan yang hampir sama juga disampaikan kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Aceh Tengah,Uswatuddin. Menurutnya tidak ada niat sedikitpun untuk merusak situs purbakala Ceruk Mendale yang masuk dalam program pemeliharaan 2021.

“Bagaimanapun cagar budaya ini adalah peningalan yang sangat besar artinya bagi ilmu pengetahuan, asal usul Gayo dan pendidikan. Program pemeliharaan Ceruk Mendale sama sekali tidak merusak lubang galian arkeologis yang ada,” sebutnya.

Menurut Uswatuddin, di dua situs ini akan dibuat sedikit tangga menuju mulut gua, sehingga memudahkan, nyaman dan aman bagi siapapun yang berkunjung ke sana, serta ditatanya area parkir.

Kepada Dialeksis.com, Shabela Abubakar Bupati Aceh Tengah mempertanyakan soal kerangka asli hasil penggalian di Ceruk Mendale. Dimana sudah sekarang, mengapa tidak dikembalikan ke daerah.

“Kerangka asli ini penting dan sangat memiliki nilai sejarah. Bila telah dikembalikan ke daerah maka akan dibuat meseum, dibingkai dengan kaca yang bagus dikembalikan ke asalnya. Sehingga mudah dilihat oleh siapapun,” sebut Shabela.

Soal kerangka asli juga banyak dipertanyakan di dunia maya, Jalimin wartawan senior Serambi misalnya, dalam status Face Book Ketut mempertanyakan dimana kerangka asli saat ini berada. Rumahnya tidak jauh dari Gua Mendale, namun dia tidak melihat kerangka yang asli hasil galian ada di sana.

Adanya pertanyaan sejumlah pihak tentang kerangka asli hasil galian di dua ceruk ini, Ketut Wiradnyana, memberikan penjelasan, seperti dilansir Serambi Indonesia.

Menurutnya, tiga kerangka hasil penggalian arkeologi di Loyang Mendale, Aceh Tengah saat ini masih dianalisis di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya dengan teknik CT Scan.

Dijelaskan Ketut, sebelumnya tiga kerangka itu dikirim ke bagian paleoantropologi Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta juga untuk dianalisis.

Selanjutnya, sisa tulang ataupun arang hasil dari penelitian di Loyang Mendale dan Ujung Karang yang ditemukan pàda 10 tahun lalu, serta yang ditemukan di situs Loyang Muslimin pada kisaran 2018 dalam bentuk 8 sampel, juga sedang dianalisis di Universitas Waikato Selandia Baru.

"Seluruh kerangka dan sampel-sampel yang berasal dari Loyang Mendale, Ujung Karang dan Loyang Muslimin sedang dianalisis universitas berbeda. Semula tiga kerangka itu dibawa ke Balai Arkeologi Sumut, kemudian dikirim ke UGM dan Airlangga," ujar Dr Ketut Wiradnyana.

Dijelaskan Ketut, tiga kerangka yang sedang dianalisis itu sudah dibuat cetakannya dan menjadi bagian objek yang di tampilkan di situs. Sementara untuk kerangka lainnya, sudah dikembalikan dengan cara dikubur kembali dimana kerangka itu ditemukan, letaknya persis di bawah kerangka cetakan.

"Jadi keberadaan kerangka di luar situs tersebut, masih dalam upaya analisis. Sementara kerangka yang lain dikubur kembali di tempat awal ditemukan. Kerangka itu perlu diselamatkan, karena masih banyak data-data yang tersimpan pada kerangka itu, baik menyangkut penyakit, kondisi kesehatan, pola makan, penyebab kematian dan lain-lain,” jelasnya.

Menurut Ketut, kalau dikuburkan kembali didalam tanah, maka kerangka itu akan rusak dan hancur. Upaya membuat cetakannya, juga merupakan bagian dari penyelamatan dan setelah itu posisi tulang akan bercampur baur, sehingga perlu direkon kembali.

Kalau kerangka itu di simpan di dalam museum di Takengon, jelas Ketut, maka akan bertentangan dengan kaidah yang ada, bahwa orang mati harus dikuburkan. Kalau temuan- temuan itu mau diambil, mesti setelah selesai dianalisis dan tentu pakai prosedur persuratan," ujar Dr Ketut.

Soal situs nasional Ceruk Mendale dan Loyang Ujung Karang, di Aceh Tengah sampai saat ini masih ramai dibahas, karena disana ada proyek dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan yang melakukan penataan, untuk perawatan dan memudahkan siapapun yang ingin menjenguknya.

Namun proyek senilai Rp 681 juta lebih itu kini menjadi perbincangan. Pernyataan Ketut Wiradnyana bahwa ada perusakan akibat proyek ini, telah menyita perhatian berbagai pihak. Bahkan tim arkeolog dari BPCB Aceh mengirimkan surat dan turun kelapangan melakukan verifikasi.

Pemda Aceh Tengah dan pihak Dinas Pendidikan dan Kebudayaan tidak terima kalau disebutkan proyek itu merusak situs. Mereka justru ingin menata, merawat dan membuat pengunjung nyaman di situs prasejarah cikal bakal orang Gayo ini.

Dari Gua Loyang Mendale dan Ujung Karang ini sudah ditemukan hasil galian, berdasarkan analisis karbon yang menyatakan disana ada kehidupan manusia 8.400 tahun yang lalu.

Ada sejumlah kerajinan tangan yang ditemukan berupa tembikar dan anyaman, serta sejumlah temuan lainya yang menandakan ribuan tahun lalu sudah ada budaya di sana.

Kini, ketika Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Aceh Tengah meluncurkan proyek penataan, disebut proyek yang merusak cagar budaya nasional yang menjadi kebanggaan rakyat Gayo. Benarkah proyek ini merusak? Kita tunggu saja bagaimana kelanjutan kisahnya. *** Bahtiar Gayo


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda