Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Tim Advokasi MoU Helsinki Serius atau Habiskan Uang Rakyat?

Tim Advokasi MoU Helsinki Serius atau Habiskan Uang Rakyat?

Selasa, 01 Juni 2021 09:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Bahtiar Gayo
foto; Wikipedia

Banyak yang pesimis dan bahkan ada yang menyebutkan tim advokasi MoU Helsinki hanya menghabiskan uang rakyat Aceh. Tim sudah dibentuk berulang kali, namun hasilnya tidak ada.

Tahun lalu saja tim yang dibentuk DPRA anggaranya terbilang besar mencapai Rp 5 miliar. Hingar bingar tentang tim dua belas yang di SK kan Gubernur Aceh kini menjadi perbincangan di Aceh.

Lima belas tahun MoU Helsinki sudah berlalu. Ibarat manusia sudah beranjak dewasa. Namun bagi Aceh waktu itu belum cukup untuk mewujudkan sebuah perjanjian yang sudah ditandatangani bersama.

Perjanjian perdamaian Aceh yang dikenal dengan Memorandun of Understanding (MoU) Helsinki. Butir butir pasalnya sampai kini masih banyak menyisakan PR yang belum terselesaikan.

Kini kembali Gubernur Aceh mengeluarkan SK, membentuk tim pembinaan dan pengawasan MoU Helsinki. Namun banyak pihak yang pesimis dengan tim yang dibentuk Gubernur Aceh, Nova Iriansyah.

Sebelumnya sudah berulang kali dibentuk tim untuk advokasi MoU Helsinki. Pada tahun 2018 pernah dibentuk tim advokasi, Pemerintah Pusat juga pernah membentuk tim yang diketuai Moedoko staf kepresidenen pada tahun 2020. Pada 2019 kembali DPRA membentuk tim kajian dan advokasi.

Kini kembali giliran Nova Iriansyah membentuk tim melalui SK nomor 180/1196/2021. Nova menunjuk 12 orang tim pembinaan dan pengawasan Memorandum of Understanding (MoU) Hensinki.

Spontan SK itu menjadi pembahasan. Banyak pihak yang pesimis, menilai tim ini hanya untuk menghabiskan anggaran, menghabiskan uang rakyat Aceh.

Penilaian pesimis disampaikan Koordinator Masyarakat Pengawas Otsus (MPO), Syakya Meirizal. Menurutnya kepada Dialeksis.com, rasa pesimisnyanya dia ungkapkan bukan tanpa alasan.

Berkaca dari pengalaman sebelumnya, dimana pada tahun 2019 Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pernah membentuk tim kajian dan advokasi MoU Helsinki 2005 dan UUPA. Namun hasilnya masih jauh panggang dari api.

Tim advokasi dinilai tidak mampu mengawal dan mengadvokasi UUPA dalam menghadapi kebijakan politik nasional.

“Pembentukan tim seperti ini soal efektifitas dari hasil yang diharapkan jauh panggang dari api. Tim yang dibentuk DPRA untuk mengadvokasi MoU Helsinky dan UUPA, apa hasilnya?” tanya Syakya Meirizal.

Nihil! Hanya narasi kosong yang tidak mampu mempengaruhi keputusan politik yang ada di Aceh, serta kaitannya dengan kebijakan politik nasional. Contohnya isi UUPA yang kemudian ramai diperbincangkan soal Pilkada 2022.

Kalau tim advokasi bekerja dengan baik, mereka berhasil mengamankan kepentingan kepentingan Aceh yang sudah tercantum dalam UUPA, agar tidak lagi berbenturan dengan regulasi dan kepentingan politik nasional.

Namun sebagaimana kita tahu Pilkada Aceh justru diundur menjadi 2024. Berangkat dari hal tersebut, Syakya merasa pesimis bahwa tim sekarang ini akan ada manfaatnya dalam hal advokasi MoU Helsinki.

 “Tim kajian dan advokasi UUPA yang dibentuk tahun 2019 yang lalu saja sudah gagal total. Padahal mereka dibiayai uang rakyat Aceh senilai 5 milyar. Kita khawatir tim ini hanya sekedar SK, hanya untuk sekedar formalitas untuk mencairkan uang rakyat dari APBA,“ jelasnya.

Senada dengan Syakya, Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), Safaruddin, juga menyebut bahwa boro-boro berbicara tim advokasi MoU yang baru dibentuk, tim advokasi sebelumnya saja tidak menunjukan progres apapun bagi pengawalan MoU Helsinki dan UUPA.

“Awalnya Kita berharap tim ini bisa memberikan dampak signifikan terhadap implementasi butir MoU yang belum terealisasikan. Seperti lahan pertanian untuk kombatan. Pembentukan komisi klaim bersama. Kemudian, batas Aceh merujuk pada 1 juli 1956. Sejauh ini belum ada realisasinya.,” sebut Safaruddin.

Memang butir butir MoU yang termaktub dalam UUPA paling tidak sudah ada payung hukum. Namun yang belum diadopsi oleh UUPA harus diturunkan dalam regulasi hukum. Sebab MoU bukan regulasi namun hanyalah produk kompromi politik. Kesepakatan politik tersebut harus didorong menjadi sebuah kebijakan pemerintah. Ini jelas tugas tim advokasi MoU, jelas Safar.

Sementara itu menyangkut kompetensi orang orang yang duduk menjadi Tim Pembinaan dan Pengawasan Pelaksanaan MoU Helsinki, menurut Safar mereka orang orang cerdas.

“Namun pertanyaannya apakah mereka yang ada dalam tim ini punya waktu untuk bekerja. Mengingat mereka mereka semua orang orang sibuk luar biasa. Karena ini bukan persoalan mudah berbicara MoU. Ini kan mendorong lahirnya kebijakan,” jelasnya.

Soal personil tim ini Syakya juga menyatakan rasa pesimisnya. Ini menyangkut bukan hanya soal kapasitas namun juga berbicara soal integritas, komitmen dan tanggung jawab intelektual.

“Apakah setelah mendapatkan SK ini mereka mampu mempertanggungjawabkannya kepada seluruh rakyat Aceh,” tanya Syakya.

Kalau melihat orang orangnya mungkin punya kapasitas.Tetapi apa mereka memiliki good will untuk benar benar melaksanakan tanggung jawabnya seperti yang tertera dalam SK sebaik mungkin. Itu belum tentu, jelas coordinator MPO ini.

Cari Duit?

Nada keras dan tegas diungkapkan praktisi hukum, Mukhlis Mukhtar soal susunan personalia tim yang di SK kan Gubernur Aceh ini.

Menurutnya tim yang sama sebelumnya telah dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), namun tidak ada melakukan pengawasan apa pun.

“Paling-paling buat buku dan jual kepada rakyat dan itu keterlaluan. Menurut saya siapa pun duduk disitu harus betul-betul bekerja. Apalagi yang duduk itu profesor yang tidak berada dalam proses itu dulu,” ujar Mukhlis Mukhtar kepada dialeksis.com.

Praktisi hukum ini menjelaskan, pengawasan adalah persoalan implementasi. Namun apa yang harus diawasi, sementara anggota tim yang telah dibentuk tidak memiliki latar belakang tentang persoalan tersebut.

“Ini saya pikir bagaimana ya, di DPRA mereka dan di Pemerintah Aceh mereka juga, kalau memang ingin mencari duit jangan disitu, saya pikir berjuang dulu,” tutur Mukhlis Mukhtar.

Kritikan juga disampaikan Pengamat Kebijakan Politik dan Ekonomi Aceh, Ariel Peusangan. Kepada Dialeksis.com, Ariel menyebutkan pemmbentukan tim itu tidak jelas.

” Yang menjadi pertanyaan disini mengapa pembinaan, karena pembinaan ini bisa dikatakan sudah ada suatu tim yang sedang berjalan atau ada suatu penghambat dari realisasi MoU, sehingga perlu dibina, diawasi dan dievaluasi,” tanya pengamat pengamat kebijakan politik ini.

“Kalau berbicara kebutuhan administratif itu sama dengan berbicara ngaur. Dari tim pembinaan ini apa yang yang bisa dihasilkan, dari tim yang pernah ada tidak pernah ada hasilnya selain menguras APBA untuk membiayainya, “kata Ariel.

Ariel menjelaskan, seharusnya saat ini tidak perlu berbicara MoU, namun saat ini yang perlu dibicarakan adalah UUPA. Karena MoU Helsinki itu sudah selesai dengan lahirnya UUPA.

“Seperti yang kita ketahui saat ini esensi UUPA hanya dimaknai sebagai konstelasi politik perebutan kekuasaan oleh elit-elit politik di Aceh. Bukan secara menyeluruh yaitu mulai dari penyelesaian turunan hukum pelaksanaan agenda- agenda pemerintahan Aceh seperti Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur semua kekhususan Aceh,” jelasnya.

“Apa eksitensi politik saat ini yang sedang diributkan dan sedang hangat diperbincangkan yaitu pilkada Aceh 2022. Saya setuju dan wajib Aceh melaksanakan pilkada 2022,” sebutnya.

Karena menurut Ariel Peusangan, UUPA ini UU yang mengatur pelimpahan kewenangan dari pemerintah RI untuk Pemerintah Aceh. Bukan UU lex specialist pelaksanaan bidang kehidupan negara atau bidang pengelolaan sumber daya negara.

Tapi UUPA itu adalah kesepakatan politik untuk mengakhiri sebuah konflik atau perang saat itu. Karena kesepakatan itu maka para pihak punya hak untuk mengajukan sesuatu persoalan tertentu agar disepakati bersama dan lahirlah UUPA.

“Nah sekarang membentuk sebuah tim untuk mengawal dan mengevaluasi MoU itu hanya tindakan sia-sia dan tidak ada dasar hukum. Tapi tentang UUPA ini bagaimana realisasinya, berdasarkan semangatnya yang ditransfer dari MoU itu yang ingin kita sampaikan, “ lanjutnya.

Ariel menjelaskan, produk yang dihasilkan MoU ini adalah UUPA. Karena UUPA ini sebagai produk hukum dari kompensasi politik dan juga terdapat kekhususan juga yang diatur untuk membangun bidang ekonomi secara desentralisasi atau disebut juga otonomi daerah.

Daerah saat ini semua daerah di Indonesia sekarang merujuk pada otonomi daerah dan dengan kewenangan melahirkan PERDA, kalau di Aceh khusunya disebut Qanun. Aceh sendiri sebagai daerah otonomi khusus.

“Aceh sudah tidak bisa lagi dicampuri oleh kebijakan pusat. Namun, ada pengecualian khusus yang disebut kewenangan pusat sebagai kewenangan administrasi sebuah negara yang berhubungan dengan internasional. Karena Aceh tidak memiliki hak itu, maka diambil haknya oleh pusat dan selain dari itu diberi kebijakan oleh pusat untuk Aceh mengelolanya sendiri,” jelasnya.

“Gubernur Aceh yang menjadi kepala pemerintah daerah secara prerogratif dia berhak membentuk apapun nama timnya. Tetapi berbicara untuk tim pembinaan MoU, pengawasan MoU sudah tidak relevan lagi. Tetapi jika berbicara UUPA itu tidak perlu diawasi tapi actionnya dan upaya merealisasikannya yang diperlukan dan semua harus terlibat didalamnya, “ kata Ariel.

Kinerja Tim Dua Belas

Gubernur sudah menanda tangani tim dua belas, tim pembinaan dan pengawasan MoU Helsinki, yang dibentuk di secretariat Wali Nanggroe.

Mereka terdari dari; Teuku Kamaruzzaman, SH dari unsur mantan juru runding GAM/Praktisi Hukum yang berkedudukan sebagai penanggung jawab. Prof. Dr. Farid Wajdi Ibrahim, MA dari UIN Ar-Raniry sebagai coordinator.

 Dr. Drs. Gunawan Adnan, MA, Ph.D dari UIN Ar-Raniry sebagai ketua, Zainal Abidin, SH,M.Si,MH dari USK sebagai wakil ketua. Prof. Dr. Jamaluddin, SH,M.Hum dari USK sebagai sekretaris.

Sementara yang masuk menjadi anggota tim; Dr. Taufik C Dawood, SE, M.Ec.Dev dari USK. Prof. Dr. T. Zulham, SE,M.Si dari UTU, Dr. Afrizal Tjutra dari UTU, Dr. Faisal dari Unimal,Dr. M.Akmal juga dari Unimal dan Mohammad Rafiq, DPSA, MBA, DEA dari Staf Khusus Wali Nanggroe, serta Dr. H. Mukhlis Yunus, SE, MS dari USK.

Tim ini berasal dari 3 unsur, 10 orang dari perguruan tinggi, satu orang merupakan mantan juru runding GAM/praktisi hukum dan satu orangnya lainnya dari unsur staf khusus Wali Nanggroe.

Menurut Koordinator Tim Prof.Dr.Farid Wajdi Ibrahim,MA dalam keteranganya kepada media menjelaskan, historis pembentukan tim pembinaan dan pengawasan MoU Helsinki ini tidak serta merta begitu saja.

Pembentukanya penuh kehati-hatian, pengamatan, pengalaman, dan keberanian dalam menghadapi berbagai macam pihak serta masalah yang saat ini sarat terjadi di Aceh.

“Kita ketahui bahwa MoU Helsinki sudah memakan waktu 15 Tahun berjalan, namun masih banyak hal-hal yang belum terealisasi dengan baik, baik dalam regulasi maupun dalam implementasi di lapangan,” sebut Farid seperti dilansir advokasirakyat.id.

Ini merupakan salah satu pertimbangan pembentukan tim, untuk memantau, berkoordinasi, mengadvokasi, pengawasan dengan seluruh pemerintah daerah di kabupaten kota yang ada di Aceh.

Farid mengakui dia pada tahun 2018 pernah dimandatkan oleh Gubernur Aceh untuk mengawal pelaksanaan MoU Helsinki yang masih carut marut di Aceh. Belum terlaksana dengan baik masa itu.

“Kemudian pada tahun 2019, melalui Surat Keputusan (SK) yang dikeluarkan oleh DPR Aceh, kami dimandatkan kembali sebagai tim pengkajian dan advokasi MoU Helsinki. Gunanya untuk mengadvokasi bagaimana pelaksanaan dan implementasi MoU Helsinki di seluruh kabupaten kota di Aceh.

Menurut Farid, dari kerja tim yang dibentuk masa itu, ada tiga hasil kami sampaikan ke tingkat pusat yang melibatkan DPR, tokoh Aceh, petinggi GAM, Mendagri, Dirjen Otda, dan para pihak yang terlibat.

“Hasil kajiannya kami sampaikan berdasarkan temuan lapangan selama tim bekerja, yakni kami melahirkan produk yang namanya normatif dan legislatif (UU),” jelasnya.

Kemudian, lanjut Farid, satu satu produk lagi saat itu berdasarkan empiris (apa yang terjadi dilapangan). Ketiga itu disampaikan kepada para pihak dan juga saat itu beberapa rekomendasi DPR, terkait bagaimana yang seharusnya Implementasi MoU Helsinki serta UUPA di tubuh pemerintah Aceh kedepan.

Hal lain menyangkut dengan pelaksanaan UUPA juga hampir sama masalahnya, malah dihambat dan tidak bisa berjalan sama sekali. Baik dari kebijakan DPR maupun eksekutif sebagai pelaksanaan di lapangan.

Merujuk kepada hasil yang sudah dikerjakan oleh tim kajian dan advokasi pada tahun sebelumnya, maka Wali Nanggroe melalui Gubernur Aceh mengeluarkan SK tentang pembentukan tim pembinaan dan pengawasan MoU, jelasnya.

Sementara itu wakil ketua Tim pembinaan dan pengawasan Memorandum of Understanding (MoU) Hensinki, Zainal Abidin, SH, M.Si, MH, pihaknya akan menyusun dan membuat roadmap.

“Untuk roadmap belum dirapatkan lagi, namun bayangan apa yang harus dilaksanakan sudah, dan akan segera dibuat roadmap nya,” sebut Zainal Abidin menjawab Dialeksis.com.

“Tujuan dibentuk tim ini meski roadmap belum ada, tetapi bayangannya sudah ada. Artinya bagaimana MoU bisa terlaksanakan, komitmen pemerintah Aceh dan pemerintah pusat itu bisa terlaksanakan,” jelasnya.

Dijelaskan Zainal Abidin, ketika tidak ada tim yang mengkaji, mengawasi, dan pembinaan jadi sulit untuk mengetahui apa yang menjadi masalahnya di Aceh atau di pusat. Intinya jika ini terimplementasi dengan baik, maka ini akan menjadi untuk Aceh dan masyarakat Aceh juga.

Zainal mengakui saat ini banyak sekali butir-butir MoU tidak tercover di UUPA, jadi harus banyak langkah yang harus dilakukan agar MoU bisa terlaksana.

“Setahun yang lalu saya sudah banyak berbincang dengan ahli-ahli hukum dan dijelaskan bahwa UUPA itu bukan instrument tunggal untuk melaksanakan MoU namun bisa digunakan juga instrument hukum lainnya, “ jelasnya.

Sementara itu dikabakarkan tim ini akan berangkat ke Jakarta untuk menemui sejumlah stakeholder. Hal itu dibenarkan Teuku Kamaruzzaman, penanggungjawab tim kepada Dialeksi com, Senin (31/5/2021).

 “Namun sekarang ini kita menuju kepada regulasi, yaitu memetakan regulasi apa yang dibutuhkan Aceh. Sehingga MoU Helsinki itu bisa terlaksana. Kedua mengawasi semua produk hukum nasional yang mendistorsi MoU Helsinki. Kedua langkah itu akan dilakukan,” ujar Teuku Kamaruzzaman.

Menurutny, beberapa hal yang belum bisa dilaksanakan, maka pihaknya akan ke Jakarta untuk menemuki sejumlah stakeholder, sehingga MoU Helsinki bisa diterapkan secara sepenuhnya di Aceh.

“Semua stakeholder di pemerintah pusat akan kita datangi dan melakukan pertemuan tatap muka, untuk membicarakan apa saja kebutuhan Aceh dan apa saja yang menghambat penerapan MoU Helsinki,” jelasnya.

Hingar bingar soal pembentukan tim advokasi MoU Helsinki sampai kini menjadi pembahasan. Akankah tim ini membuahkan hasil, menjawab beragam persoalan yang muncul yang belum terselesaikan?

Atau tim ini hanya sekedar menghabiskan uang rakyat Aceh melalui APBA, seperti yang disebutkan para pihak yang merasa pesimis dengan apa yang dilakukan tim. Waktu yang akan menjawabnya, apakah tim ini menghabiskan uang rakyat atau memang menghasilkan sebuah kepastian yang selama ini belum terjawab. (Bahtiar Gayo)


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda