Beranda / Berita / Aceh / Polisi Kawal Aksi Mogok Makan di DPRA

Polisi Kawal Aksi Mogok Makan di DPRA

Senin, 30 November 2020 18:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Foto: tribratanewsrestabandaaceh.com


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Sekelompok pemuda yang menamakan diri "Aneuk Muda Menggugat" melakukan aksi mogok makan di depan pintu gerbang DPRA, Senin (30/11/2020). Aksi tersebut dilakukan untuk menyikapi kondisi dan situasi kekinian pasca 15 tahun Perjanjian Damai MoU Helsinki.

Sejumlah aparat keamanan dari Polresta Banda Aceh terlihat mengawal aksi yang dilakukan oleh para pemuda tersebut.

Kapolresta Banda Aceh Kombes Pol Trisno Riyanto, SH melalui Kapolsek Kuta Alam, Iptu Muchtar Chalis, S.Pd.I mengatakan, “Para pengunjuk rasa hari ini telah melakukan koordinasi dengan pelayanan Sat intelkam, namun belum dikeluarkannya Surat Tanda Terima Pemberitahuan karena masih dalam pandemi Covid-19.” 

Ikhsan Kelda selaku Koordinator Aksi mengatakan bahwasanyan aksi mogok makan tersebut dilakukan untuk menyikapi Refleksi 15 tahun Perjanjian Damai MoU Helsinki.

“Aksi mogok makan ini akan kami lakukan sampai usulan yang kami sampaikan kepada anggota DPRA dipenuhi, dan apabila belum terpenuhi, maka aksi ini akan berlanjut kembali,” tutur Ikhsan.

Dalam menyikapi kondisi dan situasi perjanjian damai Aceh, kami menilai masih banyak permasalahan-permasalahan mendasar yang belum selesai dan mestinya mendapat perhatian yang serius dari para pihak untuk menuntaskan segala sesuatu yang menyangkut masa depan Aceh, kata Ikshan.

"Jadi kami menuntut agar keinginan yang kami sampaikan dipenuhi oleh pihak DPRA. Diantaranya, pihak RI untuk menepati janji dan menyelesaikan poin-poin MoU Helsinki dan menuntut agar pimpinan GAM tidak abai juga berpangku tangan akan situasi bangsa yang semakin lama semakin jauh dari kesepakatan MoU Helsinki," tegas Ikhsan.

“Anggota Dewan harus memenuhi hak sipil, dimana masih ada warga yang belum terpenuhi haknya pasca konflik, kemudian hak para kombatan yang terabaikan, penyelesaian pelanggaran HAM yang belum terselesaikan, serta dana otonomi khusus untuk mengejar ketinggalan pasca konflik pun tidak termaksimalkan, dimana Aceh masih menjadi salah satu daerah termiskin di Sumatera khususnya dan Indonesia pada umumnya,” tutur jelas Ikhsan lagi.

Kemudian lanjutnya, pengkhianatan akan perjanjian pembagian hasil bumi antara 70%-30 %, perbatasan antara Aceh dan Sumut yang merujuk pada Perbatasan 1 Juli 1956, tambahnya.

"Di akhir tuntutan kami, identitas Aceh, UUPA, bahwa berdasarkan point 1.1.5 dalam MoU Helsinki, Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang, yakni di pasal 246 dan 247," pungkas Ikhsan. (PBA)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda