Beranda / Klik Setara / Apakah Aceh Masih Memerlukan Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak?

Apakah Aceh Masih Memerlukan Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak?

Senin, 15 November 2021 07:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Abdullah Abdul Muthaleb. [Foto: Ist.]

Tanpa badai dan tiada pula hujan, tiba-tiba Muhammad AR selaku Ketua Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Aceh (KPPAA) angkat bicara. Sang Ketua Komisioner itu sebagaimana diberitakan oleh sejumlah media online di Aceh, pada 9 November 2021 menyebutkan masa kerja Komisioner bakal berakhir pada Januari 2022. 

Diakuinya, KPPAA bersama Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Pusat sudah bertemu langsung Asisten I Setda Aceh, yang dihadiri oleh Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Aceh (DPPPA Aceh), serta Biro Hukum dan Biro Isra Setda Aceh. Namun, dalam waktu tersisa, proses seleksi Komisioner periode mendatang belum juga dimulai.

Terlepas dari komentar sang Ketua itu (saya sendiri baru ingat kembali kalau beliau rupanya masih menjabat Ketua KPPAA), pertanyaannya adalah bagaimana nasib lembaga ini? Apakah Komisi tersebut masih diperlukan untuk Aceh? Bila perlu, apakah proses seleksi mendesak dan otomatis harus segera dilakukan? Atau jangan-jangan, ada kebutuhan lainnya yang perlu dipersiapkan agar kinerja Komisi ini menjadi jauh lebih baik pada periode selanjutnya? Bila harus ditunda, bagaimana kejelasannya?.

Namun, satu hal yang jelas bahwa polemik ini harus diakhiri dengan sikap yang jelas dari Pemerintah Aceh: seperti apa nasib KPPAA? Menarik pula melihat dari sudut pandang parlemen, bagaimana sejatinya dukungan DPRA ke depan? Apa pun kebijakan yang akan diambil, jangan biarkan polemik ini tanpa titik terang yang dapat menimbulkan kegaduhan yang tidak layak dipertontonkan.

Kinerja dan Berakhirnya Masa Jabatan

Komisioner KPPAA periode 2017-2022 ini dilantik oleh Gubernur Aceh, Zaini Abdullah pada tanggal 27 Februari 2017 lalu. Lima Komisioner yang dilantik yaitu Nyak Arief Fadhillah Syah, Firdaus D. Nyak Idin, Muhammad AR, Ayu Ningsih, dan Muhammad Hatta. 

Gubernur Zaini saat itu menegaskan agar para Komisioner harus fokus menjalankan tugas. 

“Dengan kinerja yang baik dari saudara-saudari sekalian, kita berharap angka kekerasan terhadap anak di Aceh dapat ditekan hingga serendah mungkin”, ungkap sang Gubernur.

Waktu terus berjalan, komposisi Komisioner pun berubah. Nyak Arief Fadhillah Syah, yang belum lama dilantik sebagai Komisioner KPPAA kemudian “hijrah” dan dilantik sebagai Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Aceh pada 12 April 2018. Sedangkan Muhammad Hatta hanya aktif hingga tiga tahun pertama, memasuki tahun keempat menyatakan mundur karena jabatannya di Majelis Permusyarawatan Ulama (MPU) Aceh. 

Jadi persis, dalam masa dua tahun terakhir, komposi Komisioner KPPAA hanya ada tiga Komisioner yang tersisa! Dengan situasi demikian, wajar bila lembaga ini terkesan tidak cukup bertenaga, bukan? Apalagi kalau ada yang rangkap jabatan di lembaga lain, tentu telah melanggar salah satu syarat menjadi Komisioner, dan akan semakin menguras energi untuk memperkuat kinerja KPPAA.

Kembali pada kejutan tanpa angin dan badai di atas, Ketua KPPAA menyebutkan secara umum adanya tanggapan positif dari lintas sektor terkait keberlanjutan Komisi ini. Namun demikian, belum menghasilkan langkah pasti kapan seleksi Komisioner periode baru dimulai. 

Sang Ketua Komisioner mengaku telah beberapa kali berkomunikasi dengan DPPPA Aceh terkait berakhirnya masa kerja KPPAA periode sekarang. Namun, lagi-lagi menurutnya upaya itu tidak mendapat respon yang memadai. Menurutnya, DPPPA Aceh berjanji akan membuat telaah staf pada Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh. Awalnya ia mengira telaah itu terkait tambahan anggaran untuk mendukung keberadaan KPPAA mendatang.

Ketua Komisioner lagi-lagi mengaku jika DPPPA Aceh malah membuat telaah staf ke Sekda Aceh agar KPPAA dievaluasi. 

“Kita asumsikan telaah itu bermaksud menghentikan keberadaan KPPAA,” tegas sang Ketua. 

Dalam sejumlah berita yang beredar, Ketua Komisioner menjelaskan bahwa yang diketahuinya, alasan DPPPA Aceh meminta evaluasi karena KPPAA dianggap memiliki fungsi dan peran yang sama dengan UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak. 

Padahal, menurutnya hal tersebut tidak benar. Menurutnya, KPPAA merupakan lembaga independen, dibentuk dan dan di-SK-kan oleh Gubernur Aceh. Pembentukannya melalui Peraturan Gubernur Aceh Nomor 85 Tahun 2015 tentang Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Aceh. Di samping itu, ada peraturan lainnya seperti UU Perlindungan Anak dan Peraturan Presiden 61 Tahun 2016. Ditegaskan juga jika Tugas Pokok Dan Fungsi (Tupoksi) KPPAA sangat jelas tertuang dalam Peraturan Presiden dan Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2008. 

"Tidak ada kesamaan sedikit pun antara Tupoksi KPPAA dengan Tupoksi DPPPA Aceh maupun UPTD PPA sebagaimana yang diasumsikan selama ini,” sebut Muhammad AR.

Muhammad AR memperjelas kembali posisi KPPAA bukan lembaga penyedia layanan, tapi lembaga pengawasan yang di dalamnya ada proses advokasi, mediasi dan penguatan kapasitas. Menurutnya, KPPAA dapat berfungsi sebagai lembaga yang melakukan Coaching Mentoring dan Consulting (CMC) kepada semua sektor yang bekerja melayani pemenuhan hak dan perlindungan anak, secara langsung maupun tidak langsung. 

Selain itu, Komisi tersebut juga mendampingi lintas sektor menyusun program pemenuhan hak dan perlindungan anak, termasuk bersama-sama menyusun sistem perlindungan anak yang sampai saat ini belum dimiliki oleh Aceh. Karena itu, ia meminta Pemerintah Aceh agar segera mengambil langkah-langkah pasti untuk memulai proses seleksi Komisioner KPPAA periode 2022-2027 sehingga tidak terjadi kekosongan pengawasan perlindungan anak di Aceh.

Sebelum mengulas hal lain lebih jauh dalam dalam tulisan ini, dengan menyimak pernyataan demi pernyataan di atas, respon singkatnya: ada apa dengan evaluasi? Kalau pun Pemerintah Aceh melakukan evaluasi terhadap Komisi ini tentu sangat beralasan, bukan? Publik pun berhak mengkritisinya, berhak tahu kinerja Komisi ini. Jadi, jangan terkesan alergi juga kalau mau dievaluasi, yang penting prosesnya harus dilakukan secara terbuka dan fair.

Komisi yang (Terus) Menjadi Polemik

Adanya polemik keberadaan Komisi ini di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota bukan persoalan baru. Hal ini dikarenakan UU Perlindungan Anak tidak secara tegas menyebutkan jika Pemerintah Daerah “wajib” membentuknya. UU Perlindungan Anak sebagaimana tercantum dalam Pasal 74 ayat (2) disebutkan bahwa “Dalam hal diperlukan, Pemerintah Daerah dapat membentuk Komisi Perlindungan Anak Daerah atau lembaga lainnya yang sejenis untuk mendukung pengawasan penyelenggaraan Perlindungan Anak di daerah”. (Dalam Qanun Aceh tentang Perlindungan Anak, pengaturannya juga sama bahwa Komisi ini dapat dibentuk dan harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan).

Sebenarnya, ayat (2) tersebut merupakan klausul yang baru ada dalam UU Perlindungan Anak setelah dilakukan perubahan yang kemudian menjadi salah satu pokok materi gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang dimohonkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Aceh (KPPAA), dan sejumlah Komisi serupa lainnya dari sejumlah daerah, para advokat dan konsultan hukum yang tergabung dalam Tim Kuasa Hukum KPAI & KPAD. 

Salah satu poin kunci putusan MK yang dibacakan pada 19 Mei 2020 bahwa sesuai dengan amanat Pasal 74 ayat (2) UU Perlindungan Anak, daerah dapat membentuk kelembagaan dimaksud sepanjang dibutuhkan oleh daerah yang bersangkutan sesuai dengan situasi dan kondisi serta kompleksitas persoalan perlindungan anak di daerah. Kebutuhan demikian sekaligus menjawab amanat Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. 

Oleh karenanya, pembentukan KPAID (seperti KPPA di Aceh) tidaklah dimaksudkan untuk menggerus kewenangan daerah atas penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan yang telah diserahkan sebagai urusan daerah, in casu urusan perlindungan anak.

Namun demikian, keberadaan Komisi ini terus menjadi polemik. Kepala Staf Presiden, Moeldoko pada akhir Mei tahun ini pernah mendesak Pemerintah Daerah untuk membentuk Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) lantaran banyaknya kasus kekerasan pada anak, dan meningkatnya jumlah pekerja anak terlebih saat pandemi Covid-19. 

Moeldoko menyatakan karena isu ini belum tertangani dengan baik oleh pejabat publik, khususnya dalam lingkup Pemerintahan Daerah. 

“Kami akan surati Kementerian Dalam Negeri. Kami juga akan sampaikan langsung ke Presiden,” ujar Moeldoko di Jakarta, mengutip siaran pers Kantor Staf Presiden, Senin (24/5/2021).

Sekali lagi, dengan tidak ada penegasan “wajib dibentuk” maka Komisi ini antara ada dan tiada. Sangat tergantung dari komitmen sang Kepala Daerah khususnya dan sudut pandang Dinas yang menangani urusan ini sehingga tidak heran jika perkembangaan Komisi ini di Indonesia cenderung stagnan, muncul-tenggelam! 

Data yang diperoleh penulis, pada tingkat provinsi (tidak termasuk kab/kota yang jumlahnya jauh lebih banyak KPAD yang sudah dibentuk) hanya ada tiga KPAD tingkat provinsi, yakni di Bali, Kalimantan Barat, dan Aceh. Moeldoko sendiri mengakui jika hal tersebut terkait dengan penguatan dari sisi regulasi sebagaimana diuraikan di atas yang tidak secara tegas menyebutkan wajib dibentuk di daerah.

Lagi-lagi, kita jangan lupa juga membaca UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Pasal 377 ayat (1) bahwa Menteri melakukan pengawasan umum terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Provinsi. Pada (2) Menteri teknis dan kepala lembaga pemerintah nonkementerian melaksanakan pengawasan teknis terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Provinsi sesuai dengan bidang tugas masing-masing dan berkoordinasi dengan Menteri. Sedangkan pada (3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh Aparat Pengawas Internal Pemerintah sesuai dengan fungsi dan kewenangannya.

Tetapi situasi tidak sama di semua provinsi. Pemerintah Kalimantan Timur malah sedang dalam proses pembentukan Komisi ini. Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Kalimantan Timur sudah melakukan audiensi ke KPAI pada 21 Oktober 2021 lalu sebagai tindak lanjut pertemuan KPAI dengan Gubernur Kalimantan Timur pada tanggal 5 Maret 2021. Dalam kesempatan tersebut, Gubernur Provinsi Kalimantan Timur menyampaikan bahwa Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur bersedia membentuk Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD).

Nah, dalam konteks Aceh, bagaimana memposisikan UU Perlindungan Anak, plus Qanun Perlindungan Anak dalam sudut pandang UU Pemerintah Daerah ketika memposisikan keberadaan KPPAA? 

Tafsirannya harus didialogkan oleh para pihak, dan yang lebih penting adalah bagaimana mencari titik temu yang titik temu tersebut akan diperoleh jika para pihak memiliki kesamaan semangat, menanggalkan ego, sekaligus mengakui ada kelemahan yang harus diperbaiki sebagai bentuk otokritik.

Masih Perlukah KPPAA?

Secara konstitusi, UUD 1945 menjamin perlindungan dan pemenuhan hak asasi anak tanpa kecuali. Jaminan tersebut termasuk dengan terbitnya Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak) dan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang secara substantif telah mengatur banyak hal terkait persoalan anak dengan ragam dimensi didalamnya yang harus diselenggarakan dengan prinsip nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan terhadap pendapat anak, hak untuk hidup, tumbuh dan berkembang. Lagi-lagi, siapa yang memastikan penyelenggaraan perlindungan dan pemenuhan hak anak itu? 

Dengan demikian, terlepas dari ada tafsiran yang berbeda dari sisi aturan hukum, bagi penulis, paling tidak terdapat enam alasan mengapa Pemerintah Aceh penting mempertimbangkan “keberlanjutan” sekaligus “memperkuat” KPPAA.

Pertama, secara fakta trend kasus kekerasan terhadap anak semakin mengkhawatirkan. Bukan hanya jumlah kasus yang kian bertambah, melainkan juga modus operandi dan daya rusaknya yang kian kompleks. 

Di masa pandemi ini pun, kekerasan bukan hanya terjadi di ranah domestik dan publik secara konvensional, tetapi kekerasan yang dipicu oleh perkembangan teknologi informasi (seperti media sosial) juga kian merebak. Data dari UPTD PPA Aceh menunjukkan bahwa sepanjang Januari 2017 s.d September 2021, kekerasan terhadap anak di Aceh mencapai 3.194 kasus, atau sekitar 639 kasus per tahun. 

Ingat bahwa ini ada fenomena gunung es, belum semua kasus dilaporkan! Dari data tersebut, kasus kekerasan seksual anak (pelecehan, perkosaan, sodomi) menduduki posisi tertinggi. Makin mengerikan memang, tetapi bisa jadi angkanya bagi sebagian orang akan dianggap tidak seberapa, karena anak kandung, keponakan, atau cucunya belum jadi korban, bukan?

Kedua, komitmen Pemerintah Aceh harus ada yang mengawasi secara independen khususnya terkait jalannya Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2008 tentang Perlindungan Anak. Bagaimana pula dengan Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak yang ditetapkan pada 18 Oktober 2019, juga belum banyak bergerak. 

Sebanyak 16 SKPA yang diatur didalamnya untuk berkontribusi dalam upaya penanganannya kekerasan secara komperehensif (hingga ke aspek pemulihan dan pemberdayaan), jangankan sudah terapkan secara maksimal, diyakini kalau pemegang otoritas di semua SKPA tersebut belum sepenuhnya memiliki komitmen dan dukungan nyata sesuai dengan Tupoksinya itu. Qanun tersebut juga berlaku mutatis mutandis bagi kabupaten/kota. Artinya, juga berlaku dan harus dijalankan di daerah.

Ketiga, Aceh bukan hanya hanya dihadapkan pada proses penanganan kasus saja, tetapi juga punya persoalan dengan Peradilan yang belum sepenuhnya memberikan keadilan bagi anak, bukan? Kerapnya vonis bebas misalnya menjadi pertanda bahwa harus ada monitoring Peradilan atas kasus anak yang lebih kuat. Lalu, Aceh juga memiliki tantangan dengan materi Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, khususnya Pasal 47 dan 50, yang terus menjadi sorotan terkait dengan materi hukuman bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak. 

Secara umum, harus diakui jika isu perlindungan anak ini tidak dipandang menguntungkan secara politik, jadi jangan harap akan menjadi arena pengawasan oleh parlemen secara ketat seperti mereka mengawasi proyek-proyek besar. Di sinilah kemudian, keberadaan KPPAA untuk mengawasi secara independen menjadi kata kunci!

Keempat, adanya Komisi ini sebagai salah satu bukti nyata dukungan Pemerintah Aceh terhadap implementasi Konvensi tentang Hak-Hak Anak (KHA). Jangan lupa, Indonesia juga telah meratifikasi setidaknya dua protokol opsional Konvensi Hak Anak melalui UU yaitu UU Nomor 10 Tahun 2012 tentang Pengesahan Protokol Opsional Konvensi Hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak dan juga UU Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.

Poin di sini punya kaitan dengan pertimbangan kedua, bahwa perlu ada institusi yang bertanggungjawab unuk mengawasi kepatuhan negara dalam menjalankan amanat KHA itu yang itu berkelindan dengan sejumlah UU lainnya seperti UU HAM, UU Kesehatan, UU Ketenagakerjaan, hingga UU Pengadilan Anak. Peran itu bisa menjadi kerja-kerja KPPAA. Sekali lagi, jangan lihat semata-mata pada plus-minus kinerja Komisioner sekarang, tetapi pandanglah ada tanggungjawab dan persoalan serius yang harus diselesaikan.

Kelima, perlindungan dan pemenuhan hak anak itu kerja lintas sektor, bukan hanya menjadi arena Pemerintah Daerah. Di dalamnya ada komponen partisipasi masyarakat yang perannya sangat strategis seperti di atur dalam UU Perlindungan Anak. Dalam Pasal 72 ayat (2) bahwa peran masyarakat tersebut dilakukan oleh orang perseorangan, lembaga perlindungan anak, lembaga kesejahteraan sosial, organisasi kemasyarakatan, lembaga pendidikan, media massa, dan dunia usaha. 

Oleh karena itu, sejalan dengan semangat memperkuat dukungan lintas sektor tersebut, mestinya keberadaan Komisi ini sejalan dengan kepentingan untuk mewujudkan perlindungan dan pemenuhan hak anak di Aceh.

Keenam, adanya goncangan (turbulence) layanan pasca transformasi P2TP2A menjadi UPTD PPA. Hal demikian diakui atau tidak, faktanya terjadi. Ketika yang dulunya basis layanannya adalah kerja kolaborasi antara Pemerintah dengan para pegiat dari kelompok masyarakat, menjadi formal-birokratis dalam wadah UPDT. 

Konon lagi, jika penempatan para pejabat tersebut tidak punya pengalaman sama sekali terkait isu ini. Lebih parah lagi, jika passion-nya memang bukan di UPTD PPA! 

Dari lima pertimbangan yang ada, pertimbangan terakhir ini lebih teknis memang tetapi dampak langsungnya dapat dilihat jika memang proses traformasi kelembagaan tersebut tidak benar-benar dipersiapkan secara matang. Keberadaan KPPAA jelas harus memastikan bahwa pelayanan yang diberikan tidak terganggu ketika Pemerintah Daerah menjadikan P2TP2A yang beberapa tahun terakhir terus diperkuat, kemudian harus berubah menjadi UPTD PPA.

Menanti KPPAA Baru

Jika diperlukan, pasti akan muncul pertanyaan: bagaimana dengan kinerja KPPAA selama ini? Penulis sendiri tidak bisa menjawab karena tidak memiliki informasi yang utuh melihat capaian yang sudah diwujudkan selama periode ini. Memang, yang terkesan adalah adanya pro-kontra dalam menilainya: maksimal atau pun masih jauh dari harapan? Namun, terlepas dari apa pun kinerja KPPAA, keberadaan Komisi ini masing sangat relevan dan dibutuhkan di Aceh. 

Kehadiran KPPAA tetap menjadi kebutuhan mendesak apalagi hal tersebut merupakan mandat UU meskipun “bersifat opsional” bagi Pemerintah Daerah. Jika kita mau melihatnya secara jernih, maka mandat Komisi ini di tingkat daerah seperti Aceh bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengawasan penyelenggaraan pemenuhan hak anak yang dilakukan oleh para pemangku kewajiban perlindungan anak, terutama negara.

Dengan demikian, sikap penulis sendiri jelas bahwa Komisi ini harus dipertahankan, tentu dengan sejumlah catatan untuk perbaikan! 

Catatan dimaksud adalah dengan melihatnya dalam dua aspek, yakni aspek politis dan aspek teknis. Kedua aspek ini harus dikaji dan dipersiapkan dengan matang sehingga KPPAA yang baru tidak lagi mengulang sejarah saat ini, sebaliknya menjadi sebuah Komisi yang lebih efektif dalam menjalankan perannya. Kedua aspek ini sangat diperlukan untuk memperkuat integritas, kapabilitas, transparansi dan akuntablitas kelembagaan KPPAA, termasuk setiap individu didalamnya.

Pada aspek politis, hal pertama yang harus diperjelas adalah komitmen dan dukungan kebijakan Pemerintah Aceh maupun DPR Aceh. Keduanya harus melihat ulang bagaimana sudut pandangnya atas Komisi ini. Pemerintah Aceh melalui DPPPA Aceh, paling tidak harus segera menjelaskan sikapnya kepada publik, merespon “suara” KPPAA terkait dengan masa jabatan komisioner yang segera berakhir. Apakah Komisi ini akan berlanjut atau tidak sama sekali, atau berlanjut tetapi ditunda untuk batas waktu tertentu? Publik menunggu respon resmi itu sehingga ada kejelasan informasi dan tidak kemudian menjadi polemik tanpa kejelasan apa pun.

Pertimbangan politis di atas tidak semata-mata soal “Aceh masih perlu KPPAA” tetapi juga harus dipertimbangan dukungan anggaran untuk memaksimalkan kerja-kerja KPPAA. Dalam konteks ini, suara parlemen bukan sekedar dorongan agar Panitia Seleksi segera dibentuk, tetapi ke depannya seperti apa? Apakah DPRA akan mendukung adanya alokasi anggaran untuk KPPAA di luar pagu anggaran yang diplotan ke DPPPA Aceh? Selama ini, harus diakui bahwa gesekan antara keduanya muncul karena salah satu sebabnya adalah perkara anggaran, bukan?

Bisa bayangkan, dalam kondisi normal tanpa pandemi (refocusing anggaran), satu unit Bidang di DPPPA Aceh sepengetahuan penulis hanya mengelola sekitar Rp 800 juta s.d 1,2 milyar per tahun. Dana itu jauh dari cukup untuk melaksanakan semua program kerjanya, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Bagaimana dalam dalam dua tahun terakhir di era pandemi? Angkanya pasti merosot tajam. Nah, kalau pagunya kemudian tetap diambil dari pagu anggaran DPPPA Aceh, (termasuk jika tanpa refocusing anggaran) otomatis empat Bidang yang ada di Dinas itu akan semakin minim anggaran untuk melaksanakan tugasnya. Ini memang dilematis. Satu sisi, KPPAA butuh dukungan anggaran sedangkan DPPPA Aceh sendiri pagu anggarannya terbatas!

Kebutuhan tersebut selaras dengan Surat Edaran (SE) Nomor: 468/813/SD tertanggal 28 Januari 2020, yang meminta semua Gubernur, Bupati dan Walikota untuk megalokasikan anggaran perencanaan, pencegahan dan penanganan anak dan perempuan korban kekerasan. SE itu relevan dengan kondisi saat ini ketika posisi KPPAA dikaitkan dengan keterbatasan anggaran. Kalau alasannya tidak ada anggaran tentu akan miris sekali. Triliunan dana Otonomi Khusus per tahun, tidak ada kisaran Rp 1 milyar per tahun untuk KPPPA?

Ingat bahwa Komisi ini juga mengemban utusan wajib non layanan dasar, bukan urusan pilihan. Mengapa untuk urusan tidak penting bisa milyaran rupiah bisa digelontorkan, mengapa untuk kepentingan peradaban yang melindung anak-anak Aceh kita tidak punya anggaran membiayai operasional Komisi ini? 

Menurut saya, angka tersebut sangat minimalis untuk kerja-kerja sebuah Komisi! Tetapi harus bersepakat bahwa pagunya jangan diambil lagi dari pagunya DPPPA Aceh karena Dinas ini sendiri anggarannya sangat kecil, jauh dari kebutuhan untuk urusan PP dan PA yang disyaratkan. Artinya, pagu anggaran untuk KPPAA harus dari sumber lainnya yang dialokasikan oleh Pemerintah Aceh bersama DPRA. Dengan demikian, Pemerintah Aceh dan DPRA idealnya segera bertemu untuk membahas polemik ini secara serius terkait dengan nasib kelembagaan dan sumber pembiayaannya, bukan hanya sekedar soal Panitia Seleksi!

Bagaimana dengan aspek teknis, apa yang harus dilakukan? Pada aspek ini, salah satu kuncinya adalah lakukan revisi terlebih dahulu Peraturan Gubernur Nomor 85 Tahun 2015. Ada banyak hal yang harus disempurnakan sehingga bukan hanya mempertegas kerja-kerja Komisi ini yang tidak lagi diasumsikan tumpang tindih dengan DPPPA Aceh dan UPTD PPA. Mulai dari proses pembentuk Panitia Seleksi yang kredibel, soal tugas sekaligus larangan bagi seorang Komisioner, termasuk perkara rangkap jabatan. Jangan lupa, Komisi ini punya Kelompok Kerja (Pokja), bagaimana memastikannya mulai dari proses rekruitmen dan kontribusinya itu bisa optimal dalam mendukung tugas Komisioner.

Artinya, harus dipastikan lembaga ini bukan batu loncatan sebelum dapat jabatan yang lebih strategis di lembaga lain. Para Komisioner ke depan, termasuk Pokja benar-benar personal yang punya totalitas, siap bekerja penuh waktu, tidak rangkap jabatan, dan tidak sibuk dengan “kerja sampingan”. Kita tentu merindukan KPPAA yang berintegritas, menjadi ”rumah bersama” bagi semua aktor yang bekerja mengawasi jalannya penyelenggaraan perlindungan anak agar benar-benar efektif terjadi di Aceh.

Otomatis, pilihan untuk merevisi Peraturan Gubernur ini sebenarnya menjadi solusi terbaik yang tentu harus dilakukan secara terbuka sehingga diketahui pada aspek mana saja yang harus diatur ulang, termasuk persoalan dukungan operasional dan kesektariatan. Mungkin dengan kondisi saat ini, belum sampai pada tahap adanya Kepala Sekretariat layaknya sebuah Komisi lainnya. 

Namun, perlu dicari jalan keluarnya dan membangun mekanisme yang jelas sehingga fungsi-fungsi kesekretariatan itu tetap bisa berjalan. Jangan lupa, bagaimana pula fungsi koordinasi dan sinergisitas KPPAA dengan lintas sektor, terutama dengan DPPPA Aceh dan UPTD PPA dapat berjalan lebih baik ke depan tanpa harus saling mempertahakan ego kelembagan masing-masing. Masalah beratnya di sini, bukan? Kita merasa sudah berbuat banyak dan atau merasa tidak dihargai oleh pihak lain?

Nah, dengan situasi dan waktu yang kritis seperti saat ini, apa yang sebaiknya dilakukan? Langkah terbaik, sebagai win-win solution, DPPPA Aceh dapat mengusulkan perpanjangan masa jabatan Komisioner sekarang, paling lama enam bulan dan atau hingga dilantiknya Komisioner KPPPA periode yang baru. Dalam kurun waktu tersebut, bisa bergerak cepat menginisiasi revisi Peraturan Gubernur tersebut. Jelas di sini perlu komitmen dan dukungan penuh mulai dari Sekda dan unsur TAPA, termasuk Karo Hukum dan juga Karo Isra Setda Aceh sehingga prosesnya menjadi lebih mudah.

Penutup

Ketika munculnya polemik “nasib” Komisi ini dalam sepekan terakhir, saya kembali teringat Pemerintah Aceh yang telah membawa pulang Penghargaan Perlindungan Anak Tahun 2020 dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Aceh dinilai memiliki komitmen serius dalam penyelenggaraan perlindungan anak dan melaporkan capaian berbasis Sistem Informasi Monitoring Evaluasi Pelaporan (SIMEP). Penghargaan tersebut diterima langsung oleh Wakil Ketua PKK Aceh, Dyah Erti Idawati dalam seremonial penyerahan secara virtual yang diselenggarakan di Jakarta, Rabu, 22 Juli 2020. 

“Penghargaan ini menjadi pemicu bagi kita untuk lebih giat dalam memberikan pelayanan terbaik bagi perlindungan anak,” begitu pernyataan Dyah Erti Idawati saat itu.

Dalam situasi seperti saat ini, aroma penerimaan penghargaan itu seperti kembali menyeruak. Apa yang harus disajikan ke publik sebagai pembuktian bahwa Pemerintah Aceh benar-benar berkomitmen dengan urusan perlindungan anak? Ibarat pertandingan sepak bola, maka bolanya itu sekarang ada di Pemerintah Aceh. 

Penulis sendiri, Anda sebagai pembaca, dan siapa pun yang merindukan semakin membaiknya perlindungan dan pemenuhan hak anak di Aceh, pasti berharap agar Pemerintah Aceh melalui DPPPA Aceh bersama KPPAA untuk segera duduk bareng memberikan penjelasan ke publik. Jangan terjebak pada polemik tetapi harus sama-sama mendiskusikan secara elegan, mengedepankan semangat mencari solusi terbaik.

Mari duduk bersama kembali, kalau perlu ajak komponen lainnya yang selama ini menjadi mitra kerja untuk sama-sama berpikir bagaimana keberlanjutan Komisi ini ke depan. Jangan ragu untuk menyusun strategi bersama untuk keberlanjutan dan sekaligus penguatan Komisi ini. 

Lakukan advokasi secara efektif sehingga Komisi ini tetap ada dan sama-sama bekerja sinergis menjadi tiga aktor kunci: DPPPA Aceh, UPTD PPA Aceh, dan KPPAA. Lembaganya boleh beda tetapi semangatnya harus sama. Sebaliknya, apabila pilihan kebijakan Pemerintah Aceh memang tidak lagi membentuk KPPAA kembali alias dibubarkan, maka berikan penjelasan ke publik secara terbuka.

Sebab, tulisan ini pun dimaksudkan bukan sedang berpikir tentang siapa Komisioner sekarang, siapa pula yang akan menjadi Komisioner ke depan! Hal terpenting yang harus ada dalam hati dan pikiran kita adalah bagaimana penyelenggaraan perlindungan dan pemenuhan hak anak-anak Aceh menjadi lebih baik, bukan? Impian itu sekaligus menjadi PR kita bersama.[*]

Penulis: Abdullah Abdul Muthaleb

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda