Beranda / Klik Setara / Sandra Hamid dan Kepemimpinan yang Meneguhkan Kepedulian

Sandra Hamid dan Kepemimpinan yang Meneguhkan Kepedulian

Selasa, 10 Januari 2023 17:00 WIB

Font: Ukuran: - +


Sandra Hamid. [Dok. Universitas Indonesia]

Oleh: Abdullah Abdul Muthaleb

DIALEKSIS.COM - Tulisan kali ini temanya beda dari biasanya. Saya sengaja menulis tentang seorang Sandra Hamid sebagai bentuk catatan seorang sahabat dalam persinggungan saya dengan kerja-kerja mendorong keadilan, kesetaraan, dan penghormatan terhadap keberagaman di Indonesia. Bukan sebagai bentuk sanjungan, melainkan untuk berbagi cerita bagaimana pentingnya kepemimpinan (leadership) dan kepedulian menyatu hingga mampu menggerakan perubahan. Ya, kepedulian dalam membangun lembaga, berkolaborasi lintas sektor dan aktor dengan ragam isu dan dinamika ke-Indonesia-an hingga saat ini tentu tidak mudah. Akan tetapi, nyatanya itu bisa dilakukan. Ibarat pesawat, dari semenjak tinggal landas (take-off) yang mulus, tiba masanya mendarat (landing) diakhir tahun 2022 ini pun berlangsung mulus, bahkan penuh haru.

Dalam konteks Aceh, sosok Sandra Hamid dan The Asia Foundation (TAF) Indonesia memberikan makna tersendiri. Bergerak dari banyak sudut masalah, kemudian dengan sejumlah lembaga dan individu yang penuh dedikasi, beberapa agenda perubahan digerakkan di Aceh. Ada banyak keberhasilan, manfaat yang bisa dipetik di tengah sejumlah rencana yang juga belum sepenuhnya terwujud. Tetapi seorang Sandra Hamid cenderung lebih antusias pada rencana yang belum tercapai itu. Ia sering berujar jika dari situasi yang gagal itu mesti ada kesadaraan menggali kembali hingga ke akarnya, mengapa rencana itu bisa gagal!

Tulisan ini dihadirkan pada awal tahun 2023 sebagai catatan saya dan beberapa sahabat Sandra Hamid lainnya di Aceh. Tanda terima kasih dan mengenang sosoknya yang pada ujung tahun 2022, sudah memasuki paripurna tugas sebagai Country Representative TAF Indonesia, sebuah lembaga mitra pembangunan nasional di negeri ini. Transisi kepemimpinan pun sudah berlangsung. Hana Satriyo - yang juga tak asing bagi Aceh - dipercayakan melanjutkan kepemimpinan ini. Nah, dua sosok penikmat nasi gurih yang berbeda lokasinya di Banda Aceh dan sejumlah catatan kecil dari sahabatnya dari Aceh akan menjadi sentral tulisan ini.

Mengenal Sandra Hamid

Selain kerap disapa mba Sandra atau ibu Sandra, Sandra Hamid juga memilik sapaan lainnya yakni Uni Sandra, menandakan kampungnya dari Sumatera Barat. Sebelum menjadi Country Representative TAF Indonesia, ia dipercayakan sebagai Senior Director for Programs (2008-2011) di lembaga tersebut. Peraih gelar Ph.D dari University of Illinois di Urbana-Champaign ini pernah dua kali menerima Penghargaan Presiden untuk Kinerja Luar Biasa dari The Asia Foundation dan juga menerima Draper Hills Summer Fellow untuk Demokrasi dan Pembangunan di Stanford University. Bahkan, pernah menjabat sebagai Direktur Program Aceh (2004-2008), sebelum menjabat sebagai Manajer Program Pemilu (2003-2004). Sampai di sini jelas mengapa kemudian perempuan yang smart ini tidak asing bagi kalangan aktivis NGO, jurnalis, tokoh politik, birokrat, budayawan. termasuk sejumlah akademisi di Aceh. Interaksinya yang demikian menandakan jam terbangnya di wilayah ini tidak bisa juga disebut terbatas!

Dalam masa interaksi dengan TAF Indonesia, saya sendiri kemudian mengenalnya lebih dari sebatas antropolog. Ia memiliki minat yang kuat dalam partisipasi politik dan masyarakat sipil. Wajar bila saat bertemu dengan para aktivis NGO, diskusinya bisa meledak-ledak. Tapi ciri khasnya tetap ceria, diselingi ide-idenya yang kadang bisa saja tidak dipikirkan lawan diskusinya. Sosok yang lekat juga dengan profesi sebagai peneliti dan penulis ini, punya kapasitas yang mumpuni dalam merancang dan mengimplementasikan program di bidang partisipasi politik, kebijakan pemerintahan, gender, hukum, hingga kebebasan beragama. Dengan kapasitas tersebut, uni Sandra sebelumnya juga pernah menjadi konsultan pembangunan internasional seperti di Timor Leste dan Amerika Serikat.

Nasionalisme “Bagimu Negeri”

Sepanjang interaksi saya dengan TAF Indonesia, selalu ada dua lagu yang dinyanyikan dalam kegiatan skala nasional yang difasilitasi lembaga ini. Dua lagu itu yaitu lagu “Indonesia Raya” dan lagu “Bagimu Negeri”. Lewat dua lagu tersebut, Uni Sandra senantiasa mengajak orang lain untuk tak berhenti mencintai negeri ini.

“Mengapa kita juga menyanyikan lagu “Bagimu Negeri”, karena kita ingin mengingatkan diri kita sendiri dan juga menyampaikan ke publik bahwa apa yang kita kerjakan selama ini, tujuan akhirnya adalah pengabdian kita pada negeri ini. Karena itu, saya selalu terharu dengan menyanyikan lagu ini, bahwa bangsa yang besar ini membutuhkan komitmen kita untuk berbakti kepadanya”.

Begitu kira-kira ungkapan yang sering saya dengar, bagaimana ia menumbuhkan optimisme tanpa jeda. Uni Sandra sepertinya ingin menegaskan bahwa program apapun namanya, apakah politik, Pemilu, demokrasi, tata kelola sumber daya alam, anggaran dan pelayanan publik, kesetaraan dan keberagaman, semangatnya mesti pada target yang lebih besar. Kecintaan pada negeri harus ada didalamnya, mutlak harus dihadirkan ke dalam kerja-kerja semua program. Kerja-kerja NGO yang jangan pernah terjebak pada target program yang sifatnya jangka pendek tanpa berorientasi dengan kepentingan memperbaiki negeri ini.

Karena Pengertian Sandra

Seorang Mawardi Ismail, yang dikenal sebagai pakar hukum senior dari Univ. Syiah Kuala memiliki kenangan tersendiri tentang Sandra Hamid dan TAF Indonesia, Menurutnya, saat terpilih sebelum tsunami dan kemudian dilantik sebagai Dekan Fakultas Univ. Syiah Kuala (Unsyiah, sekarang disingkat USK) pasca tsunami, bukanlah sesuatu yang menggembirakan. Seabrek masalah langsung terbayang, mulai dari krisis sumber daya manusia (SDM) yang hilang/meninggal karena bencana, dampak ikutan pasca bencana hingga instrumen belajar mengajar di kampus yang nyaris nol. Dalam suasana seperti itu, selaku dekan terpilih, program harus segera dirancang. Bagi Pak Mawardi “ begitu panggilana akrabnya - salah satu aspek yang paling penting diantaranya adalah penyiapan dosen dan pelengkapan istrumen belajar mengajar yang tidak lagi boleh ditunda.

“Alhamdulillah sebelum dilantik, sambil sarapan dalam rangka suatu acara di Medan, saya bersama Dr. Rizal Sukma (mantan Dubes RI untuk Kerajaan Inggris), Pak Hadi Soesastro (alm) dan beberapa teman lain, membincangkan kesulitan yang bakal saya hadapi pasca dilantik jadi Dekan Fakultas Hukum Unsyiah saat itu. Perbincangan ini menarik perhatian Sandra Hamid yang saat itu sebagai Direktur Program Aceh, TAF Indonesia”.

Pak Mawardi berpikir jika itu hanya sekedar menarik perhatian tanpa ada dukungan nyata dari Sandra Hamid. Dugaan itu tidak tepat sama sekali.

“Ternyata, esok paginya, sambil sarapan ia menyampaikan keprihatinannya dengan masalah yang bakal saya hadapi. Sandra kemudian langsung mengatakan kakaknya, Linda Hamid (Direktur Pasifik Sheraton Indonesia) punya sedikit dana yang bisa disumbangkan dan minta saya untuk segera membuat permohonan tertulis setelah dilantik nantinya”.

Dengan gembira tentu saja permintaan itu saya penuhi. Pak Mawardi menyampaikan terima kasih atas kepedulian itu dan menyanggupinya untuk segera menyiapkan permohonan tertulis.

“Bayangkan, itulah surat pertama yang saya tandatangani sebagai Dekan Fakultas Hukum Unsyiah saat itu. Ya, surat permohonan bantuan komputer untuk para dosen yang terdampak tsunami. Alhamdulillah, atas keprihatinan dan kepedulian Sandra dan kebaikan kakaknya, Linda Hamid itu (ditambah dengan sejumlah buku teks sumbangan berbagai pihak), sejumlah dosen yang terdampak tsunami di Fakultas Hukum akhirnya bisa kembali ke kampus, memulai proses belajar mengajar”.

Persoalan bukan berarti segera tuntas, ketika masalah kebutuhan sarana pendukung seperti komputer dan buku terpenuhi. Pak Mawardi kembali berkisah jika persoalan lain muncul, dimana semangat untuk bekerja masih belum pulih. Di sini lagi-lagi hubungan dengan Sandra Hamid dan TAF Indonesia jadi solusinya. Fakultas Hukum Unsyiah saaat itu ditawari program peningkatan kapasitas dosen dan minta dibuatkan proposalnya. Proposal kemudian diajukan oleh Pak Mawardi yang kemudian Sandra Hamid pun terkejut. Mengapa tidak terkejut, karena kegiatan itu malah diajukan akan dilaksanakan di Jakarta, bukan di Aceh!

“Pak Mawardi, ini kan tidak masuk akal, kenapa harus di Jakarta, kan lebih efisien kalau di Banda Aceh, tolong direvisi proposalnya, biar segera kita setujui”.

Begitulah respon uni Sandra saat itu. Mendengar tanggapan demikian, Pak Mawardi diam sejenak dan kemudian memberikan penjelasan yang layak dipertimbangkan.

“Sandra, saya ingin menjadikan kegiatan ini tidak hanya untuk sekedar peningkatan kapasitas dosen, tetapi ada yang tidak kurang pentingnya adalah untuk pengembalian dan peningkatan semangat kerja bagi mereka yang terdampak tsunami. Dosen-dosen yang kena musibah itu perlu dilihat juga psikologisnya. Jadi menurut saya, kegiatan ini harus ada unsur rekreatifnya, memulihkan dan memberikan semangat baru juga. Jadi, pelaksanaan di tempat yang lebih nyaman seperti di Jakarta adalah jawabannya”.

Tidak lama kemudian, respons mengejutkan dari Sandra Hamid pun muncul, di luar dugaan Pak Mawardi. Sebab, saat itu dirinya yang mengusulkannya jadi was-was juga, apakah akan diterima atau tidak jika acara tersebut lokasinya di Jakarta.

“Kalo itu alasannya, kita setuju”, jawab Sandra Hamid secara singkat!

Kegiatan itu berlangsung dengan baik, para dosen yang menjadi peserta mengikutinya dengan penuh gairah dan semangat. Mereka benar-benar belajar sambil refreshing dengan suasana yang lebih santai yang sebelumnya penuh trauma, berjibaku dengan bencana di Aceh.

Nah, saat saya meminta kesediaan Pak Mawardi memberikan testimoni untuk tulisan ini, ia langsung memberikan respon. “insyaAllah, deadline kapan?”. Nah, ternyata dua cerita di atas dibalik banyak dukungan lainnya kepada Pak Mawardi dan fakultas, menjadi kenangan tersendiri hingga sekarang. Saat sang pakar hukum ini sudah memasuki masa pensiun sebagai dosen, sosok Sandra Hamid baginya adalah sahabat yang peduli, memberikan perhatian, dan dukungan sepenuh hati.

“Dari dua cerita kecil di atas, terlihat betapa hal itu terjadi tidak bisa lepas dari adanya pengertian yang mendalam dari seorang Sandra dengan lembaganya, TAF Indonesia. Terimakasih Sandra, selamat atas kesuksesan mengelola TAF Indonesia, dan mudah-mudahan akan diikuti oleh kesuksesan dalam misi baru nantinya”.

Semua Orang Diperlakukan Setara

Sahabat lainnya ada seorang Amrina Habibi. Perempuan yang fokus pada isu perempuan dan anak di Aceh ini juga mulai mengenal Sandra Hamid pasca tsunami. Saat dimintakan kesediaanya memberikan testimoni untuk tulisan ini, langsung disambutnya dengan cepat.

“Saya banyak sekali belajar dari beliau. Sangat menghargai kearifan lokal, bersikap selalu setara dalam memperlakukan orang lain. Bahkan ia dapat disebut sosok yang jauh dari konflik dan sangat humanis”.

Perlakuan setara dan membimbing orang lain dengan tulus dinikmati betul oleh Amrina - begitu panggilan kesehariannya - yang saat itu belum jadi PNS. Kala itu, masih sebagai Program Officer di Putroe Kandee untuk program penguatan kapasitas hakim di Mahkamah Syariah dan KUA yang didukung oleh TAF Indonesia.

“Bayangkan, mba Sandra asistensi saya dari nol, kendati tak begitu dekat saat itu, tapi saya mengangumi beliau. Mba Sandra punya leadership, mampu mendengarkan dan memberikan peluang serta kesempatan besar kepada orang muda, bahkan bagi yang tak ada pengalaman sekali pun, macam Amrina ini, tetap didukung dan diberikan kesempatan”.

Kerjasama yang tak sebatas proposal ini memberikan pembelajaran penting baginya, hingga saat ini. menurutnya, hikmah kerjasama dengan TAF, dengan uni Sandra, termasuk dengan timnnya, mba Lies Marcoes, dapat saya rasakan sampai sekarang ini.

“Tak pernah Amrina melihat mba Sandra marah, tetapi beliau sangat serius jika ada hal yang tidak menghargai orang lain, ada yang memperlakukan orang lain tidak setara. Ia benar-benar konsisten pada isu ini, punya kepedulian dan kesetaraan”.

Bagi Amrina, konsistensi seorang Sandra Hamid dalam memperlakukan orang lain itu menarik dan harus menjadi inspirasi.

“Dulu Amrina banyak interaksi dengan beliau saat masih di NGO. Tapi setelah saya menjadi PNS dan menjadi bagian Dinas Pemberdayaaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Aceh, sambutan hangat dari beliau tak pernah luntur. Saat bertemu di sejumlah agenda nasional, kaget Amrina, malah beliau tiba-tiba datang duluan dan menyampa. Bayangkan, beliau masih menanyakan kabar dengan sangat ramah”.

Menutup pembicaraan, Amrina menyebutkan penutup testimoninya dengan singkat.

“Abdul juga lupa, mba Sandra itu tokoh besar yang banyak hal bisa diteladani dari beliau. Tak pernah mengecilkan yang di bawah, staf-staf atau orang-orang dengan posisi lebih rendah, tetap ia perlakukan setara dengan siapa pun. Itu kesan mendalam bagi Amrina”.

Konflik dan Agenda Perdamaian

Sisi lain seorang Sandra Hamid dapat dilihat dari pengalaman Bapak Saifuddin Bantasyam, akademisi dari Fakultas Hukum Unsyiah (sekarang disebut USK), yang juga getol menyuarakan pembangunan demokrasi dan damai di Aceh. Saat saya meminta kesediaannya memberikan catatan singkat atas interaksinya dengan uni Sandra, langsung direspon saat itu juga.

“Oke Abdul, kapan diperlukan. Terima kasih juga sudah meminta saya untuk menulis mengingat jasa TAF Indonesia kepada saya dan lembaga saya sangat banyak”, tulisnya via Whatsapp.

Penuturan Pak Saifuddin menandakan sosok Sandra Hamid bersama TAF Indonesia yang juga ikut memberikan kontribusinya dalam isu penguatan demokrasi dan memperkuat damai di Aceh.

“Saya mulai mengenal Ibu Sandra ketika TAF Indonesia memberikan perhatian terhadap penyelesain konflik bersenjata di Aceh secara damai dan kemudian melalui dukungan TAF juga pada agenda penguatan perdamaian yang sudah dicapai melalui penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara GAM dan Pemerintah RI pada 15 Agustus 2005 di Helsinky, Finlandia. Pada Agustus 2008, Ibu Sandra juga memberikan kesempatan yang sangat besar kepada saya untuk menjadi narasumber dalam suatu kegiatan TAF di Washington, AS. Dalam forum itu, saya menjadi narasumber bersama dua narasumber lain yang berasal dari Sri Lanka dan Nepal. Saat itu, saya bicara tentang peran masyarakat sipil dalam proses perdamaian konflik Aceh. Bahkan, pada tahap berikutnya yang lebih strategis adalah saat TAF memberikan dukungan kepada Pusat Studi Perdamaian dan Resolusi Konflik, Univ. Syiah Kuala, saya diberi kepercayaan menjadi Direktur Eksekutif mulai 2012-2016”.

Mulai dari memberikan kesempatan hingga dukungan finansial adalah bentuk perhatian nyata Sandra Hamid untuk Aceh. Pak Saifuddin menilai jika Sandra Hamid mempunyai atensi khusus dalam isu demokrasi dan damai di Aceh.

“Program dan aktivitas kami di Pusat Studi mendapat dukungan finansial dari the World Bank melalui TAF Indonesia. Dari TAF kemudian kami belajar bagaimana mengelola lembaga secara profesional dan akuntabel. Dukungan yang kami terima hampir selama empat tahun. Bagian lain dukungan kepada kami adalah saat TAF Indonesia mendonasikan ratusan buku dengan berbagai topik yang sangat mendukung aktivitas Pusat Studi dan juga berguna bagi siapa pun yang datang ke Pusat Studi dan membaca buku-buku tersebut baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris”.

Pak Saifuddin menyimpulkan jika keseluruhan dukungan yang diterimanya bersama lembaga tersebut tidak terlepas dari atensi Sandra Hamid dan TAF Indonesia yang demikian besar pada penguatan perdamaian dan demokrasi di Aceh.

Mengawal Demokrasi dan Pemilu

“Bagi saya, mba Sandra adalah orang yang mempengaruhi perjalanan hidup karir saya, selain keluarga utama. Beliau perempuan hebat, mengenalnya sejak tahun 2004 melalui Program Pemantauan Pemilu untuk Pemilihan Legislatif dan Presiden. Dilanjutkan pada masa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Aceh tahun 2006 bersama Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR). Jangan lupa, beliau juga berperan lahirnya JPPR tahun 1998 era reformasi yang merupakan gerakan alternatif masyarakat untuk pemantauan Pemilu tahun 1999”.

Marini, Komisoner Panwaslih Provinsi Aceh, dalam lanjutan testimoninya itu merasa dirinya saat itu belum siap didapuk menjadi Koordinator Provinsi JPPR sekaligus juru bicara (Jubir) untuk wilayah Aceh. Ia merasa jauh sekali dengan para senior lainnya yang sudah lebih dahulu terjun diisu tersebut.

“Dengan sikap bijak dan penuh semangat, mba Sandra memberikan pendampingan kepada saya. Bahkan juga kepada kepada Asa (anak lelaki semata wayangnya) dengan memberikan pemahaman isu yang sama sehingga saat itu Asa masuk sebagai Pemantau Pemilu termuda melalui JPPR. Dukungan mba Sandra itu totalitas kepada saya, hingga beliau tak segan untuk memberikan referensinya untuk saya ketika hendak bekerja di salah satu project dengan dukungan pihak luar”.

Menurutnya, dukungan Sandra Hamid dan TAF Indonesia kepadanya sangat besar hingga ia menguasai isu kepemiluan, politik, gender. dan demokrasi seperti saat ini. Berbagai bahan bacaaan, segala macam pelatihan yang diberikan kepadanya telah meningkatkan rasa percaya diri dan kapasitasnya hingga menjadi bagian dari Panwaslih Aceh saat ini.

“Sungguh, saya sangat berterima kasih kepada mba mba Sandra dan TAF Indonesia. Saya berpikir saat itu, selesai program tersebut dan tidak akan bertemu lagi. Ternyata, dalam beberapa pekerjaan program, saya bertemu kembali dengan TAF seperti melalui Program Peduli. Dan mba Sandra tidak pernah berubah. Ia selalu ceria, menyapa penuh semangat. Banyak pegetahuan bila bertemu dengannya, sebab setiap berdiskusi pasti saya mendapat ilmu baru”.

Marini menyampaikan terima kasih atas dedikasi seorang Sandra Hamid kepada seluruh kawan-kawan JPPR, juga terima kasih yang sudah menjadi pemimpin TAF Indonesia dengan sangat baik. “Semoga Allah SWT selalu memberikan kesehatan, kebahagian dan kesuksesan di ladang pengabdian yang baru bagi mba Sandra”, sebuah doa dan harapan Marini menutup testimoninya.

Bapak Itu Tidak Ada Lucunya

Bagaimana dengan perjumpaan saya sendiri dengan uni Sandra? Kalau saya tidak keliru, berjumpa pertama sekali pada tahun 2006, yang masa itu adalah periode awal saya berjibaku dengan dunia NGO di Aceh. Interaksi ini semakin kuat baru dimulai sejak tahun 2008, saat mengelola dukungan TAF Indonesia untuk mendorong penguatan partisipasi perempuan dan kelompok rentan lainnya yang selama ini terpinggirkan dalam agenda pembangunan dengan mendorong anggaran yang respondisg gender (gender budget) sebagai salah satu pendekatannya.

Dari sinilah, kemudian saya memperoleh banyak kesempatan untuk belajar dari TAF baik yang diselenggarakan langsung oleh TAF atau mitra CSO yang didukung oleh TAF. Itulah yang menjadi passion saya hingga saat ini, saya belajar banyak tentang gender budget, yang di Indonesia sendiri, TAF merupakan salah satu pelopornya sejak tahun awal tahun 2001. Jauh sebelum Pemerintah marak melakukan pelatihan gender budget, seperti halnya dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir.

Ada cerita menarik juga ketika TAF menghubungkan saya dengan sebuah lembaga bernama Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW). Mengapa PPSW menjadi spesial saya sebutkan di sini? Ya, TAF yang mendukung kerja-kerja PPSW di Aceh saat itu memberitahukan kalau ada kawan di Aceh yang bisa diajak berkolaborasi. Kawan itu adalah saya (dan Arman Fauzi, yang sekarang menjadi Komisioner Komisi Informasi Aceh).

Dengan kemampuan yang masih jauh dari standar, saya keliling ke wilayah kerja dampingan PPSW di Aceh. Persis, sekitar tahun 2008-2009, saya berbagi wilayah dengan Arman. Namun, ada saatnya kami tandem ketika pelatihan dari lintas kabupaten itu dipertemukan semuanya sehingga pesertanya yang lebih banyak. Saat itulah hal unik terjadi dan sampai sekarang kalau ketemu dengan uni Sandra, pasti kisah ini sukar dilupakan.

“Bapak itu tak ada lucunya” sebut seorang peserta dari temu komunitas perempuan tersebut. Uni Sandra yang ikut hadir menyaksikan proses belajar itu pun tertawa. Peserta yang semuanya ibu-ibu dari sejumlah gampong (desa “ red) merupakan tokoh-tokoh perempuan di gampong masing-masing. Pernyataan tanpa tedeng aling-aling itu sebenarnya menggabarkan ciri khas saya saat itu yang memfasilitasi dengan sangat fokus pada materi. Saya seperti lupa kalau karakter fasilitator yang harus juga lebih rileks dan diselingi dengan canda atau guyonan, menjadi kunci penting pula dalam proses belajar. Satu hal yang jelas, saat itu hal demikian bukan karakter saya banget!

Kisah tersebut masih terniang-niang hingga saat ini. Sebab itu pula, setiap bersua dengan uni Sandra, cerita ini sering menjadi bumbu diskusi. Konon lagi jika sedang menikmati segelas kopi di Jasa Ayah Ulee Kareng, tempat favoritnya Uni Sandra bila ke Aceh, kisah bersama ibu-ibu PPSW (begitu uni Sandra sering menyebutnya) tak luput dari cerita. Tetapi, di balik peristiwa itu, saya belajar banyak sekali, hingga bisa seperti saat ini.

Bagi saya, uni Sandra senantiasa mendorong setiap orang untuk meningkatkan kapasitasnya. Menurutnya, kapasitas itu penting, tapi jangan pernah lupa jika yang lebih penting adalah benar-benar menginternalisasi nilai-nilai keadilan, kesetaraan dan penghormatan dengan orang yang berbeda, itu dalam diri dan kehidupan. Di sela itu pula, kadang ia menyelipkan pertanyaan “berapa orang sudah kadermu, Abdul” yang dilontarkan sebagai bentuk alarm mesti ada yang harus dipersiapkan untuk regenerasi.

Post-it dan Kepedulian

Memasuki awal Oktober 2022, saya mengetahui bila uni Sandra akan segera purnatugas. Lama tertegun dan kemudian mengirimkan pesan via Whatsapp ke uni Sandra. Jawabnya singkat saja: “kenapa, jangan sedih dong”. Saya menceritakan panjanganya proses dan kesempatan yang telah dilalui dengan dukungan TAF Indonesia. Ia kembali merespon jika saya sekarang ini adalah proses dibalik mau belajar, ulet dan terbuka. “Aku cuma beruntung dapat kesempatan di awal-awal kiprahnya Abdullah”, balasnya singkat.

Ya, uni Sandra yang peduli dan kaya aparesiasi itu sering sekali saya dengar juga dari anakTAF - sebutan khas bagi mereka yang bekerja di TAF Indonesia. Bahkan, ketika saya diberikan kesempatan dan kepercayaan untuk membantu pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) di sejumlah program TAF Indonesia sejak Agustus 2016 hingga saat ini, kepedulian dan apresiasi itu tak pernah lekang. “Hallo Abdul, senang sekali ada jagoan gender trainier dari Aceh”. Ia menuliskan satu kalimat singkat itu pada post-it warna kuning yang dimasukkan ke dalam berkas kontrak saya saat itu. Saya seperti mahasiswa semester satu yang menerima surat cinta pertama dari kekasihnya, senang sekali.

Saat dua kali pertemuan jelang paripurna ini, baik di Jakarta maupun di Jogjakarta, saya menemuinya secara pribadi. Saya ucapkan terima kasih atas kepedulian yang tinggi. Sama seperti dalam kegiatan Forestival pada akhir Oktober 2019, kali pertama saya terbang ke Jakarta pasca kecelakaan pada Juli tahun yang sama. Saat itu. tiba-tiba muncul uni Sandra di depan saya, sambil memegang bahu kiri saya, menanyakan kabar dan proses pemulihan. “Abdul, kamu apa kabar? Datangnya dengan siapa, yang angkat barang-barangnya bagaimana, nanti pulang sama siapa lagi”. Deretan pertanyaan itu masih teringat sampai sekarang. Kepedulian yang sama saat itu juga ditunjukkan dengan tulus oleh sahabat-sahabat di lembaga ini ketika kecelakaan itu terjadi, termasuk dukungan materi!

Karena itu, benar sekali jika Syarifah Rahmatillah (kak Ipah) kemudian menyebutnya “TAF Indonesia itu layaknya keluarga kita sendiri”, saat saya mintakan testimoni untuk tulisan ini. Bagi saya pribadi, di TAF Indonesia “ ada banyak sekali nama yang tidak bisa disebut satu per satu di sini - yang selama ini sudah menjadi layaknya kakak, guru, dan sahabat yang asik untuk belajar, bekerja, dan bercerita. Bukan hanya selama masih bekerja di TAF, sudah tidak lagi di lembaga ini pun, sikap peduli dan persahabatan itu tetap terus berlangsung.

Sepertinya, kepedulian itu menjadi poin kunci dalam kepemimpinan seorang uni Sandra. Ia sepertinya sudah menggerakkan raga, jiwa, dan hati semua orang di TAF untuk saling peduli, berempati, dan memperlakukan orang lain dengan setara. Beda suku, beda agama, beda pilihan politik, beda posisi dan status dalam lembaga, dan perbedaan lainnya tetap dihargai secara adil dan setara, sekaligus dirayakan bersama di TAF Indonesia.

Selamat Memimpin, ibu Hana

Setelah Sandra Hamid paripurna tugasnya, kepemimpinan dilanjutkan oleh Hana Satriyo. Ibu Hana, begitu kerap disapa, resmi menjadi Country Representative TAF Indonesia pada awal tahun 2023 ini. Tapi jangan lupa, Ibu Hana bukan orang baru di TAF Indonesia. Ia juga sosok yang identik dengan TAF Indonesia dengan sejumlah posisi penting sebelumnya. Lebih dari dua puluh tahun sudah bersama lembaga ini.

Hana Satriyo bergabung dengan lembaga ini - jika saya tidak keliru - pada tahun 1998 sebagai Program Officer, sebelum menjabat sebagai Direktur Program Partisipasi Gender dan Perempuan serta Tata Kelola Lingkungan, hingga Deputi Country Representative TAF Indonesia. Dengan pengalaman tersebut, peraih gelar master dari SOAS University of London dan memperoleh doktor kehormatan dari University of Portsmouth ini, tentu memiliki kapasitas dan pengalaman yang sangat mumpuni juga. Wajar sekali ketika Pak Saifuddin saya kabari jika ibu Hana yang menggantikan uni Sandra, langsung dijawabnya; cocok!

Bagi Aceh sendiri, ibu Hana juga memiliki kedekatan emosional tersendiri. Bukan hanya karena pasangan hidupnya, Dr. Rizal Sukma (mantan Dubes RI Untuk Kerajaan Inggris) yang berasal dari Aceh, melainkan kerja-kerjanya selama ini untuk Aceh juga tidak sedikit. Sejumlah program terkait dengan peningkatan kapasitas perempuan dan kesetaraan gender, termasuk soal partisipasi perempuan dalam politik dan Pemilu pernah menjadi area pengabdiannya untuk Aceh. Karena itu, jika ketemu ibu Hana, selain diskusi soal gender budget “ selalu ada pertanyaan tentang Aceh. “Apa kabar Aceh, Abdul? Kawan-kawan kita di sana gimana sekarang? Kakak saya di Aceh apa kabar juga? Itu ciri khasnya ibu Hana.

Menutup tulisan ini, satu harapan dari sahabat di Aceh purnatugasnya seorang uni Sandra hanya soal status saja. Berharap totalitas kepedulian dan kesetaraan untuk Indonesia, khususnya untuk Aceh, semoga senantiasa akan terus hidup. Terus dihidupkan oleh uni Sandra di mana pun posisi pengabdian selanjutnya, melihat Aceh dengan cinta.

Kepada ibu Hana, selamat memimpin dan mengemban amanah sebagai Country Representative TAF Indonesia yang baru. Saya percaya, banyak sekali sahabatnya TAF Indonesia dari Aceh hingga Papua, akan tetap dan terus memberikan dukungan penuh kepada ibu Hana. Sama halnya dukungan penuh yang pernah diberikan kepada seorang Sandra Hamid sebelumnya. Sekali lagi, selamat dan semangat untuk ibu Hana, memimpin TAF Indonesia yang terus berkiprah dan berkontribusi untuk perbaikan negeri ini.****


Keyword:


Editor :
Akhyar

riset-JSI
Komentar Anda