Beranda / Kolom / Fashion Bagi Orang Aceh

Fashion Bagi Orang Aceh

Minggu, 08 Januari 2023 10:30 WIB

Font: Ukuran: - +


Oleh: Otto Syamsuddin Ishak

Ada satu hal yang tidak ada di dalam memori aktivis luar Aceh. Ketika konflik Aceh, ada persoalan tentang efiensi pengeluaran dana.

Suatu kala, seorang kawan aktivis di Jakarta, mengeluhkan pelayanan terhadap seorang tokoh Aceh yang diundang sebagai nara sumber. Fasilitas yang harus disediakan, sebuah kamar di hotel tempat acara dilangsungkan.

Tokoh itu tidak menginap semalaman, tapi hanya sebagai tempat singgah untuk mengganti pakaian- dari kasual ke jas, setelah istirahat sejenak dan membersihkan badannya.

Aktivis lain, senang melihat gaya seseorang. Katanya, tokoh Aceh suka memakai cincin akik yang diikat dengan emas bercampur tembaga. Tokoh itu, sering menggosok-gosok batu akik itu ke baju atau celananya, tentu setelah dia uapkan (ditiupkan) dengan mulutnya.

Ada aktivis yang memperhatikan jari tangan hingga kuku. Jari tangannya mereka, katanya, halus, dan salah satu dari kukunya (jempol atau kelingking) dipanjangkan, dan sering dijentik-jentikkan hinggga berbunyi (untuk membersihkan). Apa gaya elite Aceh, memang begitu ya? Saya tentu tidak tahu.

Lalu, pikiran saya melayang ke tahun 70-an. Manakala Sabang masih menjadi pelabuhan bebas, sehingga orang Aceh bisa menikmati barang-barang impor, diantaranya celana jeans Levis, Lea dan Lee, serta kaos merek buaya. Karena itu, para pemuda Aceh, dikenal dengan istilah steady (kata yang diadopsi dari bahasa asing).

Pemuda pada masa itu, baik di kota, bahkan sampai mahasiswa Aceh di Yogya, bila telah sore mengenakan celana jeans dan berkaos merah. Kalau di masa Kesultanan, warna favorit orang Aceh pada abad 17, merujuk pada Lombard, adalah warna merah lembayung. Mereka sudah stedi di gerbang asrama.

Lalu, di masa konflik, saya masuk ke pelosok Aceh Utara, di pinggir hutan. Ada peristiwa tidak manusiawi (penangkapan, kekerasan, penyiksaan dan pembunuhan). Serdadu datang dengan truk reo, membariskan semua warga yang berada di warung kopi.

Mereka memeriksa telapak tangan warga bila ada yang mengeras dan kasar, maka disimpulkan pernah latihan senjata. Padahal kulit mereka mengeras karena pegang cangkul, parang, kampak, gergaji kayu dan menarik tali, karena mereka petani, penebang kayu dan penarik rotan.

Bilamana warga itu memakai celana jeans, sepatu (Nike atau Adidas) dan baju kaos, maka serdadu menganggapnya mereka pelarian Aceh yang pulang dari Malaysia. Apalagi bila di dalam dompetnya ada selipan uang ringgit, maka dipastikan sebagai orang GAM.

Fenomena tersebut untuk mengontraskan gaya hidup antar strata social di dalam masyarakat Aceh. Kawan itu pun berkata: sangat kontras!

Lalu, buat apa mereka memelihara kuku? Saya pun merespon dengan olok-olok. Dahulu kan belum ada tusuk gigi dan pembersih telinga (kalau ada dari bulu ayam yang dipakai oleh pencukur rambut di dalam melayani pelanggannya).

Jadi, kuku itu untuk membersihkan sisa-sisa makanan yang menempel pada gigi, juga untuk mencongkel tahi hidung dan telinganya.

Kawan pun berseru: Duh! Saya tak bisa membayangkan bagaimana mereka membersihkan dirinya setelah buang airbesar! Bagaimana kalau kotoran itu selip di bawah kuku-kuku yang memanjang dan melengkung itu.

Rupanya, Lombard juga memperhatikan bagaimana orang Aceh strata atas (elite) suka mendemonstrasikan perbedaannya dengan mereka yang berada pada strata bawah, utamanya dalam hal makanan dan pakaian.

Lombard mengutip cerita Fr. Martin, yang terkait hal kuku: “orang kaya itu bisa dibedakan dari rakyat biasa karena mereka membiarkan kuku ibu jari dan kuku kelingking tumbuh Panjang, tanda mereka tidak bekerja dengan tangan.” Dalam dunia pewayangan (Jawa), tokoh yang memanjangkan kuku (jempol) adalah Bima.

Di Aceh, gaya hidup yang kontras antar strata social juga mudah terlibat di bandara. Bila sebuah mobil berhenti, maka turun seseorang yang necis, di sambut oleh orang berseragam untuk mengambil tas, lalu menuruskan tiketnya.

Bahkan orang necis dan wangi itu diiringi hingga ke dalam pesawat (itu pertanda pejabat). Demikian pula ketika pesawat dating, sudah berhenti para laki-laki dan perempuan berseragam masuk ke dalam pesawat untuk menjemput tuannya. Lalu, menghantar ke mobil yang di parkir sepanjang kaki lima bandara.

Pada abad 16, Lombard, dengan merujuk pada catatan Dampier, mengatakan bahwa membawa beras sendiri, walau berjarak 100 langkah ke rumahnya “kalau sekarang tas, dompet atau handphone sendiri--- “mereka merasa dinodai” atau jatuh harga dirinya.

Kalau sekarang, mungkin, seorang tokoh yang membawa sendiri naskah pidatonya, adalah menjatuhkan wibawanya sehingga dibutuhkan seorang ajudan untuk membawa dan menyerahkannya ke podium (biar dlihat oleh hadirin).

Suasana demikian, adalah bentuk halus dari suasana di terminal bus atau L-300. Pada saat penumpang masuk gerbang terminal, maka sejumlah pekerja angkut berebut menyongsong. Mereka mengambil barang dan menanyakan: apakah sudah ada tiket? Naik kenderaan yang mana? Tetapi, mereka tidak senecis para ajudan strata atas.

Sementara, para penumpang lain berebut dan berdesakan dengan para pekerja angkut untuk mengambil bagasinya. Suasana bandara menjadi hiruk pikuk seperi di pasar ikan manakala perahu dan kapal nelayan bersandar di dermaga (TPI).

Rupa-rupanya begitulah, penggunaan fashion untuk membedakan strata sosial, baik secara vertical maupun horizontal (antar kelompok profesi) di dalam masyarakat Aceh, sudah sangat tua!*

*Penulis adalah sosiolog dan alumni Lemhannas, PPSA-XX.


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda