Beranda / Kolom / Fenomena Macron

Fenomena Macron

Rabu, 04 November 2020 10:00 WIB

Font: Ukuran: - +


Oleh: Otto Syamsuddin Ishak

George Ritzer, konon sosiolog yang tak bergelar akademik di bidang sosiologi. Tetapi, ia mengajar sosiologi. Namun, bila kita ingin menjadi sosiolog, membaca karya-karya Ritzer adalah menjadi satu perjalanan yang utama di bangku akademik.   

Ritzer menata dunia sosiologi dengan karyanya, Sosiology: A Multiple Paradigm Science (1975a). Dalam lain kata, bila kita ingin mengetahui anatomi sosiologi, ingin memiliki perspektif sosiologis yang terstruktur dengan baik, maka bacalah karyanya itu.

Bila Marx memberi tahu pada setiap orang bahwa keberadaan individu di dunia ini, adalah bak berada di dalam situasi yang terasingkan (alienasi). Lalu Weber berkata, anda hidup di dalam dunia yang modern adalah bak berada di dalam sangkar besi (iron cage). Maka Ritzer mengatakan hidup di era globalisasi, bak berada di ruang hampa (kosong).

Sekilas Ritzer terkesan kontradiksi dengan keyakinan umum sosiolog ketika ia mengurai anatomi globalisasi. Bagi sosiolog umumnya bahwa segala sesuatu terjadi di dalam sebuah konteks atau setting social yang hiruk-pikuk.

Tapi, bagi Ritzer yang menganut globalisasi melahirkan homogenisasi budaya dalam artian ketika yang global berafinitas dengan yang lokal, maka yang global mengirim yang kosong ke lokal.

Mall yang dikirim dari Perancis ke Jakarta, katakanlah Carrefour, adalah sebuah toko kelontong yang super besar, tapi juga sebuah tempat yang kosong, yang memberikan tempat bagi produk-produk lokal.

Kartu VISA yang dikeluarkan dari Foster City, California, Amerika Serikat ke Jakarta difungsikan dengan cara yang sama di seluruh dunia. Telemarketer bereaksi dengan cara yang seragam pada setiap pelanggan. Orang tak perlu untuk berkerabat dengan kasir bila hendak menarik tabungan di bank, tapi cukup bersentuhan dengan ATM.

Nampaknya, konstruksi globalisasi kosong Ritzer telah merasuk ke dalam benak Emmanuel Jean-Michel Frédéric Macron, seorang politikus, dan sekaligus Presiden Prancis. Macron menganggap kartun (juga tempat memajangnya)-termasuk kartun Charlie Hebdo, yang merupakan media mingguan satir Prancis- adalah ruang kosong untuk berekspresi, yang dilindungi secara universal oleh hak kebebasan berekspresi, yang mana negara bersikap netral. Kata Macron: “Laïcité berarti kenetralan Negara; sama sekali tidak berarti penghapusan agama dari masyarakat dan arena publik.”

Islam adalah agama yang saat ini sedang mengalami krisis di seluruh dunia. Kami tidak hanya melihatnya di negara kami, ini adalah krisis mendalam yang terkait dengan ketegangan antara bentuk-bentuk fundamentalisme, khususnya proyek-proyek keagamaan dan politik yang, seperti yang kami lihat di setiap wilayah di dunia.

Mengarah pada pengerasan yang sangat kuat, termasuk di negara-negara dimana Islam menjadi agama mayoritas, dengan berapi-api Macron berpidato di hadapan pejabat dan khalayak di Les Mureaux. “Yang harus kita atasi adalah separatisme Islamis. Sebuah proyek sadar, berteori, politik-agama yang terwujud melalui penyimpangan berulang dari nilai-nilai Republik”.

Begitulah, kartun satir Charlie Hebdo tentang Rasul Islam adalah ruang kebebasan berekspesi, tapi Islam itu sarat nilai krisis (politik), (Islam) radikal yang dibangun berbasis pada jaringan narkoba dan separatisme Islam.

 Sejak akhir 2017, Macron mulai membangun di setiap departemen, apa yang ia sebut sebagai “sel-sel untuk memerangi Islamisme.” Macron menyerukan: “Kita harus memerangi Islamisme radikal, yang dicap sebagai sumber kebanggaan, dengan patriotisme Republik yang tidak tahu malu dan melangkah lebih jauh.”

Pikiran gobalisasi kosong Ritzer diartikan oleh Macron dengan sepenuh keyakinan akan laïcité [sekularisme], yang bertanggungjawab untuk “membentuk hati nurani sehingga anak-anak menjadi warga negara yang bebas dan rasional yang dapat memilih nasib mereka sendiri.” Strategi Macron, katanya bukan hendak membentuk versi “Islam Gallic” (abad 7) di Perancis, tetapi ‘menempa jenis "Pencerahan Islam di Prancis".’

Macron berbusa-busa berpidato tentang Islam, ya ia definisikan sesuai dengan pengetahuan, pengalaman dan kondisi kejiwaannya yang semakin menunjukkan Islampobia. Sebaliknya, ia kering dengan kata yang berkenaan kartun satir Charlie Hebdo tentang Rasul Islam.

Macron boleh saja menganut sekularisme, tapi tidaklah jernih bila menganakmaskan satu pihak. Bahkan Macron menjadi sekuleris yang tak bisa membedakan antara hak berekspresi dengan tindakan menghina symbol agama. Macron bersikap pokoknya: “Saya akan selalu membela hak berbicara, menulis, dan menggambar di negara saya."

Islam bukanlah semacam mall kosong yang bisa diisi persepsi individual Macron. Islam bukanlah kartu kredit yang lahir di Mekkah, dan diberlakukan sama di seluruh ruang geografis. Islam bukanlah semacam mesin ATM, yang melayani pengguna tanpa spiritualitas yang memuncak. Muslim juga bukan semacam Telemarketer yang bereaksi tanpa etika dan spirit.

Akhirnya dunia muslim meledak: boikot produk Perancis! Aksi protes massa digelar dimana-mana tempat yang semakin tak kosong akibat pertumbuhan populasi manusia yang terus berkelanjutan.

Kata Ritzer bahwa rasionalitas sering menggiring pada ketidakrasionalan --itulah fenomena Macron! Globalisasi pun menjadi cenderung tak membuahkan situasi damai.

Penulis adalah Ketua Pusat Riset Perdamaian dan Resolusi Konflik (PRPRK), Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda