Beranda / Kolom / Tenggelamnya Pojok Aceh

Tenggelamnya Pojok Aceh

Minggu, 28 April 2024 18:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Iqbal Ahmady

Iqbal Ahmady M Daud, Pecinta Buku dan Dosen FISIP Universitas Syiah Kuala. [Foto: Dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Gayahidup - Sore tadi seperti biasa (Sabtu, 28/4/2024), melakukan aktivitas rutin bulanan, sowan ke toko buku yang kebetulan pilihan kali ini jatuh ke Gramedia. Ritual pertama saat masuk lantai dua, pasti langsung ke pojok kiri atau kanan sebagai tempat paling favorit. Setelah kehilangan sudut kiri yang beberapa bulan lalu dipenuhi susunan buku-buku sosial politik dan humaniora, digantikan dengan buku-buku kategori lain. kini juga harus kehilangan sudut favorit satu lagi. 

Sudut pojok kanan yang biasanya berisi susunan karya penulis lokal (para maestro Aceh), bersalin rupa memajang buku Teka-Teki Silang. Saya merasa kehilangan teramat besar. Biasanya jadi mood booster bisa melihat tulisan-tulisan terbaru karangan para senior, kawan, atau adik tingkatan (beberapa yang menarik, langsung seret bungkus ke meja kasir). Tapi pojokan ruang itu tadi menyisakan semacam perasaan kehampaan. Ada semacam getir yang melingkupi perasaan, semacam ada satu yang kurang. 

Kemudian saat membayar beberapa buku pilihan, saya berusaha menanyakan perihal tersebut. Pegawai yang melayani pembayaran menjelaskan dengan ramah, jika ada sedikit perubahan suasana oleh manajeman Gramedia. Lantas saya menyambung tanya, apakah sifatnya sementara atau rak penulis lokal akan dipindah ke tempat lain. Tak kurang ramahnya, ia menjawab belum ada kepastian, sementara ini buku-buku dengan katagori tersebut masih disimpan di gudang. Tentu saja, hal sederhana yang dapat dipahami dalam dunia bisnis, produk yang kurang menguntungkan akan digantikan dengan yang lebih berpeluang menghasilkan cuan. 


Sebagai pembaca tradisional yang masih sangat nyaman mengkonsumsi bacaan melalui teks yang dicetak dengan tinta pada kertas, saya memahami perubahan cara menikmati literasi secara global. Orang-orang berbondong menikmati bacaan yang tersaji pada perangkat digital. Selain lebih praktis dan efisien, juga menjadi lebih "murah" dalam hal mengumpulkan koleksi bacaan. Pdf dan sejenisnya bertebaran di laman internet, apa saja yang ingin dibaca hanya memerlukan sekejap waktu dan ketikan jempol, kemudian bacaan langsung bisa tersaji. Berbeda dengan generasi tradisional yang harus mau bersusah payah ke toko, terpaksa mengambil pilihan memesan jika buku yang di idamkan tidak tersedia secara fisik. Bahkan memesan buku versi cetak di aplikasi belanja online juga terhalang waktu pengiriman hingga ke alamat.

Muncul dugaan-dugaan lainnya. Sirnanya Pojok Penulis Lokal Aceh--selain dari indeks minat baca nasional Indonesia sebagai salah satu yang terendah di dunia- ditambah dengan kenyataan pada tahun 2023, Aceh terlempar dari sepuluh besar peringkat indeks minat baca nasional setelah beberapa tahun sebelumnya selalu masuk Top 10. 

Bukannya berburuk sangka, keluhan-keluhan akademisi, stakeholder bidang pendidikan dan penggiat literasi yang menyuarakan kekhawatiran dari penurunan kualitas pendidikan dan pengetahuan generasi muda Aceh. Setiap awal tahun ajaran baru di kampus, saya secara rutin (mulai dari tahun 2017 hingga tahun kemarin) melakukan survei kecil-kecilan dengan menanyakan jumlah dan buku yang sedang dibaca. Jumlah mahasiswa/i baru yang menikmati literasi semakin menurut persentasenya. Jajak pendapat terakhir tahun 2023, dari sejumlah 300 an mereka yang mempunyai minat membaca hanya dibawah 10%. Dan jika melihat yang berada dalam kategori "regular" membaca, kita mendapat kenyataan lebih menyedihkan lagi. Untuk pembelajar dikampus sosial, buku (dan teks bacaan sejenisnya) termasuk salah satu alat utama penambah pengetahuan materi kuliah dan instrumen skill yang akan berguna di kehidupan pasca pendidikan.

Akan ada ratusan halaman jika kita mulai membahas manfaat membaca. Ritual membaca (mengutip pernyataan Karlina Supeli, seorang filsuf dan astronomer Indonesia) tidak bisa digantikan dengan mengkonsumsi media sosial apapun, membaca adalah proses berdialog dan berdiektika dengan pikiran sehingga menghasilkan kemampuan berpikir yang tajam serta kritis. Tahapan mengkonfrontasikan ide-ide di kepala lewat proses membaca akan melahirkan "kesadaran" akan kehidupan.

Kembali lagi, tiada lagi sudut penulis lokal ini memberi sedikit-banyak makna terkait kondisi keberlanjutannya diskusi pengetahuan, gerakan sosial, pergulatan ide-ide dan banyak hal lain. Padahal, menurut hemat saya, karya tulisan dari penulis Aceh sedang bergeliat naik secara kualitas dan kuantitas. Ada yang memperoleh penghargaan dan pengakuan di komunitas penulis nasional, beberapa nama lain juga rutin menghasilkan tulisan-tulisan bernas. Turut menularkan semangat bagi calon-calon penulis muda yang melihat ini era kebangkitan literasi Aceh.

Apapun itu, pemaknaan kata 'literasi' bukan hanya agenda tahunan sebar baliho/poster "selamat merayakan hari literasi." Menciptakan peradaban yang akrab dengan literasi (akankah?) semakin sulit di jaman informasi serba instan yang menyebabkan banyak distraksi bersifat konsumsi hiburan bukannya mencari pengetahuan. Serta era kemunculan kecerdasan buatan sehingga mematikan kecerdasan pikiran. 

Penulis: Iqbal Ahmady M Daud (Pecinta Buku dan Dosen FISIP Universitas Syiah Kuala)

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda