Beranda / Kolom / Moto Aceh

Moto Aceh

Senin, 09 Agustus 2021 11:00 WIB

Font: Ukuran: - +


Oleh: Otto Syamsuddin Ishak

Di hari-hari yang damai selama 16 tahun sudah kita nikmati, kita bisa membandingkan antara masa lalu (konflik) dan masa yang kita jalani sekarang (damai). Tiba- tiba, saya teringat rumor-rumor politik yang bergelantungan di langit Aceh.

Salah satu rumor itu, konon Hasan Di Tiro (1925) bertemu dengan Tgk Daud Beureueh (1899) sebelum deklarasi kemerdekaan Aceh untuk meminta doa restu. Hasan Di Tiro berkata: Abu, dulu (DI/TII) Abu telah menyopir mobil. Lalu mobil ketabrak dan hancur! Sekarang saya punya mobil baru, izinkan saya menyopir mobil ini (AM).

Sebuah rumor, paling tidak, terkandung setengah kebenaran. Namun, sulit untuk kita investigasi. Misalnya, apakah Abu Beureueh memberikan restunya? Akibatnya, suara kasak kusuk pun terbelah dua: di satu pihak ada yang bilang bahwa Aceh Merdeka tidak mendapat dukungan dari Abu Beureueh. Mereka ini dari kelompok pro RI.

Namun, ketika saya berangkat ke Davos, Swiss untuk perundingan Humanitarian Pause (April 2000), rombongan transit di Bangkok untuk mendapatkan visa. Saya bertemu dengan Zakaria Saman yang menjemput di bandara. Saya berkenalan dengan Menhan AM itu, dan berbicara banyak hal.

Zakaria Saman bercerita tentang keberadaannya di panglong kayu di Tangse, hingga ia ditangkap dan lolos, sampai ia bermukim di Thailand (mungkin di Thailand selatan). Bahwa salah satu perannya adalah mengambil uang dari Abu Beureueh, lalu dibelanjakan laukpauk, dan dikirim ke tempat persembunyian Hasan Di Tiro.

Dari cerita Zakaria Saman itu, saya menyimpulkan bahwa Abu Beureueh merestui deklarasi Aceh Merdeka (1974). Juga, kemudian Abu Beureueh dipaksa (disuntik hingga jarumnya patah) untuk diungsikan ke Jawa.

Moto (mobil) Aceh pun disopiri sendiri oleh Hasan Di Tiro (1974-2000). Mengapa sampai tahun 2000? Karena, pada saat perundingan jeda kemanusiaan itu, Hasan di Tiro tidak memimpin delegasi GAM. Beliau hanya hadir dan ditempatkan di rumah lain yang berada di dalam kompleks perundingan. Delegasi GAM dipimpin oleh Malik dan Zaini.

Saya melihat kondisi fisik Hasan Di Tiro yang sudah menurun, mulai sakit dan kapasitas intelektualnya tidak secermelang dahulu, jika dilihat dari karya-karyanya, sehingga perannya pada saat itu sudah dialihkan ke Malik dan Zaini.

Saya menyimpulkan bahwa sopir moto Aceh sudah digantikan oleh kernet. Lalu, pertanyaannya, apakah moto Aceh akan nabrak gunung atau jatuh ke jurang lagi seperti moto DI/TII?

Saya sempat menangis di dalam hati ketika bertatap muka dengan Tgk Abdullah Syafii, bersama tim juru runding lainnya, untuk melaporkan apa yang telah dicapai di dalam perundingan itu.

Kemudian, pada saat Hasan Di Tiro melakukan perjalanan ke Kanada (untuk melihat cucunya bersama Malik, mereka mampir di New York 2001). Dalam pertemuan dengan masyarakat Aceh, baik dalam peremuan di Manhattan maupun di Queen, semua pertanyaan yang berkenaan dengan politik Aceh ke depan, tidak beliau respon, melainkan dialihkan untuk dijawab oleh Malik.

Sekarang sudah 16 tahun perdamaian yang melahirkan MoU Helsinki, lalu turunannya UUPA beserta qanun-qanun, mari kita renungkan rumor politik di masa awal (1974), hingga massa konflik bersenjata yang terbuka (1998-2005). Kita sebagai penumpang moto Aceh (1974), apakah moto Aceh yang telah disopiri oleh para kernet secara pergantian itu semakin mendekati tujuan perjalanan?

Kita bisa melihat ke arah parlemen local, di mana berkumpul para politisi, termasuk para mantan kombatan dan aktivis. Kita bisa memandang ke pendopo-pendopo yang ada di setiap daerah, sebagai pusat dinamika pemerintahan. Kita juga memperhatikan dinamika di dalam meuligoe Wali Nanggroe.

Kayaknya, moto Aceh sudah terjebak di jalan Diponegoro, Pasar Aceh manakala masih menjadi terminal labi-labi. Maju tidak! Surut tak bisa. Geser ke samping, diteriaki oleh public dan sopir labi-labi lainnya.

Penumpang mulai pada turun karena haus dan kelaparan di tengah kesemrawutan lalu lintas, terik matahari, dan kepulan asap dari knalpot moto Aceh dan labi-labi, yang sangat memerihkan mata. Para sopir moto Aceh terus berganti, tapi perkembangan situasi jalan di tempat. “Hanya cep-cep di tempat!” Kata warga.

Aceh setelah 16 tahun damai, semakin berkembang secara involusi. Semua sudut kehidupan semakin kusut dan rumit. Meski pun, uang di kantong toke, sopir dan kernet moto Aceh penuh dengan uang grik!

Namun, kondisi seperti ini, adalah kondusif untuk masuknya angin ke dalam kepala masyarakat dari semua lapisan, karena lelah menanti bilamana Aceh menjadi seperti Singapore atau Hongkong, yang dilontarkan juru runding GAM di Helsinki terkait dengan isu self-government!*

*Penulis adalah sosiolog yang tinggal di Banda Aceh.


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda