DIALEKSIS.COM | Opini - Banjir besar yang melanda Aceh bukan hanya cerita tentang curah hujan ekstrem dan luapan sungai. Ia adalah pengingat paling nyata bahwa pemerintah pusat dan pemerintah Aceh gagal belajar dari bencana yang berulang. Ribuan rumah terendam, jalan-jalan terputus, fasilitas kesehatan lumpuh, dan warga terjebak berhari-hari tanpa bantuan memadai. Sebagian besar informasi awal justru datang bukan dari sistem early warning negara, melainkan dari video warga yang viral di media sosial.
Selama dua dekade terakhir, Aceh telah dipuji sebagai pusat pembelajaran mitigasi bencana pascatsunami 2004. Sistem peringatan dini dibangun, jaringan sensor dipasang, sirene tsunami berdiri di kota-kota pesisir, dan anggaran besar digelontorkan atas nama kesiapsiagaan. Tetapi banjir kali ini membongkar ironi paling pahit, dimana infrastruktur mitigasi yang megah di atas kertas tidak pernah benar-benar turun ke kehidupan warga. Kesiapan yang dipamerkan dalam dokumen, seminar, dan kunjungan pejabat tidak berubah menjadi keselamatan di lapangan.
Bencana yang Dinormalisasi
Dalam setiap banjir besar, kita kembali mendengar narasi lama, yaitu hujan ekstrem, musibah alam, takdir Tuhan. Secara kultural, narasi religius ini dekat dengan masyarakat. Namun jika terus dipakai sebagai bingkai tunggal, ia berfungsi menormalisasi bencana seolah-olah tidak ada hubungan antara banjir dan cara kita mengelola ruang hidup.
Padahal Aceh bukan hanya korban cuaca. Kita tahu betul penyebab strukturalnya, yaitu adanya pembabatan hutan, penambangan legal dan ilegal, operasi galian C yang tak terkendali, serta ekspansi perkebunan sawit yang terus menggerus hutan dan daerah resapan air. Banyak daerah di Aceh yang dulunya kawasan lindung kini berubah menjadi hamparan sawit, menyebabkan Daerah Aliran Sungai (DAS) kehilangan fungsi ekologisnya. Ketika hujan turun, air kehilangan tempat diserap dan langsung mengalir deras ke pemukiman.
Dengan kata lain, kita tidak sedang diuji oleh alam namun kita sedang menghadapi konsekuensi tata kelola ruang yang salah dan terlalu ramah terhadap kepentingan korporasi. Ini bukan sekadar musibah, ini hasil keputusan politik.
Pemerintah yang Sibuk Setelah, Lalai Sebelum
Respons pemerintah terhadap banjir Aceh kembali memantapkan pola lama, dimana negara aktif setelah korban berjatuhan, pasif sebelum bencana terjadi. Bantuan terlambat, akses terputus, dan warga kembali menjadi korban berulang.
Pejabat datang meninjau banjir, kamera televisi mengikuti, janji perbaikan diucapkan. Tetapi momen paling penting dalam mitigasi justru terjadi jauh sebelum banjir, saat izin tambang diberikan, saat perluasan sawit dibiarkan tanpa kontrol daya dukung lingkungan, saat kawasan riparian berubah menjadi pemukiman, dan ketika sirene rusak dibiarkan tak terawat, juga ketika simulasi evakuasi tidak pernah menyentuh desa-desa rawan.
Kita terlihat jago dalam tanggap darurat, tetapi lemah dalam tanggap masa depan. Selama mitigasi struktural tidak menjadi prioritas, dimana rehabilitasi hutan, pengawasan izin, penataan ruang, dan pendidikan kebencanaan banjir akan terus menjadi agenda tahunan. Bahkan, menjadi peluang politik dan panggung pencitraan.
Korban telah menjadi Objek Penderitaan, Bukan Subjek Politik
Media kita dengan cepat menampilkan air bah, tangis anak-anak, dan drama evakuasi. Publik tersentuh, donasi mengalir, solidaritas sosial tumbuh justru sesuatu yang patut diapresiasi.
Namun dititik ini kita perlu jujur, bahwa korban terus diposisikan sebagai objek penderitaan. Mereka muncul sebagai angka dan visual dramatis, bukan sebagai warga negara yang berhak menuntut perubahan kebijakan. Suara warga tentang minimnya peringatan dini, lambatnya bantuan, dan buruknya tata kelola ruang jarang diberi ruang.
Mereka difoto bukannya didengar, padahal bencana seharusnya tidak hanya menggerakkan empati, tetapi juga menggerakkan politik perubahan.
Saat Media Sosial Lebih Cepat dari Negara
Banjir besar Aceh kali ini juga memperlihatkan fenomena baru, bahwa saat ini media sosial bergerak lebih cepat daripada sistem negara. Informasi mengenai desa terisolasi, ibu hamil yang belum dievakuasi, dan pengungsi tanpa logistik menyebar dari ponsel warga, bukan dari kanal resmi pemerintah.
Fenomena ini mengandung dua pesan penting, pertama warga sudah tidak lagi sabar menunggu informasi dari pemerintah, dan ini adalah bentuk krisis kepercayaan. Dan kedua dimana media sosial telah menjadi ruang publik alternatif untuk mengawasi negara dan mengoreksi klaim kesiapsiagaan.
Karena itu, pemerintah perlu berhenti alergi terhadap kritik. Ketika warganet berteriak soal lambatnya bantuan, itu bukan serangan politik tapi itu adalah alarm sosial.
Dari Rezim Charity Disaster ke Politik Pencegahan
Setiap bencana selalu diikuti ritual yang sama, munculnya spanduk solidaritas, penggalangan dana, dapur umum, dan janji perbaikan. Ritual itu baik, tetapi tidak cukup. Kita membutuhkan transformasi paradigma, bahwa bencana itu bukan panggung empati, tapi bencana adalah panggilan untuk reformasi tata kelola.
Tidak ada early warning yang akan efektif jika pepohonan di hulu dimusnahkan. Tidak ada logistik yang akan memadai jika ekspansi sawit dan tambang terus menggerus daerah resapan air. Dan tidak akan ada kunjungan pejabat yang berarti jika simulasi evakuasi tidak pernah dilakukan di desa-desa rawan.
Yang kita butuhkan saat ini bukan lebih banyak konferensi pers, tetapi lebih banyak keberanian politik untuk mencegah bencana sebelum datang.
Kesimpulan paling jujur yang dapat kita ucapkan hari ini adalah banjir Aceh bukan takdir, ini keputusan. Dan karena ia lahir dari keputusan, ia bisa dan harus diubah.
Aceh tidak butuh belas kasihan. Aceh butuh keadilan sosial-ekologis dan politik pencegahan. Dan jika negara benar-benar hadir, bencana tidak boleh lagi menjadi musim tahunan. [**]
Penulis: Firdaus Mirza (Dosen Sosiologi FISIP USK, Sekretaris Eksekutif Dehankam)