Beranda / Opini / Etika Berlalu Lintas Menurut Perspektif Islam

Etika Berlalu Lintas Menurut Perspektif Islam

Selasa, 29 Juni 2021 20:00 WIB

Font: Ukuran: - +


Kepala Bidang SMA dan PKLK Dinas Pendidikan Provinsi Aceh Mahasiswa Program Doktor UNISU, Hamdani, S.Pd., M.Pd. [Foto: Dialeksis.com]


Dalam kehidupan modern sangat terasa pentingnya mengelola lalu lintas, baik darat, laut maupun udara. Pada zaman Nabi Muhammad Saw. tentu belum ada pengaturan seperti saat ini. Namun, panduan mengenai jalan yang teratur tentu sudah ada. Terlebih jalan semakin cepat, dan begitu banyak kecelakaan yang berujung kematian atau cacat permanen.

Kalimat yang keluar dari bibir Khalifah Umar bin Khaththab r.a., beliau pernah berkata, “Aku sangat khawatir akan ditanya Allah Swt. kalau seandainya ada keledai terpeleset di jalanan di Irak, kenapa aku tidak sediakan jalan yang rata”. Ungkapan tersebut menunjukkan kesadaran khalifah Umar bin Khaththab yang sangat tinggi terhadap nasib rakyatnya. Kalau keledai jatuh saja beliau sangat takut, apalagi bila manusia yang jatuh akibat jalan yang tidak rata? Wah, bahagianya jika saya bisa hidup di zaman kepemimpinan beliau. Pasti tidak ada jalan berlubang yang bisa mengakibatkan manusia celaka.

Suatu hari khalifah Umar bin Khatab r.a. melihat kondisi jalan yang rusak, lalu ia berkata, "Aku akan segera perbaiki jalan itu sebab aku takut diminta pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt. hanya karena ada seekor unta yang terjungkal".

Di Indonesei kecelakaan lalu lintas menduduki peringkat atas penyebab kematian di banyak negara. Tragedi itu terjadi akibat banyak faktor. Mulai dari kecerobohan si pengemudi hingga buruknya infrastruktur jalan. Di Indonesia, kasus kecelakaan di jalan tidak menunjukkan grafik turun yang signifikan. Bahkan, cenderung meningkat. Pada 1 Januari sampai dengan 31 Desember 2020, ada 4.559 kasus kecelakaan lalu lintas dengan korban meninggal dunia 346, luka ringan 5.715, dan luka berat 1.

Sekaitan dengan kecelakaan lalu lintas, imam di Kementerian Wakaf Mesir Syekh Abdul Wahab Imarah dalam tulisannya berjudul Ishamat Islamiyah fi Hallil Musykilat al-Mururiyyah mengatakan, problematika lalu lintas tak bisa dipisahkan dari prinsip-prinsip agama Islam.

Risalah samawi tersebut juga menaruh perhatian terhadap pentingnya sikap tertib berlalu lintas. Ini karena pada dasarnya, berlalu lintas ialah soal sikap ketidakdisiplinan mengikuti rambu dan peraturan lalu lintas. Islam meluruskan sikap itu agar taat terhadap etika di jalan raya. “Ketika berkendara, juga ada hak yang harus dipenuhi,” tulisnya.

Dijelaskan, ada lima perkara utama yang wajib dijaga dan dipertahankan oleh umat Islam, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Ini kemudian disebut dengan lima pokok hak asasi tiap manusia (al kuliyyat al khamsah). Maka, petaka yang terjadi di jalanan berakibat fatal pada hilangnya salah satu poin atau bahkan kelima pokok tersebut.

Kecelakaan itu bisa mengakibatkan hilangnya nyawa. Ini bisa dilihat dari ayat ke-32 Surah al-Maidah. Dari segi hilangnya keturunan, tragedi di jalan raya menyebabkan hilangnya kepala keluarga yang menghidupi anak-anaknya. Istri menjanda, anak-anak menjadi yatim. Urusan pendidikan terbengkalai. Atas dasar inilah, agama mendesak urgensi memberikan sanksi bagi mereka yang tidak sengaja telah membunuh.

Apalagi, mereka yang sengaja melakukannya. Termasuk, soal keteledoran berkendara. “Dan, janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan, barangsiapa dibunuh secara zalim maka sesungguhnya kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya. Tetapi, janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya, ia adalah orang yang mendapat pertolongan.”

Sebuah hadis dari Abdullah bin Umar menyebutkan, suatu saat Rasulullah pernah naik mimbar dan menyerukan agar sesama Muslim tidak menyakiti Muslim yang lain. Oleh karena itu, harta dan darah saudara Muslim itu tidaklah halal dan harus dijaga.

Inilah, kata syekh, dampak yang diakibatkan oleh ketidakdisiplinan dan sikap sembrono. Pengendara yang lalai dan tidak mempedulikan etika berkendara akan membahayakan dirinya sendiri dan orang lain. Ia mengusulkan sejumlah saran dan nasihat bagi tegaknya kedisiplinan berlalu lintas. Di antaranya, tertib aturan lalu lintas. Ini bisa dimulai dengan menaati rambu-rambu dan saling menghormati sesama pengendara. Pihak berwenang harus melengkapi infrastruktur yang membantu tegaknya aturan tersebut. Selain menambah personel, bisa pula memaksimalkan teknologi berupa radar kecepatan maksimum atau kamera pengintai.

Perlu dicatat pula, pihak kepolisian memperketat pengeluaran surat izin mengendarai mobil atau motor. Langkah ini dinilai akan membantu memperkecil angka kecelakaan yang disebabkan oleh rendahnya kemampuan berkendara.

Buruknya infrastruktur jalan raya, penting pula menjadi perhatian pemerintah. Guna mengantisipasi itu terjadi, pemerintah segera memperbaiki ruas jalan yang rusak dan tak laik pakai. Prinsip menghilangkan ketidaknyamanan di jalan ini sesuai dengan hadis riwayat Bukhari Muslim dari Abu Said al-Khudri daan Turmidzi dari Abu Dzar al-Ghifari.

“Hamba-hamba Ar-Rahmân “ Tuhan Pencurah kasih “ adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan “salam “ (yakni mari berpisah dengan damai.” (Q.S. Al-Furqân: 63).

Kandungan pesan di atas sejalan dengan kandungan pesan Q.S. Al-Isra’ : 37 yang maksudnya: “Janganlah engkau -siapapun engkau- berjalan di persada bumi dengan penuh keangkuhan/ ugal-ugalan. Itu hanya dapat engkau lakukan kalau engkau telah dapat meraih segala sesuatu, padahal meskipun engkau berusaha sekuat tenaga tetap saja kakimu tidak dapat menembus bumi walau sekeras apapun hentakanya, dan kendati engkau telah merasa tinggi, namun kepalamu tidak akan dapat setinggi gunung.”

Dalam konteks cara jalan, Nabi saw. mengingatkan agar tidak berjalan membusungkan dada. Ketika beliau melihat seseorang berjalan menuju arena perang dengan penuh semangat dan terkesan angkuh, beliau bersabda: “Sungguh cara jalan ini dibenci Allah, kecuali dalam situasi (perang) ini.”

Kini pada masa kesibukan dan kesemrawutan lalu lintas, kita dapat memasukkan dalam cakupan pengertian ayat di atas penghormatan terhadap displin lalu lintas. Peraturan lalu lintas jalan raya serupa dengan peraturan lalu lintas kehidupan. Jangan pernah berkata bahwa lampu merah menghambat kelancaran lalu lintas, ia justru memuluskannya.

Karena itu, sebagaimana kewajiban menghindari yang haram maka wajib pula mengindahkan lampu merah, dan sebagaimana keharusan menaati pemimpin pemerintahan. Suka kepadanya atau tidak maka demikian juga keharusan mengindahkan polisi lalu lintas yang mengatur kelancaran jalan karena dengan membangkang akan terjadi chaos, kekacauan, dan kesemrawutan. Para polisi itu adalah bagian dari apa yang dinamai Al- Qur’an Ulu Al-Amr yakni orang-orang yang memiliki wewenang memerintah, yang oleh Q.S. An-Nisaa’: 59 dinyatakan harus ditaati. Tentu saja bila tidak, sama dengan melanggar hukum.

Pesan-pesan ayat-ayat di atas bukan berarti anjuran berjalan perlahan, atau larangan bergerak cepat. Nabi Muhammad saw. dilukiskan berjalan dengan gesit, penuh semangat, bagaikan turun dari dataran tinggi.

Seyogianya kaum muslimin memperhatikan peringatan Allah Swt. agar kita berhati-hati tidak melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerugian orang lain. Kita harus berhati-hati dalam lalu lintas yang melintang di hadapan kita. Berdoa terlebih dahulu sebelum melalui perjalanan, membawa kendaraan dengan berhati-hati dan sampai tujuan dengan selamat, syukur alhamdulillah.

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda