Beranda / Opini / Islam Maju Karena Liberal 

Islam Maju Karena Liberal 

Rabu, 12 April 2023 16:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
TM Jafar Sulaiman

T. Muhammad Jafar Sulaiman, MA. [Foto: Ist.]


DIALEKSIS.COM | Opini - Sejarah awal, kebangkitan Islam adalah era liberal (Liberal Age) seperti disebutkan oleh Albert Hourani dengan menjadikan tahun 1798 sebagai awal munculnya era liberal dan berakhir di tahun 1939, tahun ini kemudian dipakai oleh hampir semua sejarawan dalam memulai penulisan sejarah kebangkitan Islam. 

Houranie mendefinisikan periode ini sebagai masa dimana orang-orang Arab, Islam secara serempak mengalami kesadaran intelektual dan peradabannya. Masa ini dicirikan dengan respon positif terhadap kemajuan Barat, industrialisasi, rasionalisasi dan modernisasi terhadap sisi-sisi kehidupan manusia.

Era liberal juga merupakan masa dimana para pemikir Arab-Islam, baik muslim maupun non muslim, membincangkan pemikiran mereka secara bebas dan tanpa ada kekhawatiran adanya tekanan dan ancaman, baik dari otoritas agama maupun politik (penguasa).  

Penyebutan era liberal bukan tanpa alasan. Jika dilihat dari perspektif sekarang, masa-masa yang dibatasi oleh Hourani (1798-1939) memang merupakan masa liberal dengan sebenar-benarnya, semua bisa mengekspresikan pemahaman mereka terhadap agama secara bebas dan ciri utamanya ada pada aspek kebebasan berfikir. Menjelang era 1930-an, era liberal mulai menjalani kemunduran serius.  Wacana pemikiran Arab-Islam modern yang sebelumnya sangat kental bernuansa pencerahan kemudian bergeser ke model wacana yang berkarakter fundamentalistik, eksklusif dan konservatif terhadap upaya-upaya modernisasi dan rasionalisasi kehidupan masyarakat Islam, dan fenomena ini terus berlangsung sampai sekarang. 

Jadi, apa yang ditulis oleh tokoh-tokoh seperti Abid al-Jabiri, Arkoun, Abu Zaid, Hasan Hanafi, Fazlur Rahman, Nurcholis Madjid dan masih banyak yang lainnya adalah pemikiran-pemikiran yang muncul pasca kejayaan era liberal ini, tugas pemikir-pemikir brilian ini tentu sangat berat dan kadang-kadang harus dibayar dengan pengkafiran dan pemurtadan, apa yang dilakukan oleh mereka adalah sesuatu yang sangat berani dan patut kita hormati, dimana mereka berani melakukan ini di era pengkafiran (‘ashr al-takfir) yang begitu dominan dibandingkan dengan era pemikiran (‘ashr al-tafkir). Apa yang mereka tulis pun adalah berupa redefinisi, rethinking, rekonstruksi, bahkan dekonstruksi Islam dan keberislaman orang Islam sebagai sebuah organisme hidup yang terus menyesuaikan diri dengan peradaban. Jadi walau itu kita kemukakan lagi saat ini (kita ulang-ulang) masih sangat relevan dan orisinil, karena mereka mengajarkan kepada kita kebebasan berfikir, budaya budaya toleransi, sikap kekritisan dalam mengkritisi keberislaman kita.

Apa yang dilakukan mereka semua tidak lebih daripada upaya mengembalikan Nahdah (kebangkitan) seperti yang pernah diusung oleh Thahtawi, Bustani, Kawakibi dan Abduh sebagai tokoh-tokoh awal kebangkitan pemikiran Islam. Betapa naïf rasanya kalau kita menyebut ide-ide mereka sebagai ide sampah dan orang yang mengusung ide mereka juga ide sampah, pertanyaan sederhana, apakah mereka dalam menulis pemikiran mereka bertujuan untuk menghapuskan dan meruntuhkan Islam sebagai agama? apakah mereka dalam mengemukakan suatu ide tidak berdasarkan al-Qur’an dan Hadits?. Mereka itu muslim juga yang menuliskan sesuatu berdasarkan sumber-sumber otentik Islam. 

Wajar rasanya Islam mengalami banyak kemunduran karena mencekal pemikiran-pemikiran mereka ditempat asal mereka dan didunia muslim, tetapi Barat bisa membaca potensi besar pemikiran mereka, sehingga hijrahlah Nasir Hamid Abu Zaid ke Leiden Belanda sehingga Islamic Studies di Belanda mengalami kemajuan pesat dibandingkan dinegara-negara muslim sendiri dan juga sangat wajar kalau intelektual muslim memilih belajar Islamic Studies ke negara-negara Eropa dibandingkan Timur Tengah, Arab dan Mesir, itu semua juga karena iklim kebebasan intelektual, yang bisa dengan mudah didapatkan di Eropa dan Amerika dibandingkan di negara-neagara muslim yang masih sangat suka melakukan takfiri dan tidak menghargai kebebasan berfikir dan kebebasan intelektual. 

Sejarah rasionalisme adalah juga sejarah humanisme - sesuatu yang memang sangat dimusuhi Islam liberalis - adalah sejarah pembebasan manusia dari praktek-praktek keagamaan yang merendahkan martabat manusia. Dimana sebelumnya manusia sering dijadikan persembahan-persembahan untuk para dewa, sering dijadikan budak-budak yang bisa ditukar dan diperjualbelikan. Sehingga pasca ini penghargaan terhadap manusia begitu tinggi sehingga rasionalitas manusia dijadikan ukuran sebuah  kebenaran, apakah ini sebuah kesalahan?.

Dan, sejarah Kedatangan Islam adalah sejarah penghargaan terhadap humanisme, mengapa sekarang kita ingin meruntuhkan ini?. [**]

Penulis: T. Muhammad Jafar Sulaiman, MA (Direktur Philo Sufi Institute)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda