Beranda / Opini / Karhutla, Kegagalan Kebijakan Ekologis

Karhutla, Kegagalan Kebijakan Ekologis

Rabu, 25 September 2019 14:26 WIB

Font: Ukuran: - +

Akhsanul Khalis

Oleh Akhsanul Khalis 

DIALEKSIS.COM - Kerusakan lingkungan memberikan dampak sangat besar terhadap keberlangsungan dan keseimbangan alam. Misalnya siklus tahunan saat musim penghujan terjadi banjir bandang, tanah longsor, lalu pada puncak musim kemarau terjadi kebakaran hutan dan lahan di setiap wilayah di Indonesia.

Dalam beberapa hari ini dampak paling parah yaitu bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di wilayah Sumatera dan Kalimatan akibat ratusan ribu hektar hutan dan lahan terbakar. 

Dampak lainnya muncul asap dan kondisi udara tercatat pada kategori berbahaya. Beragam penyakit pernafasan mulai bermunculan seperti ispa, sesak nafas dialami bayi-bayi dan orang lanjut usia. Selain dampak kepada manusia juga mengakibatkan kerusakan habitat flora dan fauna sehingga masalah kebakaran hutan naik level menjadi bencana mengerikan.

Pemerintah terkesan slow respon terhadap masalah karhutla. Baru merespon setelah efek asap sudah menyebar luas. Ini menandakan semacam ada banalitas dari pemerintah terhadap bencana kebakaran hutan "cenderung dianggap hal biasa terjadi setiap tahun".

Situasi krisis bencana karhutla membuat tindakan pemerintah baik pusat dan daerah seperti saling tuding. Sikap-sikap seperti ini menjadi sebuah "budaya" karena buruknya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah.

Sebelumnya dalam rapat terbatas di Pekanbaru pada 16 september 2019, Presiden Joko Widodo mengeluarkan pernyataan dengan mengakui bahwa indonesia lalai dalam menangani kebakaran hutan dan lahan tahun ini. 

Tentu kita berharap dan memberi dukungan kepada pemerintah berani mencari penyebab utama dan membentuk mitigasi bencana kebakaran hutan dan lahan. Karena kita berani berhipotesa kebakaran hutan dan lahan bukan otomatis terjadi secara alamiah.

Akar Penyebab Karhutla

Sudah banyak dilakukan penelitian secara kuantitatif dan kualitatif penyebab utama kebakaran hutan dan lahan. Laju kerusakan hutan mempunyai data yang relatif berbeda-beda, tergantung sumber data tersebut. Misalkan data dari pemerintah cenderung "bermain aman", sebatas data angka dibandingkan data yang diberikan oleh aktivis-aktivis dan NGO pro lingkungan.

Menurut data dari majalah Natgeo Indonesia dalam beritanya yang dirilis Jumat, 20 September 2019, karhutla melanda tujuh provinsi Riau, Jambi, Sumsel, Kalbar, Kalteng, Kalsel, dan Papua dengan luasan mencapai 162.273 Hektare, sebanyak 1.447 titik api terdeteksi per tanggal 11 September 2019.

Selain menunjukkan data kuantitatif, terdapat pula data kualitatif kenapa kebakaran hutan terus terjadi. Berdasarkan sumber data yang sama, karhutla disebabkan terhambatnya kebijakan restorasi berbasis ekosistem yakni sering adanya perbedaan kepentingan antara pemegang mandat restorasi (pemerintah daerah) dengan pengelola lahan (masyarakat dan kosensi perusahaan).

Akibat koordinasi buruk antar sektor muncul praktek land clearing tanpa terkendali. Oknum pelaku membakar hutan tentu dengan sengaja, juga pertimbangan efesiensi murah dan mudah. 

Pelaku utama kebakaran hutan bukan hanya para peladang tetapi menitikberatkan kepada perusahaan-perusahaan besar yang bergerak di bidang perkebunan sawit dan komprador (oknum perantara) yang sudah lama bekerja sama dengan perusahaan.

Menurut laporan berita CNN mengungkapkan 3,8 juta hektar lahan sawit dari total lahan 12,3 juta ha ditanami, dikuasai 25 grup bisnis raksasa, sebagian besar mereka masuk kategori orang terkaya di Indonesia versi majalah Forbes.

Kebijakan Berbasis Environmentaslisme

Kita tidak ingin kebijakan pemerintah menegasikan aspek keselamatan lingkungan hidup. Negara dan rakyat membutuhkan pembangunan ekonomi namun tidak berarti masalah lingkungan hidup di luar prioritas. Sehingga lahir adagium "ekonomi mengalahkan ekologi". 

Di sisi lain tidak boleh mengabaikan konsekuensi ekonomi dengan menempatkan kebijakan berbasis sentralistik lingkungan yang ekstrim. Kita tidak juga menginginkan ekonomi Indonesia terhambat oleh pandangan ekstrim ‘environmentaslisme’.

Kebakaran hutan dan lahan menunjukkan indikator kegagalan sebuah kebijakan politik pro lingkungan. Pemerintah cenderung didominasi oleh kalkulasi ekonomi dan bersifat status quo. 

Pemerintah selama ini dengan mudah memberikan izin kepada perusahaan perkebunan, pertambangan dengan alasan sebagai bagian pembangunan multiplier effect.

Menurut David Goldblatt: 2015 (analisa ekologi kritis), karena ketergantungan struktural negara terhadap pendapatan-pendapatan yang dihasilkan ekonomi kapitalis, dalam konteks ini dampak lingkungan efek dari kapitalisme dan industrialisme terjadi karena ada perlindungan "politiko-legal" berupa hak milik pribadi dan hak-hak terkait para pemilik konglomerasi, seperti contoh mentrasformasi tanah negara (seperti hutan) sesuka mereka atau bisa diuntungkan secara ekonomi.

Di tengah bencana karhutla, kita memang sulit menerima wacana teoritis selain menunggu penanggulangan dan pemadaman sejumlah titik api. 

Selain itu kita menunggu dan berharap ke depan terkait kebijakan pembangunan ekonomi harus beririsan dengan spirit environmentaslisme. Yaitu sebuah filosofi dan ideologi yang berorientasi kepada pelestarian lingkungan hidup atau kedaulatan lingkungan (ecocracy).

Pendapat serupa dikatakan Marek Laouzek yang dikutip oleh Vaclav Klaus mantan presiden Ceko dalam buku Kebebasan dan Politik Lingkungan, "mazhab lingkungan bertujuan mereformasikan tatanan sosial dan melenyapkan ketidakadilan sosial dan lingkungan yang diciptakan oleh operasi pasar bebas".

Dalil di atas memberikan referensi terhadap inti paradigma kebijakan terkait pengelolaan hasil alam dan industri di sektor perkebunan. Kebijakan ekonomi dan pro lingkungan tidak perlu dikotomi. 

Sudah saatnya ruang sinergi antara dua paradigma disatukan, kemudian melahirkan kebijakan pembangunan ramah lingkungan.

Pemerintah sebagai otoritas tertinggi segera memperketat regulasi dan membatasi eksploitasi berlebihan terhadap hutan. 

Selain itu melibatkan sekaligus mengoptimalkan lembaga-lembaga adat dan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Jadi, kebijakan pengelolaan hutan tidak cenderung top- down tetapi bottom to up.()

Penulis adalah dosen lepas, alumni MAP Fisipol UGM Studi Kebijakan dan Pemerintahan


Keyword:


Editor :
Makmur Emnur

riset-JSI
Komentar Anda