Beranda / Opini / Perikanan Aceh Sebagai Pertaruhan Reputasi Bustami Antara Birokrat Profesional dan Mafia Anggaran

Perikanan Aceh Sebagai Pertaruhan Reputasi Bustami Antara Birokrat Profesional dan Mafia Anggaran

Jum`at, 31 Mei 2024 14:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Syahril Ramadhan

Syahril Ramadhan, Ketua Umum HIMPALA (Himpunan Pembudidaya Ikan Laut Aceh). [Foto: dok. pribadi untuk Dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Opini - Aceh terbentang membentuk segitiga, yang dua sisinya diapit oleh Indian Ocean (Samudera Hindia) dan Selat Malaka. Kekayaan alam sejatinya tidak hanya di maknai dengan jenis sumber daya alamnya saja. Kekayaan alam lain yang harus didefenisikan sebagai sumber daya alam berbentuk aset daerah adalah letak geografis yang strategis.

Seperti kita ketahui bersama, bahwa luas daerah Aceh dua pertiganya adalah pesisir (laut) yang mempunyai potensi besar usaha kemaritiman. Salah satu usaha kemaritiman yang menjadi pengusahaan di dunia adalah sektor perikanan.

Setiap negara di dunia yang mempunyai bentangan lautnya berlomba-lomba membangun industri perikanan dari hulu ke hilir. Ambil contoh Nerwegia yang membudidayakan ikan Salmon terbesar di dunia. Turki yang melakukan budidaya ikan tunanya. Dan Vietnam yang melakukan budidaya udang lobster. Dari ketiga jenis yang tersebut di atas, dua diantaranya mempunyai habitat di perairan laut Aceh yaitu tuna sirip kuning dan semua jenis lobster.

Selain banyak negara yang mengandalkan bentangan lautnya sebagai aset bidang perikanan, tidak sedikit juga negara-negara maju dan berkembang di dunia melakukan up grading pada sektor perikanan dengan memodernisasikan sarana prasara, metode dan peralatan budidayanya. Ambil contoh Taiwan dan China yang berhasil melakukan budidaya belut (eel) dalam instalasi kolam indoor d tengah-tengah kota metropolitan bahkan kota megapolitan.

Lalu kita kembali ke Aceh, dari 54.720 km garis panti Indonesia , Aceh menjadi salah satu daerah terpanjang garis pantainya yaitu 2.666 km. Maka tidaklah salah jika kita pernah membayangkan Aceh menjadi sebuah negara, karena jika di lihat dari modal Aceh yaitu dari bentangan alam sudah cukup mampu untuk menjadi sebuah negara yang punya potensi besar untuk mengembangkan diri disektor kemaritiman.

Kita tidak kalah jauh dengan negara pembudidaya lobster terbesar di dunia yaitu Vietnam yang mempunyai bentangan pantainya sekitar 3.444 km. Dan bentangan pantai kita hanya setengah dari Malaysia yang mempunyai garis pantai 4.675 km. Mempunyai garis pantai terpanjang membentang di Indonesia, kalah tipis dengan negara tetangga Vietnam, belum menjadi modal besar untuk membangun confident kita “Aceh” mengembangkan diri melalui kemaritiman.

Belum lagi berbicara Sabang yang pernah jadi salah satu pelabuhan daerah maritim tersibuk di dunia pada suatu saat. Mempunyai setengah pintu keluar masuk pelayaran dunia sebagai jalur sutera yaitu Selat Malaka, belum mampu membuat kita untuk hanya lebih tinggi sedigit dari daerah-daerah lain di Indonesia.

Anugerah pasca program rehab rekon Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) dan lembaga donor lainnya dengan berbagai macam program dengan gelontoran anggaran bahkan puluhan triliun tidak membuat bekas kita beranjak naik kelas. Ditambah lagi masa transisi dan reintegrasi perdamaian Aceh yang telah menjelang 18 tahun dengan Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) nya hampir mencapai 100 triliun. Di awal-awal perdamaian, harapan kita gagal menjadi negara maju beralih menjadi daerah maju.

Namun dengan anggaran yang cukup besar, menjadi salah satu provinsi terkaya anggaran daerahnya, kita hanya dapat menyandang gelar termiskin diantara si miskin di pulau Sumatera. Tidak lah berlebihan jika Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh atau Nasional merilis kondisi riil perekonomian Aceh sebagai provinsi termiskin di Sumatera, karena berbanding terbalik dengan kekayaan anggaran dan sumber daya alam (SDA) nya.

Lalu kita akan melihat apa yang salah dengan Aceh. Letak geografis, kita menjadi pemilik laut sebagai pintu pelayaran dunia. Kita mempunyai bentangan laut terpanjang di Indonesia sebagai aset membangun pengusahaan kemaritiman. Jika demikian, tidak ada alasan lagi Aceh tidak punya modal dasar untuk berkembang dan maju.

Eitss tunggu dulu, coba kita melirik pada posisi kekayaan kita yang lain yaitu anggaran DOKA. Siapa yang kelola?. Saat ini Butami Hamzah, sebagai top leader kita di Aceh.

Ayo kita lihat siapa itu Bustami Hamzah. Tidak perlu kita mencari tau terlalu jauh tentang sosok orang nomor satu di Aceh sekarang. Sebagai putera daerah dia cukup confident menawarkan dirinya sebagai pemimpin transisi di Aceh dari sistem perpolitikan di Indonesia dalam proses pergantian kepala daerah di seluruh Indonesia.

Dia mampu membangun trust elit politik dan dan pejabat pusat untuk menunjuknya sebagai penjabat (Pj) Gubernur Aceh masa bakti 2023-2024. Namun, apakah dia adalah birokrat Aceh yang layak memimpin Aceh masa transisi ini?.

Kita semua pasti masih terekam tentang skandal Appendix saat Bustami menjabat sebagai Kepala Dinas Pengelola Kekayaan aceh (DPKA). Kegaduhan tersebut hingga menyeruak ke publik dan menjadi perhatian masyarakat Aceh secara umum dengan berakhir pengunduran dirinya.

Apakah selesai disitu perangainya?. Bukan Bustami hamzah nama jika langsung tenggelam dengan surat pengunduran dirinya dari kepala DPKA. Beliau mampu menembus jabatan orang nomor dua di Aceh ditengah gaduh dan riuhnya skandal Appendixnya yang mungkin menjadi biang keladi hancurnya tata kelola anggaran Aceh.

Apakah perangai Bustami sudah berubah dan menjadi tokoh semakin heroik untuk Aceh pasca menjadi orang nomor dua di Aceh?. Rupanya perangai kancil (pelanduk) bebal tidak akan pernah lekang dari sosok Bustami. Coba kita menelusuri menyeruaknya kasus hukum pada lembaga Badan Reintegrasi Aceh (BRA) yaitu amprah cash anggaran negara untuk tahun anggaran 2023. Bustami adalah ketua Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) yang patut diduga menjadi playmaker program fiktif BRA tahun anggaran 2023.

Dugaan tersebut tidaklah berlebihan jika kita melihat kembali perangainya di jabatan masa lalu. Namun demikian sebagai manusia yang sangat mengagungkan diri sebagai makhluk sosial, punya akal dan nurani, seharusnya Bustami Hamzah masih mempunyai secuil rasa malu, untuk setiap step kenaikan level jabatannya agar memperbaiki perangai apalagi jabatan yang embannya selalu didapati di bawah sumpah kitab suci, Sekarang, Bustami Hamzah adalah orang nomor satu di Aceh. Kita mungkin bisa melupakan skandal Appendik atas kenakalannya masa lalu. Tapi tidak dengan amprah cash yang terjadi di BRA. Kesalahan yang terjadi di tubuh BRA menjadi tanggung jawab penuh Bustami Hamzah sebagai ketua TAPA dan Sekda Aceh saat itu.

Kembali ke potensi perikanan Aceh, karena Bustami memilih bidang perikanan sebagai lahan bancakan anggaran Pemerintah Aceh, yang seharusnya sebagai Sekda Aceh Bustami mampu mengelola bentangan lahan perikanan di Aceh sebesar 18 kabupaten/ kota di Aceh untuk kesejahteraan masyarakat Aceh, justru sebaliknya diduga dijadikan lahan bancakan anggaran untuk memperkaya dirinya atau suatu kelompok dan golongan lain sebagai relasinya.

Sekarang saat Bustami Hamzah menjadi orang nomor satu di Aceh, kalau pun bukan kami rakyat yang tunjuk, tapi kedaulatan masih berada ditangan kami. Aparat Penegak Hukum (APH) masih bekerja atas kepentingan kami rakyat Aceh. Sadarlah, kembalilah untuk membenahi Aceh selama engkau menjabat beberapa bulan lagi sebagai orang nomor satu di Aceh.

Ingatlah setiap masa kepemimpinan ada gelombang perlawanan, jangan engkau jumawa belum ada satu pemimpin Aceh pun yang tumbang karena gerakan perlawanan. Mungkin nasibmu berbeda dengan nasib mereka, engkau saat ini mengemban beban dimasa-masa yang bisa dipastikan sangat extra hot menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) Aceh.

Kami rakyat Aceh masih berharap putra daerah Aceh bukanlah manusia yang menjunjung kesombongan dan menginjak kebenaran. [**]

Penulis: Syahril Ramadhan, Ketua Umum HIMPALA (Himpunan Pembudidaya Ikan Laut Aceh)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda