Beranda / Opini / Gubernur Aceh 2024: “Gubernur yang sudah selesai dengan dirinya Sendiri”

Gubernur Aceh 2024: “Gubernur yang sudah selesai dengan dirinya Sendiri”

Minggu, 19 Mei 2024 12:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
TM Jafar Sulaiman

Penulis: Teuku Muhammad Jafar Sulaiman, Pengajar Filsafat Politik


DIALEKSIS.COM | Opini - Gubernur adalah pemimpin yang paling bertanggung jawab atas sejahtera atau miskinnya rakyat sebuah Provinsi, maju atau mundurnya sebuah Provinsi dan spektakuler atau biasa-biasa saja nya sebuah Provinsi. Pemimpin yang sudah selesai dengan dirinya sendiri, pemimpin yang menjadi Gubernur hanya untuk mengabdi, bukan memperkaya diri, berpengetahuan luas, tahu dan mengerti secara pasti perkembangan dan kecendrungan dunia terkini, berani berbeda dari segala keumuman, mengayomi, melayani dan tidak ekslusif, selalu menjadi milik bersama rakyatnya adalah syarat mutlak kepemimpinan untuk Aceh sepanjang masa. Kebebasan sipil, kemakmuran, kesejahteraan, penghargaan terhadap manusia, penghargaan terhadap hak-hak individu, kenyaman serta keamanan rakyat adalah sekian dari banyaknya tanggung jawab seorang Gubernur yang harus dipenuhi.

Pemimpin dipilih untuk mewakili jutaan orang adalah karena perlunya satu sosok yang dapat menjadi orang tua yang bijak serta humanis bagi seluruh anak-anaknya dari berbagai agama, ras, budaya, etnis dan status sosial. Dengan model ini, maka pemimpin adalah milik bersama seluruh rakyatnya, bukan milik kelompok tertentu, agama tertentu dan golongan tertentu saja.

Model kepemimpinan terus berkembang mengikuti pola dan kecendrungan Zaman. Dulu, kita mengenal pemimpin yang tiran, despotik dan otoriter, kita juga mengenal kepemimpinan fasis yang kemudian beralih kepada kepemimpinan demokratis. Dalam konteks kecendrungan dunia saat ini yang menginginkan pemimpin yang demokratis, kita juga masih menemukan pemimpin yang tidak demokratis, pemimpin yang tidak punya persfektif bina damai, tidak merangkul dan menyatukan segala kekuatan yang ada, tidak sinkron antara visi yang ingin dicapai dengan kebijakan dan tindakannya. Pemimpin dengan model seperti ini adalah pemimpin yang tidak cocok lagi untuk hidup saat ini, pemimpin yang hidupnya salah masa seharusnya dia hidup di era fasis, tidak hidup di era sekarang

Ketika model pemimpin seperti ini masih ada, maka sudah menjadi tugas sejarah seluruh yang waras dan masih berakal sehat untuk memutus mata rantai model-model pemimpin seperti ini, hatta Aceh, sebuah negeri yang diwariskan dengan cinta, keberanian, pengorbanan dan harapan masa depan yang makmur dan sejahtera. hitungan 19 tahun sudah damai hadir sebagai anugerah, namun belum pernah bisa di syukuri dan dibuktikan dengan kesejahteraan, oleh karena itu sebagai bentuk syukur kita, maka pengelolaan damai Aceh yang sudah berusia 19 tahun ini, mulai 2024 harus kita serahkan kepada pemimpin yang benar-benar tidak memikirkan lagi dirinya sendiri, tetapi murni hanya memikirkan dan menghadrikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyatnya, pemimpin yang benar-benar terbit dan lahir dari cinta dan rindu rakyatnya, bukan pemimpin yang lahir dari uang dan kekerasan.

Aceh 2024

Bagi Aceh, tahun 2024 adalah kemutlakan bagi revolusi kepemimpinan. Kalau Aceh mau berubah, maka kuncinya adalah revolusi kepemimpinan. Pemimpin yang mau melakukan “bunuh diri kelas”, dari kelas memperkaya diri dan elitis kepada kelas hanya untuk mengabdi dan merakyat. Pemimpin yang menjadi solusi terhadap segala permasalahan Aceh hari ini, bukan pemimpin yang kehadirannya justru menambah “ nambah masalah yang memang sudah sangat banyak di Aceh. Pemimpin yang benar-benar mempertanggung jawabkan amanah yang dibebankan rakyat kepada nya dengan pembuktian, bukan perkataan demi perkataan atau iklan demi iklan di koran, baliho atau bailboard yang justru memakan biaya, merasa malu dan mundur jika tidak bisa mewujudkannya, rasa malu itu dapat dipenuhi dengan meminta maaf kepada rakyat atas segala janji yang belum bisa dipenuhinya dan kemudian mundur.

Pemimpin Aceh 2024 adalah pemimpin yang tidak mempolitisasi agama, pemimpin yang tidak menghukum dan mempermalukan rakyat kecil sebagai tontonan demi prestasinya. Pemimpin yang tidak mendengar “pembisik” dari berbagai lingkaran. Pemimpin yang sering berjalan di siang dan malam hari melihat rakyatnya, bukan berjalan malam untuk menggrebek, tetapi untuk melihat apakah rakyatnya sudah makan dan sudah terpenuhi segala kebutuhan hidupnya. Pemimpin yang turun menjenguk rakyatnya tanpa menunggu undangan seremonial panen perdana, potong pita peresmian perumahan, atau berbagai seremonial lainnya.

Aceh 2024, butuh Kepemimpinan yang utuh dan kuat. Kekuatan kepemimpinan yang bersumber dari pribadi otonom sang pemimpin. Bukan kepemimpinan yang ditentukan dan dibentuk oleh lingkaran-lingkaran disekitar pemimpin. Jika karakter otonom pribadi pemimpin tidak kuat, maka kepemimpinan akan sangat mudah terpengaruh oleh berbagai kepentingan dari sekian lingkaran-lingkaran tersebut, ini adalah problem klasik kepemimpinan dimanapun dalam sejarah manusia, dan ini adalah salah satu mata rantai yang harus secepatnya diputus. Mengapa karakter otonom pemimpin harus utuh dan kuat, karena pemimpin adalah cermin dan gambaran realitas bagi rakyatnya. Untuk 2024, Aceh akan makmur dan maju dengan Gubernur yang :

Telah selesai dengan dirinya sendiri

Kepemimpinan yang utuh dan paling murni adalah pemimpin yang sudah selesai dengan dirinya sendiri, telah selesai dengan kondisi emosionalnya, pemimpin yang telah selesai dengan segala hasrat dan keinginanya. Bahwa tujuan dia memimpin bukanlah untuk menumpuk kekayaan, menambah harta secara megah, memperkaya diri, bukan untuk dipuji, tetapi murni untuk mengabdi, dengan menjadi pemimpin, didedikasikan sebagai lahan mengabdi kepada Tuhan nya, memposisikan diri sebagai pelayan bagi rakyatnya. Menjadi pemimpin bukan untuk membuktikan bahwa dia sangat berkuasa dan mirip “ mirip menjadi Tuhan, bukan untuk balas dendam, pemimpin yang tidak berperang melawan dirinya sendiri, tetapi telah selesai dan berdamai dengan dirinya sendiri.

Pemimpin yang stabil

Pemimpin yang stabil adalah pemimpin yang memutuskan suatu kebijakan penting, mengucapkan sesuatu ketika merespon situasi dan hal penting dan menerima semua informasi haruslah dengan kondisi yang stabil, tenang dan tidak emosional ketika dia hendak berbicara. Artinya tidak secara spontan lansung berbicara dan merespon. Hal ini bukanlah hal sepele, tetapi sangat penting untuk menjaga pemimpin tampil sebagai sosok yang tiran dan emosional, sehingga sebentar-sebentar memunculkan permasalahan-permasalahan baru dari semua yang di ucapkannya. Ketika merespon dan berbicara dalam kondisi emosional, maka segala keputusan,segala kebijakan akan lahir sebagai kebijakan emosional, tidak jelas dan tidak terarah. maka kebijakannyapun adalah kebijakan emosional. Bayangkan, betapa meruginya sebuah negeri, apabila lahir kebijakan yang tidak baik, hanya karena kondisi pemimpinnya yang tidak stabil.

Komunikatif

Pemimpin masa depan adalah pemimpin yang komunikatif. Pemimpin yang punya kemampuan komunikasi yang handal dalam mendialogkan berbagai kepentingan, mengkomunikasikan berbagai kepentingan sehingga semuanya bisa bertumpu menjadi satu sumberdaya besar dalam membangun negeri. pemimpin yang tidak punya kemampuan yang bagus, maka akan melahirkan dan menciptakan berbagai faksi di pemerintahannya dan akan terjadi pertarungan panjang antar faksi tersebut sehingga mengganggu kestabilan pembangunan.

 Punya Kehendak Memperbaiki

Kepemimpinan sejatinya adalah sebuah kuasa (kehendak) untuk memperbaiki. Ketika kepemimpinan dijadikan “kehendak berkuasa” maka tidak ada perubahan yang dapat dilakukan, karena sang pemimpin selalu bertindak atas ruh kehendak berkuasa. Konsentrasinya terkuras pada menaikkan dan menjatuhkan orang, bagaimana sebuah kekuasaan tidak dipermasalahkan dan tidak digugat. Padahal sebuah gugatan adalah hukum alam dalam proses kepemimpinan. Kepemimpinan yang revolusioner adalah menjadikan kuasa yang ada padanya sebagai sebuah kehendak untuk terus memperbaiki, menjadi lebih baik.

"Sebagaimana diatas, seperti itu dibawah" dan “ sebagaimana didalam, begitu juga diluar”.

Berdasarkan teori ini, maka segala yang terjadi diluar pemimpin, apa yang terjadi diluar istana pemimpin, maka itu adalah cermin sebenarnya, gambaran utuh dari kondisi seorang pemimpin. Apa yang dialami oleh rakyatnya, maka itu adalah cermin dari kepemimpinan. Ketika pengangguran meningkat, kemiskinan ada dimana-mana, maka itu adalah cermin dari miskinnya ide, visi, rasa dari seorang pemimpin. Ketika diluar terjadi kegaduhan, kekacauan, ketidak nyaman, maka itu adalah cermin nyata dari kacau dan labilnya seorang pemimpin. Ketika pemimpinnya stabil, santun, tenang, tanpa amarah yang meledak-ledak, maka kondisi disekitarnya juga akan seperti itu. Dalam konteks ini, pemimpin adalah teladan, yang memberi contoh seperti kebijaksanannya, keramah tamahannya, kesederhanannya. Disini, pemimpin tampil sebagai sosok yang tidak mencari-cari kesalahan orang lain, tetapi segera memeriksa dan introspeksi dirinya sendiri. Karena, apapun yang terjadi dan apapun yang dilakukan oleh bawahannya maka itu menjadi tanggung jawab pemimpin.

Melihat dengan hati.

Melihat dengan hati adalah melihat sekaligus merasakan keadaaan sebenanrya. Melihat dengan hati hanya bisa kita perolah dari pemimpin yang memang lahir dari hati rakyat dan dipilih dengan hati oleh rakyat, bukan dipilih dengan uang dan ancaman. Melihat dengan mata, terkadang tidak akan menyentuh hati sang pemimpin. Tetapi ketika melihat dengan hati, maka pemimpin akan tersentuh dengan segala realitas disekitarnya sehingga tepat ketika melakukan sebuah tindakan. Melihat dengan hati sudah sangat jarang kita jumpai saat ini. Ketika pemimpin hanya melihat dengan mata, maka yang terjadi adalah tindakan-tindakan simbolis, artifisial, tidak menyelesaikan segala akar persoalan. Pemimpin yang bisa menyentuh hati rakyat sudah sangat jarang kita jumpai. Pada tahap ini, ketika kita punya pemimpin seperti ini, maka rakyat akan bahu membahu membantu pemimpinnya untuk menyukseskan visi sang pemimpin.

Mendengar dengan mata

Kebanyakan pemimpin, ketika menerima sebuah laporan dan informasi, selalu mendengar dengan telinga, sehingga tidak pernah tahu keutuhan informasi tersebut. Pemimpin yang selalu mendengar dengan telinga, maka kebanyakan akan timpang dalam mengambil keputusan. Cara pemimpin melakukan cross check terhadap sebuah informasi adalah mendengar dengan mata. Ketika sebuah laporan, sebuah informasi masuk, maka pemimpin mendengar dengan matanya, sehingga segala kebenaran dan kecacatan sebuah informasi, dia akan tahu, maka seorang pemimpin yang punya karakter kuat akan paham bahwa informasi yang disampaikan tersebut benar atau tidak atau hanya untuk menyenang-nyenangkan saja (asal bapak senang) sehingga semua persoalan tidak pernah tuntas diselesaikan.

Dari ketujuh point ini, sejatinya rakyat Aceh terus merindukan pemimpin yang baik, pemimpin yang benar-benar punya tujuh kriteria ini. Dan 2024 adalah arena uji perubahan revolusioner kepemimpinan tersebut, jadi mari terus mencari pemimpin yang dinantikan tersebut, pemimpin yang terus membawa kepada kemajuan, bukan pemimpin yang membawa kepada keterpurukan, semoga Aceh terus maju, makmur dan sejahtera dan mendapat tempat terhormat didunia.

Penulis: Teuku Muhammad Jafar Sulaiman, Pengajar Filsafat Politik

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda