Beranda / Opini / Politik Representatif

Politik Representatif

Sabtu, 08 September 2018 00:15 WIB

Font: Ukuran: - +


Oleh Zulfata 

Setelah deklarasi calon wakil Presiden (cawapres) yang sempat disembunyikan secara politik sebelum mendekati penutupan pendaftaran calon presiden (capres) dan cawapres 10 Agustus 2018, terbukti bahwa elite politik dewasa ini sedang mengembangkan politik representatif. Pola politik representatif muncul bukan dari kehendak peguasa di balik layar secara subjektif. Tetapi politik representatif terbentuk dari akumulasi peristiwa aspirasi publik yang muncul tiga tahun sebelum masa pencalonan capres dan cawapres berlangsung.  

Telah diketahui bahwa tiga tahun terakhir Indonesia dikejutkan dengan berbagai gerakan politik yang bersumber dari golongan yang mengatasnamakan agama, entis, dan profesi. Munculnya gerakan 212, anti gerakan komunisme, anti pekerja asing hingga anti terorisme telah diramu oleh para tim kampanye untuk menciptakan strategi persuasif politik guna meraih dukungan dari rakyat. Jika memahami pola politik representatif, tak heran ketika melihat kehadiran seperti pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahudin S. Uno dan Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Tentang dua poros pasangan capres dan cawapres sedikit banyaknya publik telah mengetahui latar belakang politik massa yang berada di balik Sandiaga S.Uno dan Ma’ruf Amin.

Tulisan ini sejatinya bukan untuk menjawab pasangaan siapa yang menang dan pasangan siapa yang lebih baik, tetapi tulisan ini mencoba untuk menampilkan pola politik representatif yang tersirat di balik fenomena Pilpres 2019. Dalam pertarungan politik representatif, kekayaan dan keahlian poitik seorang yang ingin dipinang sebagai cawapres tidak menjadi landasan pertimbangan utama yang membuat dirinya dipinang. Sebab yang menjadi pertimbangan utamanya adalah cawapres yang dipinang harus mewakili golongan siapa. Hal ini dilakukan mengingat bahwa posisi cawapres dapat mendongkrak suara kemenangan bagi capres yang bersanding dengan capres tersebut.

Agar penjabaran kajian ini tidak mengambang, rasa politik representatif tersebut dipahami melalui kehadiran Sandiaga S. Uno dan Ma’aruf Amin dalam kontestasi Pilpres 2019. Secara profesi, kedua cawapres tersebut adalah sesama praktisi ekonomi. Ma’aruf Amin pernah menajdi dosen syariah dan Sandiaga S. Uno juga pengembang ekonomi yang sukses dengan bisnisnya. Dari sisi ini, muncul anggapan bahwa kampanye 2019 nanti akan didominasi oleh isu-isu ekonomi kerakyatan. Berbicara isu yang dimainkan dalam kampanye mendatang, sulit kiranya mengatakan isu Suku, Agama, Ras dan antargolongan (SARA) tidak dimainkan. Karena stretaegi politik SARA secara pergerakan politik kelas akar rumput masih dianggap jitu. Dan pengalaman Pilkada serentak DKI Jajarta 2017 telah membuktikannya.

Tampaknya, pertimbangan Prabowo dan Jokowi dalam memilih cawapres yang mendampinginya cenderung melihat potensi kekuatan politik representatif yang nantinya akan memberikan kemenangan. Dalam hal ini, sosok Sandiaga S. Uno dianggap sebagai pintu masuk untuk mendekati politik kaum pengusaha dan pekerja, karena Sandiaga S. Uno dikenal sebagai politisi sekaligus pengusaha. Demikian halnya, Ma’aruf Amin, dirinya anggap sebagai wadah untuk menampung kalangan umat muslim yang membentengi kampanye hitam atas Jokowi yang dianggap anti politik muslim.

Sejatinya fakta politik representatif bukanlah suatu hal yang baru dipraktikan di Indonesia. Gejala politik ini sempat di Abadikan oleh Clifford. Geertz dengan menggolongkan politik umat Islam di Jawa terbagi menjadi tiga golongan yaitu kaum santri (agamawan) , abangan (pekerja) dan priyayi (pengusaha dan pemilik modal). Tiga golongan inilah yang sempat memanaskan panggung politik masa orde lama (orla) dan orde baru (orba). Namun demikian, analisis teori sosiologi politik Clifford. Geertz tersebut tidak dapat seutuhnya digunakan dalam memahami politik representatif di era industri 4.0 masa kini. Sebab masa pertarungan pilpres Prabowo dan Jokowi jilid kedua ini telah di isi oleh golongan milenial yang dulunya tak mewabah di masa Clifford. Geertz meneliti.

Situasi politik representatif lebih rumit lagi ketika dilihat dari sisi peran koalisi parpol dan partai pengusung dalam menentukan siapa cawapres bagi presiden yang mendukung mereka. Hadirnya fenonemena politik PHP (pemberi harapan palu) yang jatuh pada diri Mahfud MD cukup memberikan informasi bahwa peran perpaduan politik transaksional koalisi partai sangat menentukan pilihan capres dalam menentukan haluan politiknya (Komaps, 09/08/2018). Dalam hal ini terlihat bahwa koalisi parpol tak mau ikhlas untuk membesarkan "anak macan" dalam uapaya mempertahankan kekuasaan politik koalisi mereka.

Nasib Representatif

Tanpa disadari, kemajemukan masyarakat Indonesia telah memiliki punca kekuatan politiknya masing-masing. Hampir semua agama, suku, organisasi hingga kelompok profesi lainnya telah memiliki power politik yang berada di tangan seseorang atau sekelompok orang yang sering disebut sebagai penguasa politik representatif. Nadlatul Ulama (NU) misalnya, sering dianggap sebagai basis massa politik Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Begitu juga halnya organisasi yang semacam serikat buruh Indonesia yang dianggap lumbung suaranya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) atau Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).

Jangan sempat rajutan keberagaman Indoesia sebagai kekayaan bangsa menjadi rapuh dan ternoda karena ulah sekelompok orang yang buas dalam berpolitik. Harus diakui, bangsa kita belum mampu menampilkan ciri khas politiknya sendiri layaknya menampilkan khas batik Nusantara di panggung style dunia. Kebuntuan perpolitikan Indoensia berhulu dari kekacauan dalam mengelola keberagaman, sehingga potensi keberagaman bebas digunakan oleh sekelompok elite yang merusak keberagaman itu sendiri demi merebut dan mempertahankan kekuasaan.

Semangat rakyat untuk menata ulang politik representatif belum mati walau dapat disebut telah pudar. Pudarnya semangat tersebut dapat diobati oleh sikap keteladanan para elite, kedewasaan para agamawan dan kejujuran masyarakat. Pendidikan politik bernuansa kampanye hitam selalu disuguhi dalam setiap prosesi kampanye negeri ini. Persaingan politik selalu digiring ke jalan yang tidak sehat, tak masuk akal bahkan tak menggunakan hati yang terdalam.

Jika perkembangan politik Indonesia semakin liar dan tak terkendali, maka jangan heran ketika Indonesia sulit mencapai status baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Oleh karena itu, tak terlalu naif apabila umat muslim kembali meneladani prinsip-prinsip politik Islam yang selalu mengedepankan azas kemaslahatan dari semua agama dan tindakan kemanusiaan yang berbeda-beda. Strategi politik Islam bukanlah strategi yang usang untuk meraih dan mempertahankan kemenagan, melainkan politik Islam justru memberikan ketenangan dan keteduhan bagi liarnya politik representatif.

Walaupun politik sering dianggap panggung sandiwara, merusak citra kejujuran demi suksesnya suatu manuver politik. Namun sebagai umat yang bertuhan kita harus tetap yakin bahwa praktik politik Islam itu akan membumi dan memberikan fakta sebelum kiamat menghampiri umat manusia. Akhir-akhir ini pola pergerakan politik Islam yang mewarkan keteladan dianggap tidak akan membawa kemenangan bagi para pemain politik. Para praktisi politik terlanjur nyaman dengan strategi politik predator. Mereka bangga mahir berpolitik dengan menggunakan seni politik Niccolo Machiavelli dan Kalr Marx serta Adam Smith. Sehingga politik Islam yang ideal tersebut hanya digunakan untuk tameng dalam menutupi kemunafikan politik seseorang atau kelompok tertentu.

Betul bahwa politik itu terkadang seperti air tawar, dapat digunakan dan dibentuk dengan bermacam ragam. Dapat dijadikan es jika didinginkan, mampu panas jika dipanaskan dan terlanjur pahit jika dicemari. Dalam konteks ini, dinamisnya perpolitikan tergantung pada kesadaran dan komitmen bersama dalam memperbaiki nasib bangsa. Untuk itu, pilpres 2019 ini seyogianya dapat dijadikan sebagai jembatan bagi penyebrangan Indonesia dari yang sengsara menjadi sejahtera, dan menjadi sekuntum bunga yang mengharumkan nama baik Indonesia. Semoga !

Zulfata, S.Ud,. M.Ag., Dosen luar biasa di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry, dan penulis buku Agama dan politik di Aceh - (tiga Jilid), Email: fatazul@gmail.com


Keyword:


Editor :
Jaka Rasyid

riset-JSI
Komentar Anda