Beranda / Opini / Gairah Aceh untuk Indonesia

Gairah Aceh untuk Indonesia

Selasa, 21 Agustus 2018 18:32 WIB

Font: Ukuran: - +


Teuku Kemal Fasya*

Tahun ini bisa dikatakan tahun Aceh untuk Indonesia. Ada dua momentum reborn bagi identitas Aceh : merayakan 13 tahun perdamaian Helsinki dan 73 tahun Indonesia merdeka. Penanggalan dua momentum ini memang berdekatan: 15 Agustus  setelah itu merayakan hari kemerdekaan nasional dua hari berselang.

 

Kedua momentum itu bukan titik akhir (the point of arrival). Ada banyak pekerjaan peradaban yang belum selesai dan masih memerlukan proses yang sungguh-sungguh agar dikenang sebagai Aceh hebat dan gemilang. Keduanya juga bukan proses yang terpisah. Aceh telah ada dalam nafas bangsa Indonesia jauh sebelum bangsa ini merdeka. Ada jalin-jalinan sejarah dan aura identitas kebudayaan yang tak mungkin didustai.

 

Pada lini masa perjuangan, ada sosok seperti Teuku Nyak Arif (TNA), panglima sagi XXVI mukim, yang telah menjadi ketua National Indische Party (NIP) cabang Kutaraja pada 1919. Ia  dikenal sebagai pahlawan nasional, bukan sekedar pahlawan Aceh.  TNA adalah seorang republiken sejati. Ia merasakan dua masa sekaligus: Indonesia terjajah dan merdeka. Perjuangannya di NIP atau Partai Perjuangan Indonesia, organisasi kepartaian bentukan E.F.E. Douwes Dekker (Dr. Setiabudi), Dr. Cipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) adalah penanda kesetiaan itu.

 

Ia memperjuangkan kemerdekaan "Indonesia" karena memahami kolonialisme bukanlah wujud ideal dalam berpolitik dan bernegara. Tidak ada sifat chauvinisme atau membuta pada identitas kedaerahan yang tercatat dalam dokumen sejarah tentangnya. Pada 1927-1931 TNA diangkat menjadi anggota Volksraad atau Dewan Perwakilan Rakyat yang berkedudukan di Batavia (Jakarta). Meskipun ia jarang hadir dan lebih sering bersisian dengan rakyatnya di Aceh, pandangan-pandangannya bergema di gedung perjuangan pribumi itu tentang menjadi bangsa merdeka (Ramadhan K.H. – Fitria Sari, Teuku Nyak Arif : Rencong Aceh di Volksraad, 2017).

 

Demikian pula nukilan sejarah dalam bentuk novel. Tercatat di dalam Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, tentang babak sejarah Aceh yang penuh gelegar melawan kolonialisme bangsa Eropa. Dalam novel itu dikisahkan para pejuang Aceh dari Tangse, Pidie, melawan para marsose Belanda bara di sukma. Sebenarnya pasukan marsoses itu bukan semata orang Belanda. Ada lebih banyak pasukan Nusantara dari suku-suku lain di Indonesia Timur termasuk sekutu Belanda, Perancis di sana. Pramoedya menuliskan tentang dian perjuangan rakyat Aceh bernyala-nyala, baik dalam keadaan lapang atau terjepit. Tak ada nadi kecut saat melawan kaphe-kaphepenjajah.

 

 "Seorang serdadu Kompeni, nampak dari topi bambu dan pedangnya, sedang menginjakkan kaki pada perut pejuang Aceh. Serdadu itu menyorongkan bayonet pada dada korbannya, dan dari balik baju itu muncul buah dada seorang wanita muda. Mata wanita itu membeliak. Rambutnya jatuh terjurai di atas luruhan daun bambu. Tangan sebelah kiri meronta untuk bangun, dan tangan sebelah kanan membawa parang yang tak berdaya. Seluruh alam seakan mereka berdua saja yang berdegub hidup: yang hendak membunuh dan yang hendak dibunuh." (Bumi Manusia, cet-13, 2008 :78).

 

Demikianlah, heroisme Aceh telah tertanam pada banyak sosok. Jika dibandingkan dengan daerah non-Jawa, Aceh paling banyak menyumbangkan nama untuk pahlawanan nasional. Salah satunya Laksamana Malahayati. Ia sosok yang hidup dalam rentangan jarak 340 tahun sebelum Indonesia merdeka. Pemerintah memberikan gelar pahlawan nasional kepadanya pada 2017 lalu.

**


Namun di masa kini kontekstualisasi Aceh bewujud lain. Kebesaran Aceh dan kebudayaannya tak lapuk dimakan zaman. Perayaan upacara proklamasi Indonesia ke-73 juga menghadirkan Aceh, bukan secara ornamental, tapi substansial. Seperti sudah dipublikasi secara meluas, Presiden Joko Widodo mengenakan pakaian adat Aceh sebagai pembina upacara di Istana Negara.

 

Tubuh kurusnya serta-merta mengingatkan kita pada Teuku Umar (1854 – 1899), salah seorang lagi pahlawan nasional yang ditetapkan pada 1973. Ibu Iriana, meskipun menggunakan pakaian Minang, sekilas mirip pakaian yang dikenakan pahlawan perempuan Aceh, Pocut Baren.

 

Jika ditanyakan kenapa pakaian Aceh dipilih, hanya Jokowi yang tahu. Tahun lalu ia juga menggunakan pakaian adat Banjar saat acara 17-an. Pilihan menggunakan pakaian adat dari Jokowi telah melunturkan sikap protokoler-elitis untuk upacara sesakral 17 Agustus. Pilihan ini sekaligus mendekatkan ritual kebangsaan kepada publik, semakin demokratis dan semakin meriah dalam kalam rakyat, hingga kaum jelata.  Pilihan menggunakan pakaian adat dari Jokowi bisa jadi sangat sederhana seperti tahun lalu. Ia menghormati pemberian bupati Tanahbumbu, Kalimantan Selatan, Mardani H. Maming, dan karenanya ia gunakan sesukanya. Hanya kain songket saja yang berbeda, dari satu momentum pada momentum berikutnya.

 

Namun, tahun ini tentu tidaklah sewenang-wenang atau seringan pilihan pada baju Banjar. Pilihan untuk mengenakan pakaian adat Aceh nampaknya lebih spesial dan intensional. Baju itu sengaja dijahitkan khusus, bukan disewa atau diberi dari tokoh Aceh. Jelas seriusnya.

 

Aceh seperti juga Papua adalah dua provinsi yang mendapatkan perhatian khusus dari Jokowi. Ia telah melawat ke Aceh delapan kali dan Papua sembilan kali selama empat tahun terakhir; hal yang tidak pernah dilakukan presiden Indonesia manapun sebelumnya. Secara semiotis, pilihan baju Aceh mampu meluluhkan hati warga Aceh yang mulai berkecipak pada isu Pilpres. Kini terlihat, baik kelompok yang memilih atau tidak memilihnya pada Pilpres 2014 lalu, terkagum pada pilihan pakaian Aceh yang digunakan. Simbolisme Aceh adalah inti Indonesia terbaca dengan jelas melalui pakaian itu.

*


Akhirnya, puncak identitas kultural Aceh terlihat pada pembukaan Asian Games ke-18 di stadion Gelora Bung Karno, Jakarta. Perayaan ini memang menjadi kemenangan atas keragaman Indonesia yang terdiri dari 714 etnis dan suku, 600 bahasa, enam agama resmi nasional, dan puluhan agama dan keyakinan lokal-regional. Penampilan ribuan penari dengan 18 penyanyi terkenal  seperti Raisa, Roosa, Kamasean, Rinni Wulandari, Edo Kondolongit, dan Via Vallen seakan tak menghentikan sihir tari pembuka dari Aceh: Ratoh Jaroe!

Penari saat pentas di pembukaan Asian Games 2018 di Gelora Bung Karno, Jakarta Pusat, Sabtu (18/7/2018).(KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG)Penari saat pentas di pembukaan Asian Games 2018 di Gelora Bung Karno, Jakarta Pusat, Sabtu (18/7/2018).(KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG)
 

Ratoh Jaroe atau  awam mengenal dengan istilah Saman Inong (perempuan) benar-benar memukai. 1600 penari perempuan dari 18 SMA di Jakarta ini mampu menghadirkan tarian ini secara paripurna. Mereka mengaitkan harmoni dan ritmis gerak dalam alunan tari massal. Efek perkusi dari Rapa-i dan hentakan tangan menelusup ke dalam aura para penonton. Tidak bisa dibayangkan jika kita langsung menonton di stadion rancangan Soekarno itu. Ditambah lagi "gerak sulap" saat pergantian kostum, mampu menyihir mata. Benar-benar elegan dan mewah! Lima menit itu betul-betul memuaskan jiwa dan memberikan kebanggaan luar biasa, terutama bagi warga Aceh.

 

Tentu penampilan tari Aceh ini lebih memberikan pesan khusus kepada Indonesia dan dunia dibandingkan kostum Jokowi. Ratoh Jaroe adalah tarian penanda dari daerah yang pernah terluka karena konflik, yang hendak mencari jalan pemulihan. Tarian ini menjadi eros, gairah untuk bangkit melalui ekspresi seni pertunjukan yang tiada dua. Ratoh Jaroejauh dari pesan perang. Ia terlihat seperti menyepuh duka. Luka karena konflik dan kekerasan telah meruntuhkan banyak jiwa. Namun seturut waktu, luka-luka itu hendaknya kering dengan tepat dan bermartabat.

 

Tarian itu telah memberikan energi baru bagi Aceh berupa harapan mengayuh di masa depan. Dengan senyum dan optimisme para penarinya yang terlihat jujur, pesannya lebih kuat menyentuh rasa dibandingkan logika. Para gadis itu mungkin bukan beretnis Aceh, tapi mereka mampu menampilkan magisme tarian dengan segenap penjiwaan dan sikap mulia. Warna itulah yang hendak disisipkan untuk Aceh pada tahun ini, pada pembukaan Asian Games yang tak mudah terpermanai. Pada daya artistik dan estetiknya yang lebih luas dari kata-kata jurnalisme biasa.

 

(Antropolog Aceh)*


Keyword:


Editor :
AMPONDEK

riset-JSI
Komentar Anda