Beranda / Opini / Propaganda Diksi Media Barat Terhadap Palestina

Propaganda Diksi Media Barat Terhadap Palestina

Senin, 30 Oktober 2023 18:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Rahmat Firnanda

Rahmat Firnanda, peminat isu hubungan internasional mengajak kita untuk berpikir tentang "Propaganda Diksi Media Barat Terhadap Palestina". [Foto: dok. pribadi untuk Dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Opini - Pergerakan blietkrieg (serangan kilat) HAMAS Palestina 7 Oktober yang lalu dengan kombinasi roket, pasukan udara paragliding, dan gerakan pasukan yang cepat dari darat, mengejutkan dunia nyata dan jagat maya. Teknologi Iron Dome yang biasanya mampu melumpuhkan ratusan roket HAMAS yang diarahkan ke wilayah Israel ternyata mampu ditembus dan meloloskan rudal rudal Palestina ke Israel dalam jumlah yang tidak sedikit. 

Yoav Gallant, Menteri Pertahanan Israel bersumpah akan meratakan Gaza, Palestina dan “manusia binatang“ di wilayah tersebut yang mempermalukan Israel dalam serangan tanggal 7 Oktober itu.

Pembalasan yang brutal pada akhirnya terjadi dan ini bukanlah hal yang mengejutkan. Israel memparadekan rentetan serangan udara dengan menghancurkan bangunan-bangunan rakyat sipil dengan alasan disana terdeteksi sebagai titik luncur roket pasukan hamas dan Israel tegas menggambarkan hamas menggunakan rakyatnya sebagai human shield atau menjadikan rakyat sipil sebagai tameng hidup.

Media cetak maupun online mengangkat berita dari momentum ekskalasi konflik Israel Palestina ini dengan judul yang faktual dan dramatis. Sebagai pihak terjajah, Palestina punya “keuntungan” dan relatif lebih mudah untuk bersimpati dengan nasib mereka yang dihancurkan jiwa dan raganya selama puluhan tahun serta hilangnya harta benda dan yang paling krusial adalah lepasnya hak bangsa Palestina atas tanah air mereka yang dirampas negara Zionis sejak 1948 saat Ben Gurion perdana menteri pertama Israel mendeklarasikan berdirinya negara ilegal tersebut. 

Israel sebagai kolonialis dan aktor utama ketidakstabilan paling konsisten di Timur Tengah harusnya kesulitan untuk mengadvokasi langkah politik maupun militer yang dipraktekkannya kepada rakyat Palestina di media-media internasional. Namun kesulitan ini justru mampu diatasi dengan cara yang cukup cermat dengan pengaruh besar membentuk opini publik dan dengan agenda Zionis Israel, dunia bisa bersimpati terhadap kolonialis Israel. Fenomena ini yang terpampang jelas di beberapa judul-judul utama pemberitaan tentang serangan 7 Oktober tersebut dan serangan balik yang faktanya sangat brutal dan dibuat seakan-akan menjadi situasi yang kabur saat menunjuk pihak yang paling bertanggung jawab.

Dalam serangan udara Israel terhadap Gaza, satu rumah sakit Al Ahli Baptist hancur dan menewaskan ratusan orang di dalamnya seperti pasien, dokter, termasuk pengungsi yang rumahnya telah rata dirudal Israel. Media-media barat melaporkan peristiwa tragis dan mengerikan ini dengan judul yang nyaris serupa. 

Media Amerika Serikat CNN memberi judul “Gaza hospital explosion sparks anger and protests in Arab countries” di saat media lain seperti New york Times memperlihatkan judul seperti ini, “Devastation in gaza after hospital blast”. Washington Post memberikan tema yang sama dengan mengangkat judul “Fury after Gaza hospital blast surges across Middle East”. Eropa ternyata tidak berbeda dalam mengangkat judul tragedi serangan rumah sakit ini. Media jerman Deutche Welle memberikan judul “Gaza hospital blast sparks protests worldwide”. 

Kata kunci dari headlines yang diberikan di atas adalah kata blast atau explosion. Kamus Merriam Webster mendefinisikan kata blast sebagai an explosion or violent detonation yang bisa diartikan sebagai ledakan atau penyebab suatu ledakan besar. Ledakan disini muncul dari dalam ke luar. Media tadi menggunakan istilah “blast” ini terutama untuk mendistorsi dan menggiring publik barat dan dunia agar tertanam dalam bawah sadar sepersekian detik ketika melihat judul, bahwa kejadian di rumah sakit Gaza tersebut adalah ledakan dari dalam rumah sakit, bukan dari serangan luar ke dalam. Begitu juga istilah explosion yang mengindikasikan hal yang sama. Penggunaan diksi ini oleh media barat jelas mempunyai tujuan khusus. Menjaga opini dunia agar menjauhi kemungkinan mereka memvonis Israel sebagai pelaku serangan yang dalam Hukum Humaniter Internasional Aturan 25, personil medis harus dihormati dan dilindungi dalam segala situasi termasuk ketika perang berlangsung. Indikasi ini jelas permainan media barat yang sudah menjadi rahasia umum mayoritas saham dikuasai dan dimiliki oleh pebisnis sekaligus pelaku media pro Zionis seperti pimpinan New york Times A. G. Sulzberger, Jeffrey Adam Zucker yang pernah menjabat pimpinan CNN, dan masih banyak lagi.

Yang terbaru adalah wawancara antara jurnalis Sky News dari Inggris dengan aktivis HAM Palestina Yara Eid. Sejak awal Sky News menggunakan diksi “killed” (terbunuh) untuk mewakili korban dari pihak Israel. Sedangkan ribuan korban tewas di Palestina menggunakan diksi pilihan kata “died” Perbedaannya jelas terlihat disini. Died menurut Kamus Cambridge diartikan sebagai berhenti untuk hidup yang sebabnya bisa multi tafsir termasuk salah satunya karena sebuah insiden yang tidak disengaja. Sedangkan makna dan konotasi kata killed memerlukan pihak yang menjadi sebab kematian. Otomatis pikiran publik yang mendengar langsung terarah untuk mencari pihak atau pelaku. Sedangkan istilah died dibuat multitafsir dengan sebab yang punya banyak kemungkinan termasuk hal yang tidak disengaja.

Permainan pikiran dalam diksi ini membuktikan serangan tidak hanya terjadi dalam perang konvensional yang dipahami masyarakat pada umumnya, tetapi serangan juga bisa terjadi melalui akses media tulisan maupun audio visual yang semakin masif di era media sosial saat ini. Dalam kasus Palestina, proses propaganda diksi ini gencar dilakukan untuk mendehumanisasi orang orang Palestina dan membuat orang orang Israel punya nilai yang lebih dan pantas untuk ditangisi dan dibela. Akibatnya, setiap korban korban tewas Palestina hanya sebatas angka statistik. Semua ini bisa tercapai dengan mengubah pilihan kata menjadi alat pengontrol alur pikiran opini masyarakat yang mengakses media.

Salah satu bentuk perlawanan terhadap bias informasi media ini adalah menggunakan semaksimal mungkin penggunaan platform sosial media yang sekarang memiliki beragam bentuk seperti Facebook, instagram, tiktok, hingga youtube. Setiap orang bisa menjadikan media sosial tersebut sebagai wadah untuk mencari, mengumpulkan, maupun menciptakan narasi baru yang sejalan dengan fakta di lapangan khususnya untuk kasus Palestina yang selama ini selalu disamakan dengan pelaku teror terhadap Israel padahal fakta di lapangan membuktikan sebaliknya.

Shireen Abu Akleh, seorang jurnalis Al Jazeera dari Amerika Serikat keturunan Palestina, dibunuh sniper tentara Israel tahun lalu. Bahkan orang orang yang menghantarkan proses pemakamannya ke gereja pun diserang dan dipukuli polisi polisi Israel. Seumur hidupnya, dia tidak pernah melakukan kekerasan terhadap Israel. Namun mengapa dia dibunuh? Bukan karena dia seorang Palestina. 

Shireen dibungkam hingga meregang nyawa karena memiliki pengaruh besar dalam jurnalisme dan dia menggunakan pengaruhnya untuk memberikan informasi kepada publik dalam bentuk tulisan dan reportasenya tentang kebrutalan kolonialisme Israel terhadap bangsanya Palestina. Perlawanan Palestina tidak berhenti dengan pembunuhan dan ketidakadilan yang mereka rasakan selama puluhan tahun dari Israel dan media barat. Salah satu bentuk resistensi intelektual adalah menciptakan diksi berdasarkan fakta demi mendukung bebasnya Palestina. [**]

Penulis: Rahmat Firnanda (Alumnus Fakultas Tarbiyah UIN Ar-Raniry dan Peminat Isu Hubungan Internasional]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda