DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dibuat gigit jari. Harapan mereka untuk mendapatkan alokasi dana pokok pikiran (pokir) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh Perubahan (APBA-P) 2025 pupus setelah proses input di Sistem Informasi Pemerintah Daerah (SIPD) ditutup lebih awal.
Informasi yang diterima Dialeksis menyebutkan, sistem SIPD resmi ditutup pada 15 September 2025. Meski demikian, beberapa pintu anggaran sempat dibuka untuk sejumlah Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA), di antaranya Dinas Pendidikan Aceh, Dinas Pendidikan Dayah, Dinas Perumahan dan Permukiman, Dinas Pemuda dan Olahraga, Dinas Pertanian dan Perkebunan, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral, serta Dinas Perindustrian dan Perdagangan.
Namun, proses tersebut justru memicu persoalan baru. Bocornya informasi terkait mekanisme input belakangan membuat pengesahan APBA-P 2025 terhambat.
Dari rangkuman data yang diperoleh redaksi, posisi anggota dewan dalam pembahasan anggaran kali ini kian terdesak. Sejumlah elit politik di internal DPRA dituding menutup rapat pintu pembahasan, sehingga sebagian legislator tak lagi dilibatkan dalam penentuan alokasi dana perubahan.
Kondisi ini membuat banyak wakil rakyat kehilangan ruang untuk memperjuangkan aspirasi konstituennya. Pokir--yang selama ini menjadi “jalan pintas” anggota dewan menyalurkan program kecil ke daerah pemilihannya--nyaris tak mendapat tempat dalam APBA-P tahun ini.
Situasi tersebut menimbulkan keresahan di kalangan legislatif. Seorang sumber di DPRA yang enggan disebutkan namanya menyebut, praktik eksklusif semacam ini berpotensi menimbulkan krisis kepercayaan, baik di internal parlemen maupun di hadapan publik.
“Kalau aspirasi masyarakat yang dititipkan melalui dewan tidak lagi diakomodir, bagaimana mungkin DPRA bisa meyakinkan rakyat bahwa mereka benar-benar memperjuangkan kepentingannya?” ujarnya.
Mandeknya alokasi dana pokir dalam APBA-P 2025 sekaligus menjadi ujian transparansi dan tata kelola anggaran Aceh. Publik kini menunggu apakah pemerintah Aceh bersama DPRA mampu menuntaskan pembahasan secara terbuka, atau justru membiarkan praktik eksklusif segelintir elit menggerus wibawa parlemen.