Jum`at, 13 Juni 2025
Beranda / Pemerintahan / TTI: Proses Tender Harus Terbuka, Masyarakat Berhak Tahu

TTI: Proses Tender Harus Terbuka, Masyarakat Berhak Tahu

Selasa, 10 Juni 2025 11:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Koordinator Transparansi Tender Indonesia, Nasruddin Bahar. [Foto: dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Di tengah berbagai sorotan publik terhadap proses pengadaan barang dan jasa di tanah air, isu transparansi dalam proses tender kembali menjadi sorotan utama.

Tidak sedikit proyek pemerintah yang menuai kecurigaan karena dianggap sarat kepentingan dan minim keterbukaan.

Padahal, menurut Koordinator Transparansi Tender Indonesia (TTI), Nasruddin Bahar, transparansi adalah pilar utama dalam mewujudkan integritas dan efisiensi dalam setiap proses tender, baik di sektor pemerintah maupun swasta.

"Transparansi dalam tender bukan hanya soal memajang pengumuman di website. Ini soal komitmen terhadap keadilan, akuntabilitas, dan keterbukaan dari awal hingga akhir,” ujar Nasruddin Bahar kepada Dialeksis.com, Selasa (10/6/2025).

Transparansi tender, menurut Nasruddin, mencakup empat aspek utama: keterbukaan informasi, keadilan prosedural, dokumentasi yang akurat, dan ruang partisipasi publik.

Keterbukaan informasi harus menyentuh semua lini, mulai dari jadwal tender, spesifikasi teknis, kriteria evaluasi, hingga hasil pemenang.

“Semua calon penyedia jasa harus punya akses yang sama. Kalau satu pihak dapat informasi lebih awal atau ada komunikasi tersembunyi dengan panitia, itu sudah mencederai prinsip dasar tender,” tambahnya.

Ia juga menegaskan pentingnya dokumentasi evaluasi yang terdigitalisasi dan tersimpan dengan baik agar mudah diaudit sewaktu-waktu.

Transparansi bukan semata idealisme, tetapi kebutuhan mutlak untuk mencegah penyimpangan yang berujung pada pemborosan anggaran dan hilangnya kepercayaan masyarakat.

Dengan sistem yang terbuka, ruang untuk permainan di balik layar semakin sempit. Setiap langkah panitia dapat dipantau dan ditelusuri jejaknya.

“Kalau masyarakat bisa melihat bahwa proses tender dilakukan secara fair, maka trust kepada lembaga publik akan tumbuh dengan sendirinya,” katanya.

Pelaku usaha kecil hingga menengah lebih percaya diri untuk ikut berkompetisi jika tahu bahwa tidak ada 'pemenang yang sudah disiapkan.

Panitia tender dapat dipertanggungjawabkan karena seluruh proses tercatat rapi dan bisa dikaji ulang.

Namun, mewujudkan transparansi bukan perkara mudah. Nasruddin menyebut tantangan utama datang dari kultur birokrasi yang masih tertutup dan enggan bertransformasi secara digital.

“Banyak lembaga belum siap secara teknologi dan SDM. Ada juga yang sengaja mempertahankan ketertutupan karena takut praktik lama mereka terungkap,” ucapnya.

Manipulasi juga tetap mungkin terjadi meski data sudah dibuka ke publik. Bentuknya bisa dalam evaluasi teknis yang sulit diverifikasi, atau ‘main cantik’ antara panitia dan peserta tertentu.

Sebagai solusi, Transparansi Tender Indonesia mengajukan langkah strategis yaitu Platform e-procurement harus menjadi tulang punggung proses pengadaan. Semua informasi tender dipublikasikan secara real-time dan dapat diakses siapa saja.

Selain itu, Aparatur negara dan panitia tender wajib mengikuti pelatihan tentang prinsip pengadaan yang adil dan akuntabel.

Lembaga masyarakat sipil dan auditor independen harus dilibatkan untuk mengawasi proses tender dari luar sistem.

“Kalau pelanggaran dibiarkan tanpa sanksi, maka transparansi hanya akan jadi slogan,” tegas Nasruddin.

Di tengah era digital dan tekanan publik yang semakin kuat, Nasruddin optimis bahwa Indonesia mampu bertransformasi ke arah sistem pengadaan yang bersih.

Namun ia menekankan bahwa perubahan ini harus dimulai dari kemauan politik dan kesadaran kolektif seluruh pihak.

“Transparansi bukan urusan teknis semata, tapi moralitas sistem. Kalau proses tender saja bisa dimanipulasi, bagaimana mungkin kita bicara pembangunan yang adil?” tutupnya. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI