Beranda / Berita / Pojok Iqbal / Angkara Murka Sang Kanda

Angkara Murka Sang Kanda

Minggu, 19 April 2020 11:30 WIB

Font: Ukuran: - +


(From left to right: Zhu De, Zhou Enlai, Chen Yun, Liu Shaoqi, Mao Zedong, Deng Xiaoping. Original photograph taken at the '7,000 Cadre Big Conference', 1962. Published: 1982, December: Renmin Meishu Chubanshe)


Republik Tiongkok, awal dekade 1960-an

"Ketua, rakyat kita banyak yang kelaparan! Menunggu titah, Ketua" gusar Deng, kala itu.

"Harap kebijaksaan Ketua, program Lompatan Jauh ke Depan gagal. Malah efeknya puluhan juta rakyat mati dengan perut kosong" sambung Liu.

Kelompok kecil yang menghadap Sang Ketua itu terdiam. Khawatir tokoh paling senior di Partai dan Pemerintahan mereka itu murka dengan sikap kritis kali ini, setelah sekian lama terbiasa dengan perlakuan Asal Kanda Senang.

"Lompatan Jauh ke Depan itu penting. Kita akan mengejar ketertinggalan dan mencapai kemajuan dalam waktu singkat." Geram tertahan, Ketua masih menahan sabar.

"Ketua, pada zaman Chiang Kai-shek rakyat memiliki nasi untuk dimakan. Dalam era kejayaan Ketua Mao, rakyat hanya memiliki bubur jadi-jadian." Lapor Chen.

Zhu De menambahkan, “Jumlah rakyat yang mati bukan hanya angka-angka statistik belaka, Ketua. Itu adalah kehidupan yang hilang akibat salah kebijakan”

"Masalah kematian puluhan juta rakyat, pekerjaan besar sudah tentu risikonya akan pecah piring dan gelas selusin-dua lusin, hal itu janganlah jadi soal!" Amarah meluap, Ketua membentak, seraya mengutip alasan paling bagus yang pernah diucapkan pemimpin atas kematian sia-sia rakyatnya.

"Tidak, Ketua harus mundur sekarang. Keadaan tidak bisa dibiarkan menjadi lebih parah!" Tegas kelompok kecil itu sepakat. Tokoh paling dihormati, disegani, ditakuti seantero China tersebut pun berhenti mengelola kekuasaannya.

Ternyata, Ketua Besar Mao tidak 'se-kanda' itu bagi Liu Shaoqi, Deng Xiaoping, Chen Yun, Zhu De, Lo Rui Qing dan beberapa kawan-kawan lain.

Mereka yang progresif adalah orang yang cerdas dan pintar, yang nalarnya tidak lantas mati dengan taklid dan takzim yang berlebihan terhadap senior maupun pimpinan. Mereka tidak mau didominasi atau dihegemoni, mereka suka dengan pola yang egaliter dan inklusif.

Kanda Mao marah, mengalah tapi belum mau kalah. Dia berikan wewenang kepada juniornya untuk menggelar acara versi mereka. Ketua panitia Liu Shaoqi, mendirikan 'panggung ekonomi kreatif'. Kanda Mao kesal programnya tidak dipakai lagi, lalu mempersiapkan aksi balas dendam untuk dilaksanakan sewindu kemudian.

Barangkali para junior sering lupa, yang mana tongkat ospek masih dipegang oleh senior mereka. Kanda Mao menggelar acara tandingan bertajuk 'Piasan Revolusi Kebudayaan'. Kanda Mao menghantam dinda yang paling bandel. Liu Shaoqi dibuatnya menemui ajal secara perlahan dan menyakitkan.

Kawan akrab mereka, Peng Dehuai juga mati menggenaskan karena disiksa. Deng Xiaoping yang masih hidup, mungkin doa orang yang teraniayanya dikabulkan Tuhan.

Kanda Mao kembali memegang tampuk kekuasaan, dia dibantu oleh para dinda-dinda paling loyal lainnya, yang bahkan menggangap kentut Kanda Mao pun sebagai nasihat paling cemerlang.

Seperti Jenderal Lin Biao dan para perwira militer aliran radikal. Serta jangan lupa, fraksi politik paling kuat, berjuluk "Geng Empat", empat sekawan Jiang Qing, Zhang Chunqiao, Yao Wenyuan, dan Wang Hongwen.

Lin Biao sepertinya tipe mahasiswa yang tidak lulus mata kuliah sejarah politik, dengan mengulang kesalahan sama.

Lin yang efektif mengelola kekuasaan mulai pada tahun 1969, kedapatan melakukan aktivitas aneh dengan memobilisasi kekuatan besar militer. 

Kanda Mao boleh telah uzur, tapi firasat politiknya tidak pernah kendur.

Kecurigaannya tidak tertahan, Kanda Mao sekali lagi memberikan jeweran kuping bagi dinda yang melawan. Manuver Kanda Mao dibantu dinda yang masih loyal, Zhou Enlai. Hasilnya Lin Biao mati dalam kecelakaan pesawat yang aneh pada 1971 di Mongolia.

Deng yang selamat, berhasil dengan tertatih-tatih merangkak pelan dalam politik. Pelan, perlahan menunggu momentum. Deng berusaha menjadi dinda yang patuh dan baik pasca Revolusi Kebudayaan. Trauma melawan Kanda yang marah, ia sabar menunggu hingga pada September 1976, Kanda Mao kalah melawan penyakit yang diderita beberapa tahun terakhir.

Deng is back! Hanya butuh satu tahun Deng kembali memegang puncak kekuasaan, membersihkan musuh-musuh lama, termasuk geng empat sekawan musuh bebuyutannya.

Deng tahu persis, sesungguhnya Kanda itu selalu ingin dihormati. Dan jangan pernah sesekali memancing kemarahan Sang Kanda, Deng telah paham akibatnya seperti apa.

Malaysia, awal dekade 1970-an

Mahathir Mohamad, left, and Anwar Ibrahim in September 1997, a year before the prime minister sacked his deputy, Kuala Lumpur, Malaysia (AP Photo/Bernama)

"Kanda, Bumiputera tidak pantas miskin di rumah sendiri. Apa artinya kemerdekaan dari penjajah jika kita kaum Melayu masih berkutat dengan kemiskinan?" Gusar Anwar Ibrahim, kepada Kanda yang sangat dihormatinya.

"Itulah mengapa saya menulis buku The Malay Dilemma, kamu udah baca kah?" ujar Dr. M kepada Anwar.

"Sudahlah Kanda, memang menjadi dilema bagi kita bangsa Melayu yang terlalu toleran kepada pendatang, sehingga kita ditundukkan dalam ekonomi oleh bangsa lain yang dulunya punya kolusi dengan kolonialis Inggris." Anwar menyahuti.

Mahathir Mohamad tertegun, meresapi pernyataan Anwar barusan. Saat itu negara Malaysia baru saja terbentuk, dan harus mengalami kerusuhan rasial paling besar. Kelompok pribumi Melayu menuntut hak dalam bidang ekonomi dan eksklusivitas lain.

Sejak merdeka pada tahun 1963, gejolak sentimen antar golongan etnis bergejolak. Singapura keluar dari federasi negara bagian pada tahun 1965, setelah setahun sebelumnya meledak kerusuhan rasial disana.

Sentimen ini semakin memuncak ketika koalisi politik etnis tionghoa berjaya di Pemilu 1969, meski aliansi pribumi dengan UMNO sebagai motornya masih memenangi pemilu.

Pawai euphoria yang digelar kedua belah pihak berakhir rusuh. Ratusan orang tewas dan banyak korban luka-luka. Negara muda sedang diuji dengan cobaan multikulturalisme masyarakatnya.

Mahathir menulis pemikiran politiknya dalam The Malay Dilemma pada tahun 1970, saat itu dia berseberangan dengan PM pertama Malaysia, Tun Abdul Rahman. Buntut dari perselisihan ia dipecat dari keanggotaan Partai UMNO. Dianggap terlalu kritis menyatakan perbedaan pandangan.

Anwar Ibrahim aktivis muda yang memihak Mahathir dalam konfrontasi melawan Tun Abdul Rahman, yang akhirnya mundur dari jabatan PM pada tahun 1970, dianggap bersalah atas peristiwa kerusuhan rasial setahun sebelumnya. Setelah Tunku tidak menjabat lagi, Mahathir masuk kembali ke UMNO.

Awal dekade 1980-an Mahathir punya karir bagus dalam politik, hingga akhirnya dilantik menjadi Perdana Menteri Malaysia pada tahun 1981. Tahun-tahun pertama menjabat PM, Mahathir telah berselisih pendapat dengan kekuasaan feodal Malayasia.

Mahathir mengajukan amandemen Konstitusi Malaysia yang memangkas hak-hak kuasa Yang di-Pertuan Agong, dan berusaha menguatkan posisi kewenangan parlemen. Raja Ahmad Syah dari Pahang”di-Pertuan Agong saat itu, awalnya menyetujui amandemen karena “dikelabui.”

Setelah para Sultan Melayu berembuk dan sepakat, Raja Ahmad Syah lalu beubah sikap dengan menolak amandemen. Mahathir mengorganisir demonstrasi di jalanan. Anwar sebagai anak baru di Partai UMNO, tentu mendukung pendapat Kanda mentornya.

Krisis politik berakhir setelah lima bulan, saat Mahathir dan para Sultan Melayu saling menyepakati usulan win-win solution dalam amandemen konstitusi baru tahun 1983.

Sebenarnya tidak benar-benar sama untung. Analoginya, parlemen punya lima kelereng, penguasa feodal punya sepuluh. Mahathir membuat tawaran pembagian kelereng untuk parlemen sepuluh, sisa lima kelereng untuk penguasa feodal.

Hasil akhir (yang katanya win-win solution) yakni delapan untuk parlemen dan tujuh untuk sisanya. Penguasa feodal merasa laba dua kelereng dari tawaran awal, padahal rugi tiga dari status quo.

Pada suatu ketika...

"Dinda, di mana posisi? Perjuangan kita berhasil. Kapan silaturrahmi sama Kanda," sapa Dr. M riang gembira.

"Siap Kanda, selamat atas pelantikan menjadi Perdana Menteri ke-4 dalam sejarah bangsa kita. Arahan, Kanda?" Sambut lawan bicara dari seberang telepon, tak kalah antusias.

"Oke, nanti tolong bantu kabinet ya, kali ini harus mau!?" desak Mahathir dengan gusar.

Anwar memang telah menjadi aktivis muda kawakan yang paling diperhitungkan seantero Malaysia. Membawahi banyak massa dan kader. Pernah menolak pelbagai jabatan yang ditawarkan PM-PM sebelumnya. Namun kali ini berbeda, Mahathir Mohamad bukan orang yang ia ingin tolak tawarannya.

Anwar akhirnya menjawab, "Siaap terima perintah Kanda, kalau untuk Kanda kalau ada mana ada,"Dr M mengakhiri percakapan.

"Bekerja(sama)lah dengan baik, akan ada suksesi selanjutnya. Kawan-kawan jaman susah tetap jadi prioritas."

Sejak itu, Anwar Ibrahim masuk kabinet. Awal karier politik dalam pemerintahan menjadi Menteri Kebudayaan, Belia dan Sukan. Lalu menjadi Menteri Pertanian dan Industri Makanan.

Selanjutnya menjabat Menteri Pendidikan sebelum diberi amanah Menteri Keuangan pada 1991. Jabatan ini yang melambungkan namanya, pada masa itu Mahathir memperkenalkan kebijakan monumental, Wawasan 2020 atau Visi 2020.

Visi menjadikan Malaysia sebagai negara berjaya tiga puluh tahun ke depan. Anwar juga dipromosikan menjadi Wakil PM tahun 1993.

Beberapa tahun kemudian hingga tahun 1997, Malaysia menikmati fase terbaiknya. Pertumbuhan ekonomi lebih dari sembilan persen per tahun.

Kesenjangan kemiskinan yang semakin tipis, di bawah sepuluh persen dari keseluruhan jumlah populasi. Mobil nasional Proton grafiknya sangat signifikan. Keberhasilan pemindahan pusat pemerintahan ke Putrajaya. Banyak keberhasilan domestik lainnya yang dicapai.

Analis ekonomi dan keuangan menyebut nama Anwar, menteri keuangan sebagai personal yang berpengaruh dalam pencapaian penting tersebut.

Apakah Dr M terganggu? Awalnya tidak. Ketika para penghasut mengadu domba, ia tidak menggubris. Baru pada akhirnya perubahan nyata sikap Anwar kepada Mahathir, membuka sejarah baru dalam hubungan Kanda-Dinda diantara keduanya.

Anwar mulai berubah sikap menjauhi Mahathir yang mulai banyak ditentang banyak pihak. Mahathir dalam menjaga kekuasaannya, membungkam oposisi dan pengkritik, mulai tidak populer karena intervensinya terhadap hukum. 

Anwar juga mengkritisi nepotisme dalam partai dan pemerintahan sebagai biang korupsi kroni.

Dan perselisihannya (lagi-lagi) Mahathir dengan penguasa feodal Malaysia, Mahathir dengan dibantu oleh media akhirnya memaksakan amendemen konstitusi tahun 1994. Perubahan konstitusi yang membuat Kesultanan Melayu kehilangan tiga kelereng lagi. Pemerintahan parlementer sebelas, penguasa feodal "tersisa" empat lagi.

Perselisihan Anwar dengan Mahathir baru benar-benar serius saat petaka ekonomi itu menghampiri Malaysia. Krisis moneter yang melanda Asia pada tahun 1997.

"Kanda, negara kita kena imbas krisis. Kurang bijak rasanya melakukan sistem kurs tetap dalam mata uang, kita harus memakai jurus mazhab pasar bebas menghadapi krisis ini, termasuk buka kran investasi asing dan liberalisasi perdagangan." Saran Anwar sesuai jabatannya sebagai Menteri Keuangan.

Mahathir kesal, "Ahh, krisis ini kan juga disebabkan oleh spekulan sialan broker finansial kayak George Soros, yang diam-diam jadi pengabdi agama liberalisasi ekonomi paling taat!"

Anwar belum menyerah, membantah sewot, "Kita juga harus melakukan paket penghematan, pemotongan pengeluaran pemerintah hingga 20%, memotong gaji menteri dan menunda proyek-proyek besar inisiatif Kanda."

Anwar masih tidak mau berhenti bicara, "Dan yang paling penting, kita harus pakai dana talangan dari IMF. Korea Selatan, Thailand dan Indonesia juga gitu, kok!"

"Persetan dengan IMF dan semua bantuan palsunya, kita udah coba simulasi strategi mereka. Jadinya semakin parah ini penyakit! Kita besarkan anggaran belanja pemerintah, kita kontrol mata uang dan investasi yang masuk, terus menurunkan suku bunga," kali ini Mahathir marah sekali. Benar-benar marah.

Mahathir akhirnya menolak bantuan IMF yang penuh ketentuan prasyarat kebijakan moneter dan fiskal ketat. Kekesalannya terhadap Anwar tidak tertahan lagi, ia memecat Anwar dari posisi Wakil Perdana Menteri sekaligus Menteri Keuangan. Anwar juga dikeluarkan dari Partai UMNO.

Tidak berhenti disitu, Anwar dipenjarakan dengan dakwaaan kasus amoral sarat aroma politisasi. Ganjaran yang dianggap paling pantas dari seorang Kanda untuk dindanya yang tidak tahu diuntung.

Setelah itu, rupanya jurus ekonomi Mahathir berhasil. Malaysia sembuh dari krisis keuangan, lebih cepat daripada tetangga-tetangganya di Asia Tenggara. Mahathir memperoleh kembali kekuatan dan reputasinya dihadapan publik.

Rakyat Malaysia bisa berseru sekarang, klaim bahwa Mahathir lah yang hebat bukan Anwar. Ia mengelola kekuasan dengan nyaman, nyaris tanpa hambatan yang serius. Mengakhiri jabatan sesuai hirarki yang telah ia susun. Mewarisi kursi PM kepada juniornya di UMNO, Abdullah Ahmad Badawi yang disiapkan jauh-jauh hari.

Pada saat pelantikan Badawi, ia tersenyum sumringah. Apakah sepak terjang Kanda Dr. M telah berakhir? Belum, Mahathir kemudian kesal dengan Pak Lah karena membatalkan beberapa kebijakan monumental miliknya dan dianggap terlalu lemah menghadapi Singapura.

Mahathir menggalang kekuatan hingga membuat Pak Lah mundur dari jabatannya pada 2009. Dengan cerdik, Mahathir menempatkan dindanya yang lain sebagai pengganti, Najib Tun Razak.

Mungkin Mahathir tidak tahu dan pernah mau tahu, keinginan junior untuk lepas dari arahan dan campur tangan senior. Najib tidak terlalu melibatkan seniornya dalam pengambilan keputusan penting, membuat Mahathir kembali kecewa.

Dr M mulai mengkritik pemerintahan, dan momentum yang tepat datang pada saat skandal mega korupsi 1MDB yang dilakukan Najib terkuak ke publik.

Najib melawan, dengan kekuasaannya sebagai PM dan kekuatan yang telah lama dipersiapkan untuk kondisi ini.

Dia tahu suatu saat akan berhadapan dengan Kanda yang melegenda. Mahathir sampai harus turun gunung, namun kekuatannya tidak akan pernah cukup. Hingga akhirnya dia terpaksa berdamai dengan masa lalu. Balikan dengan mantan terindah. Hanya Anwar yang bisa membantu memukul Najib, Mahathir paham betul tentang itu.

Anwar (lagi-lagi) menerima ajakan Mahathir, dengan beberapa prasyarat. Dia harus pih dan bebas dari segala hukuman. Dan jikapun perjuangan menang, maka masa memerintah harus dibagi dua. Setengah-setengah waktu jabatan Perdana Menteri.

Mahathir mengiyakan tawaran tersebut. Jadilah duet Kanda-Dinda yang dasyat ini menghantam PM Najib dan UMNO. Anwar-Mahathir menang, Najib lengser pada 2018.

Mahathir menggantikannya, ia mengambil kesempatan yang pertama. Memperbaiki kerusakan akibat kekacauan politik dalam negeri sambil mempersiapkan transisi pergantian kekuasaan ditengah masa jabatannya kepada The Chosen One (Sang Terpilih), Anwar Ibrahim.

Tapi, sejarah menuliskan cerita berbeda. Mahathir membuat manuver saat waktu penyerahan kekuasaan tiba. Ia mengundurkan diri, pemerintahan koalisi bubar. Otomatis membatalkan perjanjian dengan Anwar, walau komposisi parlemen tetap.

Rencananya, Mahathir berharap Yang di-Pertuan Agong menunjuknya kembali sebagai PM sementara. Sembari menghimpun konsolidasi politik menyambut posisi definitif.

Namun apa hendak dikata, Raja Malaysia malah menunjuk Muhyiddin Yassin menjadi PM. Muhyiddin adalah dinda yang lain dari Mahathir, pemimpin Partai Pribumi Bersatu Malaysia, partainya Mahathir.

Keputusan Yang di-Pertuan Agong ini juga didukung oleh perhimpunan penguasa feodal Melayu lainnya. Hasil akhirnya: Anwar Ibrahim, NO. Mahathir Mohamad, NO.

Gagalnya Mahathir sebagai Plt Perdana Menteri mempunyai dua kemungkinan paling besar. Pertama, hasil akhir sesuai strategi yang telah dirancang alias by design, memainkan peran victim violence dari Mahathir yang tidak ingin dikenang sebagai pengkhianat oleh publik karena tidak memenuhi janjinya memberikan kursi PM kepada Anwar.

Atau kemungkinan kedua, hasil akhir memang kecelakaan by nature. Dimana “sisa empat kelereng” yang dimiliki oleh penguasa feodal Melayu dimanfaatkan dengan sempurna oleh di-Pertuan Agong ke 16, Raja Abdullah dari Pahang untuk menunaikan pembalasan dendam temurun, yang dimasa lampau telah "mengelabui" ayah kandungnya Raja Ahmad Syah di-Pertuan Agong ke 7, pada peristiwa Amandemen Konstitusi Malaysia tahun 1983.

Mengelabui untuk menghilangkan hal paling sakral bagi para Sultan Melayu, mencoba menghilangkan hak kekuasaan kaum feodal selama ratusan tahun telah menjadi privilege keturunan mereka.

Jika kemungkinan ini adalah fakta sejarah, maka Mahathir Sang Fenomenal telah berhasil "dikelabui" balas. Kemenangan penting penguasa feodal, pada masa semakin sempitnya otoritas yang mereka miliki.

Terlepas dari dua alasan utama itu, Mahathir terlihat senang dengan hasil akhir seperti ini. Seperti pepatah Aceh lama, “keu loen tan, keu keujih han” (jika tidak untuk saya, maka juga tidak untuk dia). Mahathir Mohamad kelihatannya cukup puas, melihat Anwar gagal bersanding di pelaminan bersama “Jabatan PM”.

Dan menjadi penguat streotip, sepertinya Anwar Ibrahim memang ditakdirkan untuk menjadi orang yang paling telak dikerjain oleh Sang Kanda.

Epilog:

Percakapan-percakapan diatas tentu saja rekaan imajinatif, namun tetap bedasarkan kejadian nyata yang disusun dari sumber bacaan ilmiah.

Rekaan imajinatif membantu memahami peristiwa sejarah yang seringkali ditulis secara kaku membosankan. Mengupayakan menjadi versi "sachet", agar ringkasan sejarah bisa dinikmati sepraktis snack makanan ringan.

Kesimpulan moral yang didapat, “Menjadi Kanda bukan hanya persoalan hirarkis, melampaui itu juga persoalan historis serta filosofis. Kadangkala, seorang Kanda tidak sebercanda itu.”

Iqbal Ahmady M Daud, Pengajar di Ilmu Politik FISIP Unsyiah, Penyuka Kopi Sanger Solong Ulee Kareng

Keyword:


Editor :
Sara Masroni

riset-JSI
Komentar Anda