Selasa, 07 Oktober 2025
Beranda / Politik dan Hukum / Iskandar A Gani: Pendidikan Politik Jadi Kunci Cegah Politik Pragmatis dan Oportunis

Iskandar A Gani: Pendidikan Politik Jadi Kunci Cegah Politik Pragmatis dan Oportunis

Senin, 06 Oktober 2025 09:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Wakil Ketua Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, Iskandar A Gani, menegaskan pentingnya semua pihak untuk peduli dan serius melakukan pendidikan politik lintas sektor. [Foto: dok dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Wakil Ketua Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, Iskandar A Gani, menegaskan pentingnya semua pihak untuk peduli dan serius melakukan pendidikan politik lintas sektor. 

Menurutnya, penguatan literasi politik bagi masyarakat bukan hanya tanggung jawab lembaga penyelenggara pemilu semata, tetapi juga menjadi tugas bersama partai politik, pemerintah daerah, lembaga pendidikan, media massa, dan masyarakat sipil.

“Kalau kita ingin demokrasi Aceh ini sehat, maka kita harus mulai dari membangun kesadaran politik masyarakat. Pendidikan politik harus menyentuh semua lapisan, mulai dari kampus, dayah, organisasi pemuda, hingga komunitas masyarakat. Tujuannya agar publik memahami bahwa politik itu bukan sekadar perebutan kekuasaan, tetapi ruang untuk mengabdi dan memperjuangkan kepentingan publik,” ujar Iskandar kepada Dialeksis saat dihubungi, Senin (6/10/2025).

Iskandar menekankan bahwa etika dan moral harus menjadi fondasi utama dalam berpolitik. Ia menilai, tanpa nilai-nilai etik yang kuat, praktik politik akan mudah tergelincir ke arah pragmatis dan oportunis.

“Pendidikan politik adalah benteng terakhir melawan pragmatisme dan oportunisme dalam demokrasi. Tanpa pendidikan politik, rakyat dengan mudah digiring; dengan pendidikan politik, rakyat mampu memilih dengan nurani,” tegas Iskandar.

Menurutnya, saat ini banyak aktor politik yang kehilangan makna politik sebagai alat perjuangan ide dan gagasan. “Yang terjadi sekarang, politik lebih dilihat sebagai transaksi. Ini berbahaya,” ujarnya.

Ia mencontohkan fenomena yang semakin marak dalam setiap momentum pemilu: praktik politik uang, pembagian barang, hingga janji jabatan.

“Ini semua adalah bentuk dari politik brutal yang menggerus esensi demokrasi. Akibatnya, kualitas pemimpin yang lahir dari proses politik seperti ini sering kali tidak berbasis pada kapasitas dan integritas, melainkan hasil dari kemampuan finansial,” tambahnya.

Menurut Iskandar, politik transaksional menyebabkan hilangnya kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi.

“Ketika masyarakat melihat bahwa suara mereka bisa dibeli, maka semangat partisipasi menurun. Orang menjadi apatis terhadap politik. Padahal, demokrasi yang baik itu bergantung pada partisipasi aktif warga yang sadar dan rasional,” katanya.

Ia juga menambahkan bahwa dampak jangka panjang dari praktik ini sangat serius, terutama bagi kualitas pemerintahan.

“Pemimpin yang lahir dari proses politik transaksional akan membawa beban moral dan finansial. Akhirnya, keputusan-keputusan publik bisa saja diarahkan untuk mengembalikan ‘modal politik’, bukan untuk kepentingan rakyat,” jelas Iskandar.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, Iskandar mengajak semua pihak untuk berkolaborasi dalam mendorong pendidikan politik yang konstruktif. Ia menilai, kolaborasi lintas sektor harus diperkuat agar pendidikan politik tidak berhenti pada tataran formal, tetapi juga menyentuh ruang publik secara luas.

“Media massa punya peran besar dalam mencerdaskan masyarakat. Begitu juga akademisi dan lembaga pendidikan yang bisa menanamkan nilai-nilai demokrasi dan etika politik sejak dini. Pemerintah daerah juga perlu mendukung program pendidikan politik yang berkelanjutan,” katanya.

Iskandar berharap agar setiap momentum elektoral, seperti Pilkada 2024 dan Pemilu 2029 mendatang, menjadi ajang untuk memperkuat nilai-nilai demokrasi substantif, bukan sekadar ritual lima tahunan.

“Pendidikan politik bukan hanya menjelang pemilu. Ini harus menjadi gerakan sosial yang terus-menerus dilakukan, agar kita bisa menghasilkan pemimpin yang berintegritas dan masyarakat yang melek politik,” ujarnya.

Lebih lanjut, Iskandar mengajak para pemuda dan pemilih pemula untuk tidak mudah tergoda oleh iming-iming materi atau janji politik yang menyesatkan. Ia mendorong agar generasi muda mengambil peran sebagai agen perubahan dalam memperbaiki kualitas demokrasi di Aceh.

“Pemuda hari ini harus menjadi barisan pertama yang menolak politik uang. Mereka harus berani bersikap kritis dan idealis, karena masa depan demokrasi Aceh ada di tangan mereka. Kalau mereka ikut arus pragmatisme, maka sulit bagi kita membangun pemerintahan yang bersih dan berkualitas,” pungkasnya.

Menurut Iskandar, demokrasi yang sehat hanya bisa tumbuh dari masyarakat yang memiliki kecerdasan politik dan kesadaran etis.

“Pendidikan politik sejatinya bukan hanya soal memahami sistem pemilu, tapi juga menanamkan nilai kejujuran, tanggung jawab, dan kepedulian. Itulah inti dari politik beretika,” tutupnya. [arn]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI