Kamis, 26 Juni 2025
Beranda / Politik dan Hukum / Plt Wakil Jaksa Agung: Pembaruan KUHAP Harus Akui Kearifan Lokal dan Teknologi

Plt Wakil Jaksa Agung: Pembaruan KUHAP Harus Akui Kearifan Lokal dan Teknologi

Rabu, 25 Juni 2025 23:00 WIB

Font: Ukuran: - +


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Plt. Wakil Jaksa Agung Republik Indonesia, Prof Dr Asep N. Mulyana, menyatakan bahwa pembaruan hukum acara pidana (KUHAP) yang tengah dibahas pemerintah dan DPR perlu mencerminkan perkembangan sosial-hukum nasional, termasuk kearifan lokal seperti hukum syariah di Aceh serta pemanfaatan teknologi informasi dalam sistem peradilan pidana.

Pernyataan itu disampaikan saat memberikan pidato kunci dalam Seminar Nasional Pembaruan Hukum Acara Pidana yang digelar Program Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Rabu (25/6/2025). 

Seminar bertema “Pembaruan Hukum Acara Pidana dalam Kerangka Integrated Criminal Justice System dan Implikasinya terhadap Penegakan Hukum Syariah di Aceh” ini dihadiri ratusan peserta dari kalangan akademisi dan praktisi hukum, baik secara luring maupun daring.

Dalam paparannya, Asep menekankan pentingnya integrasi sistem peradilan pidana di Indonesia melalui pendekatan kolaboratif antarunsur penegak hukum. Sistem ini, kata dia, bukan sekadar pembagian tugas formal, tetapi juga harus berbasis nilai, efisiensi, dan perlindungan hak asasi manusia.

Ia juga menyoroti pentingnya pergeseran paradigma hukum pidana dari orientasi hukuman ke arah pemulihan keadilan. Hal ini mencakup pemberian sanksi alternatif seperti kerja sosial untuk pelanggaran ringan, sebagaimana diterapkan di beberapa daerah di Indonesia.

“Hukum bukan hanya untuk aparat. KUHAP yang baru harus memberi ruang bagi keadilan yang substantif, dengan mempertimbangkan kondisi sosial dan kemanusiaan pelaku,” kata Asep.

Ia juga menekankan bahwa teknologi informasi harus menjadi bagian integral dari sistem hukum nasional, terutama untuk mengatasi kendala geografis seperti koordinasi kejaksaan dan kepolisian di wilayah terpencil.

Dalam konteks Aceh, Asep menegaskan bahwa penegakan hukum syariah harus berjalan berdampingan dengan prinsip negara hukum Indonesia. Ia menilai, pengalaman Aceh menjadi cerminan bagaimana kearifan lokal dapat diakomodasi secara konstitusional.

Ketua Program Studi Doktor Fiqh Modern UIN Ar-Raniry, Prof Dr Syahrizal Abbas menyatakan bahwa sejumlah rekomendasi penting juga disampaikan dalam forum ini terkait posisi hukum syariah di Aceh dalam pembaruan KUHAP. 

Guru Besar Hukum UIN Ar-Raniry ini menyebut bahwa KUHAP baru perlu mengakui keberadaan sistem hukum pidana berbasis syariat Islam yang telah dijalankan di Aceh.

“Aceh telah memiliki hukum pidana materil melalui Qanun No. 6 Tahun 2014 dan hukum acara jinayat melalui Qanun No. 7 Tahun 2013. Keduanya harus menjadi bagian yang diakui dalam KUHAP nasional,” kata Syahrizal.

Menurutnya, penegasan kewenangan lembaga penegak hukum syariah seperti kepolisian syariah, penyidik PPNS, Kejaksaan Syariah, dan Mahkamah Syar’iyah harus secara eksplisit diatur dalam KUHAP. Ia menekankan pentingnya integrasi lembaga ini dalam kerangka integrated criminal justice system yang tetap memperhatikan prinsip-prinsip hak asasi manusia.

Tak hanya itu, seminar juga mendorong pengakuan terhadap praktik peradilan adat di Aceh sebagai mekanisme penyelesaian tindak pidana ringan. Proses ini dianggap selaras dengan prinsip mediasi penal dalam Islam, melalui konsep sulh (perdamaian) dan afw (pemaafan), yang dinilai efektif untuk menjaga harmoni sosial.

Selain Prof Asep, seminar ini juga menghadirkan sejumlah narasumber di antaranya Prof Dr Pujiyono Suwadi (Ketua Komisi Kejaksaan RI), Prof Dr Topo Santoso (Guru Besar Hukum Pidana UI), Prof Dr Faisal dan Prof Dr Mohd Din (Guru Besar Fakultas Hukum USK), serta Prof Dr Syahrizal Abbas (Guru Besar Hukum UIN Ar-Raniry). []

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
dpra