Selasa, 18 November 2025
Beranda / Politik dan Hukum / Rahmat Salam: Revisi UUPA Harus Perjelas Kewenangan dan Tata Kelola Otsus

Rahmat Salam: Revisi UUPA Harus Perjelas Kewenangan dan Tata Kelola Otsus

Selasa, 18 November 2025 14:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Rahmat Salam, Ketua Umum Komite Pemantau Pembangunan dan Pengelolaan Aset Linge-Alas (KP3ALA) Pusat serta menjabat sebagai Sekjen Apvokasi RI. [Foto: RRI]


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Pembahasan revisi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) kembali menjadi sorotan publik. Ketua Umum Komite Pemantau Pembangunan dan Pengelolaan Aset Linge-Alas (KP3ALA) Pusat, Rahmat Salam, menilai revisi UUPA harus menjadi momentum memperjelas kewenangan, memperbaiki tata kelola Dana Otonomi Khusus (Otsus), serta memastikan kesejahteraan masyarakat Aceh tidak lagi berjalan di tempat.

Dalam pernyataannya, Rahmat menekankan bahwa proses revisi UUPA harus ditempatkan dalam kerangka demokrasi politik, demokrasi ekonomi, dan kekhususan Aceh sebagaimana diatur dalam perjanjian damai dan ketentuan nasional.

Rahmat yang juga sebagai Sekjen Apvokasi RI menyebut salah satu aspek yang harus dievaluasi dalam revisi UUPA ialah penegasan batas kewenangan antara Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat. Selama ini, tumpang tindih regulasi sering memicu perbedaan tafsir di lapangan.

Ia menambahkan, kewenangan Wali Nanggroe juga perlu ditulis secara khusus dan lebih tegas dalam revisi. Apalagi jika lembaga tersebut nantinya berperan di beberapa provinsi dalam satu wilayah adat Aceh, bukan hanya di Provinsi Aceh.

“Penataaan kewenangan yang jelas akan membuat administrasi pemerintahan lebih tertib dan mengurangi potensi konflik regulasi,” ujar Rahmat kepada dialeksis.com, Selasa (18/11/2025).

Rahmat menilai perpanjangan Dana Otsus sangat penting bagi pembangunan Aceh, namun ia menegaskan bahwa transparansi pemanfaatannya masih menjadi persoalan mendasar. KP3ALA meminta seluruh kabupaten/kota, khususnya wilayah Aceh Leuser Antara (ALA) dan Aceh Barat Selatan (ABAS), membuka data penerimaan dan penggunaan Dana Otsus sejak pertama dialokasikan hingga sekarang.

“Silakan ungkapkan data: sudah dapat apa saja, berapa, di mana, dan kapan. Publik berhak tahu pembagian kue Dana Otsus,” tegasnya.

Dalam diskusinya bersama mahasiswa doktor Administrasi Publik, Rahmat menggarisbawahi beberapa persoalan yang selama ini muncul terkait Dana Otsus, antara lain:

1. Minim transparansi, sehingga publik tidak mengetahui alokasi dana secara rinci.

2. Laporan tidak jelas atau tidak dipublikasikan, sehingga sulit mengukur efektivitas penggunaannya.

3. Partisipasi masyarakat rendah, terutama di daerah pedalaman yang jarang terlibat dalam perencanaan program.

4. Potensi korupsi dan penyalahgunaan, yang menurutnya belum menjadi perhatian serius penegak hukum.

5. Evaluasi kurang komprehensif, karena tidak jelas indikator apa yang digunakan dalam penilaian.

“Kisah-kisah pilu dari masyarakat pedalaman menunjukkan bahwa Dana Otsus tidak sepenuhnya menjawab kebutuhan riil masyarakat,” ujar Rahmat.

Selain itu, Rahmat menyoroti perlunya pengaturan lebih jelas terkait pembagian hasil sumber daya alam (SDA) Aceh. Menurutnya, banyak SDA telah diambil dari bumi Aceh namun kontribusinya terhadap pendapatan daerah belum terasa signifikan.

Ia memberi perhatian khusus pada Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang memiliki nilai ekologis global. “Berapa pembagian hasil KEL? Berapa persen wilayah Aceh yang mendapatkan manfaat? Ini penting didiskusikan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan dan era karbonisasi dunia,” katanya.

Menindaklanjuti keluhan masyarakat ALA dan ABAS, Rahmat mengajukan sejumlah usulan untuk memperbaiki tata kelola Dana Otsus hasil pemikiran Rahmat meliputi transparansi menyeluruh, termasuk publikasi laporan penggunaan dana secara daring. Selanjutnya pelibatan masyarakat, agar program Otsus sesuai kebutuhan nyata.

“Hal lain perlu diperbaiki dana Otsus yakni evaluasi efektivitas yang jelas, dengan indikator yang dapat diukur publik. Terakhir yakni pencegahan korupsi, sejalan dengan agenda nasional pemerintahan Presiden Prabowo,” jelasnya.

Rahmat berharap tim penyusun revisi UUPA mempertimbangkan masukan publik secara terbuka. Menurutnya, revisi UUPA tidak boleh dikerjakan secara tertutup karena menyangkut masa depan Aceh dalam jangka panjang.

“Revisi UUPA harus berpihak pada kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, bukan sekadar pembangunan infrastruktur,” ujarnya.

Ia menutup pernyataannya dengan harapan agar revisi UUPA menjadi titik balik penguatan otonomi Aceh sekaligus memperbaiki tata kelola pemerintahan yang lebih bersih dan berorientasi pada pembangunan berkelanjutan.

“Semoga Allah SWT memudahkan segala urusan yang harus kita hadapi,” tutup Rahmat Salam Pengamat Otonomi Daerah dan Administrasi Lingkungan. [arn]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI