Beranda / Dialog / Muslahuddin Daud: Aceh Miskin Karena Banyak Program Tidak Sinkron

Muslahuddin Daud: Aceh Miskin Karena Banyak Program Tidak Sinkron

Selasa, 10 September 2019 20:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Muslahuddin Daud, sempat 13 tahun bekerja di Bank Dunia, lalu memilih membangun pertanian di Lamteuba, Aceh Besar, sebelum baru-baru ini ditunjuk sebagai Ketua PDIP Aceh. [Foto: Raja Umar/Kompas.com]

Kemiskinan di Aceh tak pernah habis dibahas. Kondisi ini tak lepas dari sejumlah ketimpangan tata kelola pemerintahan dan perencanaan program yang tidak tepat sasaran serta tidak terintegrasi secara lintas sektor. 

Muslahuddin Daud, tokoh pertanian Aceh yang kini menjabat Ketua PDIP Aceh, mengungkapkan beberapa faktor Aceh terus terpuruk, yang selama ini tak pernah disampaikan ke publik. 

Berikut petikan wawancara dengan mantan staf World Bank itu, Kamis (29/8/2019) lalu, oleh Makmur Emnur dan Ikbal Fanika dari Dialeksis.com.

Aceh saat ini masih mendapatkan otsus, sudah jalan satu dekade lebih, tapi Aceh belum bisa lepas dari keterpurukan, Aceh masih miskin di Sumatera. Bagaimana pandangan Pak Muslahuddin, kalau dikaitkan dengan kondisi ekonomi Aceh saat ini?

Kalau kita bicara soal kemiskinan, ada dua aspek. Pertama dari aspek pelayanan sosial, yang kedua dari sisi ekonomi. Itu dua hal yang harus kita lihat.

Kalau dari sisi yang paling banyak disorot oleh masyarakat kan soal ekonomi, sementara hal-hal yang lain kurang disorot, antaranya apa sih sebenarnya yang membuat orang miskin? Itu kan kategori misalkan pemenuhan hak-hak dasar, soal rumah kah, soal biaya hidup, soal kesehatan, soal pendidikan, itu semuanya berkaitan dengan kemiskinan.  

Akan tetapi ketika kita bicara soal kemiskinan secara umum orang akan banyak mengaitkannya dengan aspek ekonomi, dimana aspek ekonomi itu berkaitan dengan pendapatan.

Apa tolak ukur pendapatan kita?

Kalau pendapatan di sisi Bank Dunia kan itu 2 dolar AS per hari. Kalua kita bicara dua dolar per hari, sebenarnya kemiskinan di Aceh itu bukan 16 %, itu malah lebih. Tapi kita bicara 1 dolar saja. Angka kita kan cuma 16, sekian persen artinya juga cukup tinggi.

Nah ketika kita bicara soal angka-angka seperti itu, maka kita harus mengaitkannya dengan apa yang menyebabkan sehingga angka-angka seperti itu.

Jadi menurut kacamata saya, bahwa driver utama ekonomi Aceh adalah dana pemerintah baik itu sifatnya APBN, APBA maupun APBK, itu driver utama.

Kalau estimasi saya itu sekitar 65 % sebagai sopir utama peningkatan ekonomi. Beda dengan wilayah lain seperti Sumatera Utara, DKI dan wilayah-wilayah maju.

Wilayah-wilayah maju leading sektornya itu sudah beralih dari dana pemerintah ke berbagai sektor swasta. 

Secara rumus yang sering digembar-gemborkan oleh para ekonom, idealnya itu peran pemerintah hanya 25 % dan 75 % peran swasta.

Di Aceh?

Kalau kita di Aceh itu sebaliknya, peran dari pemerintah sangat besar sementara peran dari pemerintah daerah kecil, di sinilah persoalannya.

Persoalan dari dana pemerintah itu biasanya sangat ditentukan oleh tata kelola dari pemerintah itu sendiri. Dalam hal ini yang dimaksud dengan tata kelola adalah peruntukan dari pada sumber pendanaan tersebut.

Nah kalau kita lihat dari proses peruntukan sistem perencanaan, yang pertama saya lihat itu tidak ada, kurangnya sinkronisasi, harmonisasi, dari tingkat pusat sampai dengan daerah, ini yang menjadi problem.

Jadi kucuran-kucuran dana oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten itu tidak tersinkronisasi dengan baik.

Jadi akhirnya apa, kalau bahasa saya waktu masih di Bank Dunia itu spending mix (aspek utilisasi anggaran) atau penggunaan anggaran, dengan kegunaan di lapangan bagaimana dana itu dipakek tidak kompatibel, tidak seimbang. Sehingga daya ungkit ekonomi dari dana tersebut tidak jadi, ini yang jadi persoalan.

Bagaimana contohnya?

Misalkan, kalau kita bicara soal sektor-sektor yang serumpun, jadi misalnya kalau sektor serumpun itu, kalau misalnya dalam kontek pertanian, itu kan kehutanan, perkebunan, pangan, bepedas, BKSDA dan pengairan. Itu ada sekitar 7.

Jadi pertanyaannya adalah apakah ke-7 SKPA ini sinkron dalam perencanaan? Itu yang jadi persoalan. Kalau saya lihat itu tidak sinkron sehingga tidak terjadi optimalisasi.

Contoh sederhana, ketika orang bicara pertanian itu melulu bicara soal budidaya bagaimana produksinya. Sehingga orang tidak mau peduli bahwa syarat untuk meningkatkan produksi itu harus ada prasyaratnya, syaratnya adalah air.

Ketika bicara air, orang akan melihat dinas pengairan, ketika melihat pengairan orang tidak tahu, apa peran dari pengairan itu berapa besarannya. Orang kan tidak tahu, misalnya irigasi primer, biasa dari (dana_red) APBN, kemudian bagaimana dengan sekunder dan tersier, itu biasanya tanggung jawab provinsi dan kabupaten.

Nah kadang ada, meskipun ada saluran primer sekundernya tidak ada, tersiernya juga tidak ada, ujungnya itu tadi, airnya tidak sampai ke sawah. Kemudaian kalau kita bicara irigasi bagus, primernya bagus, sekundernya bagus, tersiernya juga bagus, tapi debetnya kurang. 

Debetnya kurang itu tergantung bagaimana Bapedas (Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai) mengelola sungai, bagaimana landscapenya, bagaimana water spot areanya, bagaimana water-techment itu dijaga. Okelah water-techment itu dijaga, tapi bagaimana dengan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di wilayah itu.

Jadi itu semuanya yang harus terintegrasi. Tanpa proses terintegrasi seperti itu maka tidak akan terjadi optimalisasi, dipastikan. Dia kalau misalnya ditinjau dari aspek proyek selesai, tapi impact dari pada proyek tidak ada sehingga tidak terjadi daya ungkit.

Nah itu baru satu sektor, sama dengan sektor-sektor lain, begitu kita bicara marketlinks misalnya, market pasar, market pertanian-pertanian atau produk-produk lainnya, bagaimana korelasi antara Dinas Koperasi dan Disperindag, bagaimana korelasi Disperindag dengan BLK, bagaimana korelasi BLK dengan dinas-dinas lain yang serumpun, yang kerjanya, mirip-mirip.

Yang kerja mirip-mirip saja tidak sinkron konon lagi lintas sektor, nah itu yang jadi persoalan. Sementara yang diharapkan oleh pemerintah tidak hanya dari sisi proyek, tapi jasa dari pemerintah itu untuk melakukan kalau bahasa saya itu, creating an enabling environment atau proses penciptaan kondisi pemukiman.

Nah persoalannya hari ini ketika minimnya dana dari lintas sektor itu kenapa? Itu tentu saja dengan iklim bisnis, maka siapa yang harus menciptakan iklim cuaca yang baik di Aceh itu pemerintah, tujuannya pemerintah, regulasi-regulasinya seperti apa yang harus dilakukan. Ada persoalan-persoalan lapangan itu seperi apa yang harus diatasi.

Nah sekarang kalau kita lihat kenapa dulu ada  sekitar 174 investor sudah MoU tapi berapa banyak yang landing? Berapa banyak yang betul-betul realisasi? Sangat kecil, hanya di bawah 10 %.

Pada masa siapa itu?

Itu banyaklah saat gembar-gembor pada masa Irwandi tingkat awal, itu banyak sekali investor yang datang, dengan seminar, dengan lokakarya, dengan berita-berita di harian itu mungkin terlalu banyak tandatangan MoU, tamu lah segala macam, tapi kenapa itu realisasinya kurang.

Persoalannnya adalah BEE (business enabling environment) ada proses, kondisi pemukiman, dilakukan usaha. Disinilah dituntut kelihaian tata kelola tadi saya katakan. 

Siapa yang bertanggung jawab soal ini, siapa yang mengurus ini, tentang bagaimana menciptakan pemukiman, ini semuanya lepas, kalau kita lihat semuanya serba seremonial doang.

Artinya apa, misalnya ada badan informasi-informasi sebatas itu saja, seminar kah, fasilitasi seperti itu tetapi tidak tuntas dia, tidak tuntas sampai dengan jadi. Misalnya kasus dari pada pabrik semen, kasus yang ada di Nagan PT. EMM dan banyak lagi persoalannya.

Kenapa terjadi di ujung, sepertinya ada proses yang tidak optimal. Kita tidak mempersoalkan ada demo atau persoalan tanah tidak jadi, itu namanya proses stepping yang harus dilalui dari awal, sehingga kenapa orang lain bisa, kenapa provinsi-provinsi lain tidak begitu banyak bergejolak.

Mestinya ada proses langkah yang harus dilalui, ada proses yang dilompati, untuk kemudian orang bisa diprotes terjadi reaksi sosial, karena proses keterlibatan sosial tidak ada.

Lebih jelasnya?

Partisipasi publik dalam proses itu terbatas, mungkin karena hanya saya orang usaha harus izin dari pemerintah, tidak ada urusan saya sosial, yang sudah on paper oke, memang seperti itu dalam kondisi bisnis, apalagi kita itu masih pulih (dari konflik_red), begitu mudah dipercaya sama orang.

Nah, oleh karenanya kalau kita lihat dari porsi-porsi anggaran yang kita lihat dari pemerintah, katanya pengentasan kemiskinan, tapi riil-nya kelihatan? Mari kita bedah.

Katanya ada Rp 1,2 triliun untuk pengentasan kemiskinan, oke, mari kita bedah secara detail. Program-program tersebut menyentuh data basis data terpadu (BDT) misalnya yang dikeluarkan oleh PNT2K, kita lihat bagaimana targetingnya, persoalan targeting berarti tidak berjalan dengan baik. Targetting menjadi isu utama. Bagaimana menargetnya, ide-ide besar sudah banyak.  

Contoh ide-ide yang saya buat di Bappeda, pengentasan kemiskinan berbasis kawasan, itu pikiran saya, bagaimana merealisasikannya itu harus kita buat integrated dari pada tata kelolanya harus ada saker khusus dalam pengentasan kemiskinan, dimana seluruh kebutuhan pengentasan kemiskinan harus terealisasi sehingga ketika komponen-komponen kegiatan dibutuhkan tidak lagi membutuhkan lintas sektor lain.

Untuk itu, kalau istilah saya itu berbaik hati menganggarkan sesuai anggaran pengentasan kemiskinan tidak kita kelola satu atap, tapi kan semua ditolak ide-ide saya, dan berkali-kali presentasi di Bappeda malah saya mintakan orang lain untuk presentasi, mungkin saya seorang SAg tidak dipercaya secara kapasitas keilmuan, dipertanyakan orang, gak apa-apa lah kita minta kesedian orang lain untuk presentasi yang meyakinkan.

Bahwa ini salah satu solusinya, banyak usaha sih sebenarnya kalau kita lihat dari sisi dokumen baik di Bappeda itu look nice, persoalannya adalah political will tadi, jadi tata kelola kalau tidak diberanikan dengan political will itu tidak nyambung dia.

Makanya Aceh begini-begini aja, seperti yang kita lihat dalam dua hari ini, soal bibit itu misal. Bibit nila itu Rp 34,5 miliar. 

(Penelusuran Dialeksis.com, Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh menganggarkan Rp 37,8 miliar rupiah untuk pengadaan bibit ikan nila bersumber APBA 2019)

Bibit 4 dinas 335 miliar, kalau saya seorang petani saya melihat, pasti akan mengali-ngali (memperkirakan) ini satu ekor nila berapa harganya kalau Rp 34 miliar itu berapa ekor bibit, berapa sebaran dari tambaknya, setelah panen berapa banyak dikonsumsi sama orang, persentase orang mengkonsumsi nila itu berapa persen jika dibandingkan dengan tongkol, bandeng dan sebagainya. Sangat kecil.

Nah itu semua pemborosan kalau menurut saya. Kalau Bappeda-nya tidak lihai, itulah sebenarnya dapur perencanaan. 

Orang banyak duit itu biasa, tetapi ketika orang yang kurang duit dikelola dengan baik maka dia kan baik, itulah guna Bappeda.

Tapi kalau Bappeda hanya numpang lewat doang, melihat anggaran yang diusulkan oleh dinas, baik provinsi maupun kaupaten/kota, tanpa melakukan sinkronisasi, ya akhirnya seperti itu, ngomong boleh aja macam-macam tapi hasil ketika lihat di lapangan seperti itu.

Kalau misalnya dana hampir Rp400 miliar itu kita optimalisasikan saja aspek di segala struktur misalnya sudah berapa terakses? Besar sekali. Bukan saya tidak suka dengan bibit, bibit penting, tapi lihat dulu porsinya seperti apa.

Apakah benar masyarakat tidak perlu bibit atau masyarakat butuh kualitas bibit untuk beli sendiri, itu dua hal yang berbeda. Selama ini kan seharusnya peran pemerintah yang paling besar adalah apapun bibit yang beredar itu berkualitas.

Tidak usah dibilang inilah seolah-olah miskin kita. Pertanyaannya adalah kenapa bibit bertahun-tahun, apa masyarakat tidak bisa beli bibit? 

Oke, yang namanya bibit pertama itu orang permulaan, tapi kalau kontinuitas bibit selama bertahun-tahun, apakah itu bukan pemborosan? Jadi itu fakta-faktanya saja lah.

Selama ini bagaimana program dikelola, misal pertanian?

Masyarakat sekarang melihat outputnya apa, jangan ngeles, ini faktanya. Oleh karenanya, kalau kita lihat di lapangan yang namanya pertanian dan lain-lainnya tidak bisa berdiri sendiri.

Contoh kecil lah, saya sering katakan terkait dengan pertanian. Kenapa pertaniahn itu tidak begitu menggembirakan, karena ada 5 aspek menurut saya tidak terintegrasi.

Yang pertama adalah infrastruktur yang terintegrasi yang kegunaannya sesuai. Maksudnya kalau buat irigasi jelas airnya, kalau buat jalan jelas sampai ke kebunnya, kalau buat energi jelas kegunaannya energi sampai, bukan membuat air, membuat jalan, membuat energi ketika rakyat mau pakai tidak sampai.

Contoh pepaya. Tanam pepaya di Lamteuba (Aceh Besar) saya tanam 8 hektar. Ketika musim hujan itu kan becek, saya tidak bisa jalan. Sanggup buat jalan sendiri, akhirnya apa? 

Ongkos angkut dari kebut ke jalan itu Rp300. Kelihatan sederhana Rp300, tapi 8 ton itu berapa ongkos. 8 x 3, Rp 24 juta, ya kan, itu bisa seperti itu itu sederhananya, tidak hanya di sisi ongkos. Itu baru ongkos angkut, bagaimana dengan si pemetik. 

Apa tanggapan Anda soal inovasi di masyarakat?

Inovasi-inovasi yang ada di masyarakat cenderung terjadi sendiri di masyarakat ketimbang dari penyuluh, fungsi-fungsi penyuluh kita sangat terbatas.

Dari Bappeda penyuluh yang bersentuh langsung dengan masyarakat itu cuma 6 % dari total seluruh petani, kan sedih kita. Sementara di Aceh ada 226 BPP (Balai Penyuluh Pertanian). 

Di tingkat kecamatan, ada penyuluhnya, ada BPP-nya, tapi kenapa tidak optimal?

Nah itu lagi-lagi pemerintah tidak tahu melakukan distribusi kerja, sehinga sentuhan teknologinya tidak ada. Kemudian tidak koordinasi antara penyedia bibit dan obat-obatan.

Persoalannya adalah ketka rakyat butuh pupuk tidak ada. Ketika pupuk tersedia, masa pupuk sudah lewat, ini kan aneh menurut saya kalau di era kita.

Ternyata kadang-kadang kalau kita lihat, meskipun ada pupuk-pupuk subsidi yang diberikan pemerintah, tapi sampai ke rakyatnya juga tidak ada. Kalau pun sampai, sampainya lewat waktu.()

Keyword:


Editor :
Makmur Emnur

riset-JSI
Komentar Anda