DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Sengketa atas penetapan empat pulau yang terletak di perairan Aceh yakni Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Panjang memanas menyusul keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang secara resmi menetapkannya sebagai bagian dari Provinsi Sumatera Utara.
Keputusan itu memantik protes keras dari berbagai kalangan masyarakat di Aceh, termasuk dari organisasi masyarakat sipil Aliansi Pemuda Aceh (APA).
Muhammad Amin, Ketua Umum APA, kepada Dialeksis.com, Jumat (13/6/2025), menyebutkan bahwa keputusan Mendagri Tito Karnavian bukan sekadar kesalahan administratif, melainkan bentuk intervensi sepihak yang mencederai sejarah, hukum, dan rasa keadilan masyarakat Aceh.
“Pulau-pulau ini jelas tercatat dalam Staatsblad 1939 dan diperkuat dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 sebagai bagian dari Aceh. Tidak bisa serta-merta dialihkan begitu saja tanpa konsultasi dengan Pemerintah Aceh dan masyarakat adat. Ini bentuk pelecehan terhadap sejarah dan hak kedaulatan daerah,” ujar Amin.
Lebih dari sekadar batas wilayah, Amin menilai keputusan itu sarat kepentingan politik dan bisa menjadi batu sandungan bagi stabilitas nasional di tengah transisi pemerintahan menuju era baru di bawah Presiden Prabowo Subianto.
“Presiden Prabowo sedang dalam tahap konsolidasi untuk membawa Indonesia ke poros kekuatan baru dunia. Kita baru saja resmi bergabung dengan BRICS+, tapi di saat bersamaan muncul konflik internal yang bisa melemahkan arah geopolitik kita. Ini sangat mencurigakan,” tambahnya.
Aliansi Pemuda Aceh menyoroti dengan tajam latar belakang Mendagri Tito Karnavian yang disebut memiliki jejaring intelijen dan kedekatan dengan kepentingan global, khususnya agenda-agenda Barat.
Menurut Amin, ini saat yang tepat bagi Presiden Prabowo untuk menyaring ulang orang-orang yang akan menjadi mitranya dalam kabinet.
“Kami mendorong reshuffle kabinet, bukan semata-mata untuk efisiensi teknokratik, tapi demi menyelamatkan arah politik nasional. Kementerian strategis seperti Kemendagri, Menko Polhukam, dan Kemlu harus diisi oleh figur yang berintegritas dan loyal terhadap kedaulatan Indonesia yang multipolar,” tegas Amin.
Dalam konteks Aceh, ia mengingatkan bahwa integrasi Aceh ke dalam Republik Indonesia adalah buah dari sejarah panjang dan proses damai yang harus dijaga. Namun, kedaulatan itu tidak bisa dipertahankan dengan cara-cara yang menciderai perasaan dan hak-hak historis masyarakat lokal.
“Aceh adalah bagian sah NKRI, tapi bukan berarti bisa diperlakukan semena-mena. Bila pusat ingin memperkuat kesatuan nasional, maka keadilan wilayah dan penghormatan terhadap sejarah adalah syarat utamanya,” katanya.
Aliansi Pemuda Aceh juga menyerukan kepada seluruh elemen sipil, baik di Aceh maupun nasional, untuk tidak diam melihat peristiwa ini.
Menurut mereka, konflik perbatasan yang semestinya bisa diselesaikan lewat dialog dan kajian sejarah yang akurat justru diputuskan secara sepihak oleh pemerintah pusat, tanpa partisipasi daerah.
“Jangan biarkan konsolidasi geopolitik Indonesia diganggu oleh agenda tersembunyi dari elite lama yang masih bercokol dalam sistem pemerintahan. Ini saatnya generasi baru dan kekuatan sipil mengambil peran,” pungkasnya. [nh]