Beranda / Berita / Aceh / Apresiasi Soal Revisi UU ITE, Akademisi: Selama Ini Banyak Orang Melapor Hal Sepele

Apresiasi Soal Revisi UU ITE, Akademisi: Selama Ini Banyak Orang Melapor Hal Sepele

Jum`at, 19 Februari 2021 19:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Alfi Nora

Akademisi Informatika Universitas Syiah Kuala, Muslim Amiren. [For Dialeksis]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Akademisi Informatika Universitas Syiah Kuala (USK), Muslim Amiren, mengapresiasi usulan Presiden Joko Widodo terkait dengan wacana revisi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 yang mengatur Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE).

Menurut Muslim, selama ini UU ITE tersebut banyak digunakan untuk saling melapor, rasa keadilan dibolak-balikan, orang salah punya alat untuk berkelit. Kadang, akar persoalan tidak tersentuh tetapi yang dibesarkan justru permasalahan turunannya.

"Contohnya, seorang warga mengkritik ketidaksiapan fasilitas dan kekurangnyamanan dalam pemindahan pasar baru Kota Banda Aceh, dari Peunayong ke Lamdingin. Sehingga banyak pedagang kembali ke pasar lama," ujarnya saat dihubungi Dialeksis.com, Jumat (19/2/2021).

Yang mengkritik kemudian dipolisikan dengan menggunakan UU ITE. Padahal akar persoalannya, pemerintah tidak melakukan survei yang cukup sebelum pembuatan lokasi pasar baru.

Akibatnya, ketika pedagang dipindahkan, pedagang setiap hari saat mencium bau tidak sedap yang ditiup angin dari lokasi pembuangan sampah Kampung Jawa. Belum lagi udara panas yangg bertiup dari arah laut dan ada TPI Lampulo yang hanya 200 meter yang masih menjajakan ikan juga.

Contoh lainnya, kata dia, seseorang dilaporkan karena komentarnya yang sembarangan dan dianggap mencemarkan nama baik orang lain. Ketika dia ingin minta maaf, terus dia dihadapkan pada situasi ‘wani piro?’

Muslim menjelaskan, selama ini seseorang akan mudah dijebloskan ke penjara hanya karena sebuah kritikan atau keinginan untuk memperbaiki situasi.

"Dikhawatirkan pada ujungnya, UU ITE dapat mematikan budaya kritis dan saling mengingatkan. Ini akan berbahaya untuk perkembangan sebuah bangsa yang sedang belajar berdemokrasi," kata Muslim.

Sebagai Akademisi, Muslim sepakat dengan langkah-langkah Presiden Joko Widodo dalam merevisi pasal-pasal yg multitafsir. Tidak semua laporan diterima.

Menurutnya, selama ini banyak orang melapor hal-hal sepele, yang harusnya bisa diselesaikan di tingkat mukim, gampong, bahkan cukup di level keluarga besar. Tidak harus semua dilaporkan ke polisi, dengan membawa beking orang-orang hebat.

"Saran saya, salah satu alternatif untuk menyalesaikan kasus ITE secara bermartabat ialah memperkuat lembaga peradilan adat baik di level dusun, gampong maupun mukim," sarannya.

Hal itu karena banyak yang bertikai dengan UU ITE selama ini ialah orang-orang yang saling kenal dan kawan akrab dulunya. Tetapi kemudian, ketika kasus ini dibawa ke pengadilan, terserah siapa yang menang atau kalah, maka dua orang ini sulit untuk kembali duduk ngopi bersama.

"Ada rasa kecewa dan saling dendam yang sulit untuk dihilangkan. Namun, kalau diselesaikan pada level adat atau gampong dengan 'bulukat kunen' dan 'pesijuek' serta saling memaafkan diakhiri mengopi bersama. Suasana sebagai saudara otomatis akan kembali ke hati mereka," ungkapnya.

"Bayangkan kalau melalui pengadilan yang bisa berminggu-minggu, berbulan-bulan bahkan bisa bertahun-tahun belum selesai juga. Hek deh," pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Sara Masroni

riset-JSI
Komentar Anda