Beranda / Berita / Aceh / Wacana Penundaan Pemilu Kembali Mencuat, Ini Penjelasan Akademisi

Wacana Penundaan Pemilu Kembali Mencuat, Ini Penjelasan Akademisi

Senin, 07 Maret 2022 09:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : fatur

Akademisi Fakultas Hukum USK, Zainal Abidin. [Foto: Dialeksis]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Wacana penundaan pemilu yang akhir-akhir ini mencuat menjadi sebuah topik yang menarik untuk dibahas akhir-akhir ini.

 Sebelumnya, wacana penundaan Pemilu 2024 kembali mencuat usai Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar menyampaikan usulan tersebut beberapa waktu lalu. Ia mengaku sudah berkeliling Indonesia dan menyerap aspirasi dari masyarakat. Hasilnya, pemulihan ekonomi imbas pandemi Covid-19 masih berjalan.

Kemudian, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan juga menyampaikan mendukung usulan penundaan pemilu 2024. Secara garis besar, alasannya sama dengan Cak Imin yakni seputar pemulihan ekonomi.

Akademisi Fakultas Hukum USK, Zainal Abidin mengatakan, Isu Penundaan Pemilu akhir-akhir ini mencuat dan merebak ke ruang publik baik di pusat maupun di daerah, disebabkan isu penundaan tersebut berimbas pada perpanjangan masa jabatan Presiden/Wakil Presiden dan masa jabatan anggota DPR/DPRD. Sekaligus isu penundaan Pemilu itu inkonstitusional, sarat kepentingan elit politik dan merusak demokrasi.

Berdasarkan UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu menentukan bahwa Pemilu dapat saja ditunda apabila terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam atau gangguan lainnya yang mengakibatkan tahapan penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan. 

“Akan tetapi penundaan Pemilu yang dimaksudkan oleh UU Pemilu tersebut, tidak untuk menerabas konstitusi. Misalnya Pasal 7 UUD menentukan Presiden dan Wapres memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Artinya penundaan Pemilu hanya bisa terjadi dalam masa periodisasi Pemilu (tahun Pemilu) dan tidak untuk memperpanjang masa jabatan Presiden/Wapres dari dua periode menjadi tiga periode,” ujarnya kepada Dialeksis.com, Senin (7/3/2022).

Selanjutnya, Dirinya menjelaskan, Berdasarkan konstitusi Pemilu merupakan siklus politik lima tahunan, Pasal 22E UUD mengingatkan bahwa Pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali, dan KPU telah menetapkan Pemilu 2024 akan dilaksanakan pada 14 Februari 2024. 

“Untuk itu dapat dikatakan bahwa keinginan menunda Pemilu sehingga Pemilu tidak bisa dilaksanakan dalam siklus lima tahunan merupakan pelanggaran, pengabaian, pelecehan dan pengkhianatan terhadap konstitusi,” sebutnya.

“Sekali lagi saya katakan bahwa menurut konstitusi Pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali, derivasi konstitusionalnya bahwa Pemilu tidak dapat dilaksanakan setiap 7 tahun atau 10 tahun sekali. Kalau ini dipaksakan, maka akan menimbulkan ketidakpastian politik dan hukum, membangkang konstitusi, menggerogoti demokrasi, delegitimasi pemerintahan/kekuasaan, instabilitas dan potensi menimbulkan konflik dalam masyarakat menuai sikap pro dan kontra,” jelasnya. 

Kemudian, kata Zainal, Berdasarkan Pasal 433 ayat (3) UU Pemilu memang Presiden memiliki wewenang terkait dengan Penundaan Pemilu.

“Tetapi hanya penundaan setelah penetapan tahapan Pemilu dalam Pemilu siklus lima tahunan. Mengamandemen konstitusi untuk menunda Pemilu bagi kepentingan elit politik yang berimbas pada perpanjangan masa jabatan merupakan tindakan memalukan dan membahayakan. Merubah konstitusi dimungkinkan sepanjang alasannya bagi penyelamatan negara dan perlindungan rakyat, jadi tidak bisa dilakukan secara serta merta atas kesepakatan elit,” kata Zainal. 

Lebih lanjut, Dia mengatakan, Bila isu penundaan Pemilu dikaitkan dengan IKN yang belum selesai atau situasi ekonomi tidak menentu, maka bagi saya bukan Pemilunya yang ditunda tetapi pelaksanaan/penyelenggaraan Pemilunya yang disederhanakan sehingga tidak menguras anggaran negara yang besar. Banyak negara tidak menunda Pemilunya karena alasan ekonomi, karena bisa disiasati sehingga demokrasi bisa diselamatkan.

“Dampak penundaan Pemilu apabila dipaksakan tidak hanya terjadi di pusat kekuasaan, Aceh juga akan terasa dan terbelah diantara komponen pro dan elemen kontra sehingga berpotensi riuh dan gesekan sosial,” pungkasnya. [ftr]



Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda