Beranda / Berita / Aceh / Walhi Aceh: Praktik Ilegal Galian C Disepanjang DAS Peusangan Sudah Sangat Memprihatinkan

Walhi Aceh: Praktik Ilegal Galian C Disepanjang DAS Peusangan Sudah Sangat Memprihatinkan

Kamis, 12 September 2019 14:03 WIB

Font: Ukuran: - +

Kerusakan badan jalan di Gampong Kulu, Kecamatan Kutablang, Bireun. Foto:Ist


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Walhi Aceh mengungkapkan praktik liar pertambangan pasir dan batu yang tersebar di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Peusangan sudah masuk pada tahap yang memprihatinkan. Pertambangan ini dikelola oleh masyarakat tanpa ada izin dari pemerintah alias illegal.

Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Divisi Advokasi Walhi Aceh M. Nasir pada acara konferensi pers temuan Walhi Aceh terhadap praktik pertambangan ilegal galian C di sepanjang DAS Peusangan.

"Di Kabupaten Bireun kami temukan ada 47 lokasi penambangan yang illegal. Itu baru ditemukan di 5 kecamatan, dari total 17 Kecamatan yang ada di Bireun," ungkap Nasir dihadapan awak media.

Bukan hanya di Kabupaten Bireun, lanjut Nasir, di Aceh Utara pihaknya juga menemukan 4 titik praktik penambangan galian C yang dianggap bermasalah. Ia menyebutkan lokasi pertambangan tidak sesuai dengan lokasi izin yang diberikan.

"Disini masyarakat sebenarnya pernah melarang, namun tidak digubris oleh penambang," terangnya.

Nasir menjelaskan ada beberapa faktor penyebab sehingga praktik liar itu marak berkembang.

"Pertama faktor ekonomi, karena dianggap menjadi lapangan kerja buat masyarakat. Masing-masing lokasi tambang mampu mempekerjakan antara 3-5 orang. Belum lagi dengan pekerja yang memuat pasir ke dump truck. Ongkos muat ini bisa mencapai Rp 30 ribu/dump truck," jelasnya.

Selanjutnya, gampong lokasi penambangan juga mendapat pendapatan dari kutipan kontribusi dump truck yang mengambil material.

"Kebutuhan material pembangunan dan kurangnya pengawasan dari pemerintah menjadi faktor berikutnya sehingga praktik illegal itu tumbuh subur," pungkas Nasir.

Dia mengatakan, maraknya penambangan galian C illegal ini telah berdampak pada kerusakan lingkungan yang telah dirasakan nyata oleh masyarakat.

"Sebagai contoh, menurut masyarakat ambruknya jembatan rangka baja Kutablang, Bireun yang terjadi tahun lalu, disebabkan oleh terkikisnya dasar sungai akibat dari pengambilan pasir di daerah itu," kata dia.

Bukan hanya itu, sambungnya, penambangan batu dan pasir yang dikelola tanpa izin ini telah mengakibatkan 100 meter badan jalan tepi sungai wilayah Desa Blang Panjoe, Kec. Peusangan, Bireun menjadi tergerus dan amblas.

"Dampak yang lain juga dirasakan oleh PDAM Krueng Peusangan dimana ongkos produksi menjernihkan air menjadi mahal karena air menjadi keruh akibat pengerukan pasir," ujarnya.

Nasir menerangkan peralihan proses perizinan dari kabupaten ke provinsi menjadi dalih bagi penambang enggan mengurus proses perizinan. 

"Alasannya jarak yang jauh ke Banda Aceh dan proses perizinan yang panjang," ucap Nasir.

Pada akhir keterangannya Nasir menjelaskan, Walhi Aceh menilai kondisi ini telah masuk pada tahap yang memprihatinkan dimana secara ekologis kehadiran tambang illegal telah berdampak pada menurunnya kualitas air dan rusaknya fisik sungai dari pengambilan komoditas pasir, baik yang dilakukan secara tradisional, maupun menggunakan mesin penyedot, dan alat berat.

"Infrastruktur jalan rusak, tebing sungai, dan terganggunya fasilitas air bersih juga bagian dari kerugian yang harus ditanggung oleh pemerintah daerah. Disisi lain, pendapatan daerah dari pajak galian C tidak sebanding dengan jumlah kerugian yang ditimbulkan," tutupnya. 





Keyword:


Editor :
Im Dalisah

riset-JSI
Komentar Anda