Beranda / Berita / Ekonom Cium Bau Politik di Balik Tarif Cukai Rokok

Ekonom Cium Bau Politik di Balik Tarif Cukai Rokok

Kamis, 02 September 2021 18:30 WIB

Font: Ukuran: - +


Ekonom Faisal Basri. [Foto: Instagram LBH Jakarta]

DIALEKSIS.COM | Jakarta - Ekonom Senior Faisal Basri 'mengendus' bau politik di balik penetapan kebijakan tarif cukai hasil tembakau (CHT). Ia mensinyalir ada lobi-lobi politik yang dilakukan perusahaan rokok ke beberapa menteri, lingkaran istana, termasuk anggota DPR.

Indikatornya, kata Faisal, alotnya penetapan target penerimaan dari cukai rokok 2022. Ini membuat penetapan tarif cukai rokok tidak kunjung selesai. Padahal, target penerimaan lainnya, seperti PPh, PPN, PPnBM, dan instrumen pajak lainnya sudah final.

"Ada tekanan-tekanan politik, ini kan satu-satunya target penerimaan negara yang belum ditetapkan secara definitif adalah cukai rokok 2022. Target penerimaan lain sudah, cukai rokok yang belum, menunggu digolkan dulu. Jadi jangan sepenuhnya menyalahkan Kemenkeu karena ini lobi rokok luar biasa," bebernya pada webinar Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), Kamis (2/9).

Menurut Faisal, ada oknum pengusaha yang meminta mantan pejabat negara untuk melobi penguasa saat ini untuk membuat peta jalan kebijakan yang menguntungkan pabrik rokok.

Ia menyebut berbagai celah dipakai untuk memberi untung pelaku usaha. Bahkan, ia mengaku gundah mengetahui keputusan terkait peta jalan (roadmap) simplifikasi CHT akan diputuskan oleh salah satu menteri yang dekat dengan pengusaha rokok.

Tak cuma itu, ia juga menyebut di lingkaran istana, ada yang kerap pasang badan melindungi kepentingan perusahaan rokok.

"Jangan lupa melihat perspektif ekonomi politik dari rokok, belum lagi rokok sangat dekat dengan istana. Sangat dekat dengan pabrik rokok. Kalau ada apa-apa diserang, ada yang pasang badan," ujar Faisal.

Pada kesempatan sama, Faisal meminta agar pemerintah tidak menggantungkan penerimaan negara dari cukai, termasuk cukai rokok, meskipun menggiurkan. Ia menyebutkan dari berbagai instrumen pajak, hanya cukai saja yang konsisten naik sejak 2019.

Pada 2020 misalnya, penerimaan dari cukai naik Rp4 triliun dari tahun sebelumnya menjadi Rp176 triliun. Kemudian pada 2021 diproyeksikan bertumbuh lagi menjadi Rp182 triliun. Sedangkan pada 2022, pemerintah menargetkan penerimaan cukai kembali naik menjadi Rp204 triliun.

Faisal menilai RI harus belajar dari Ethiopia, Moldova, dan China yang tidak mengandalkan cukai sebagai penerimaan negara. "Enggak boleh lah nyawa manusia ini, masyaallah masa kita kalah sama Ethiopia yang lebih miskin tapi tidak mau mengandalkan penerimaan dari rokok," terang Faisal.

Ia mengusulkan agar cukai rokok dikerek ekstrem hingga 50 persen guna menekan jumlah perokok. Pasalnya, kebijakan harga masih menjadi faktor pertimbangan utama perokok di RI. Namun, ia menyebut kebijakan ekstrem tidak mungkin diambil karena pengaruh oligarki di pemerintahan.

"Naik 50 persen enggak bakal lah, ikuti roadmap saja 12,5 persen setiap tahun tapi, jangan kalau mau pemilu ditunda, itu loh memang oligar-oligar ini luar biasa," tutupnya. (CNN Indonesia)

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda