Beranda / Berita / Pengusaha Ramai-Ramai 'Keroyok' DPR

Pengusaha Ramai-Ramai 'Keroyok' DPR

Rabu, 25 Agustus 2021 10:30 WIB

Font: Ukuran: - +


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) hari ini melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan para pelaku usaha dan asosiasi di tanah air. Hal ini terkait dengan revisi Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP).

Rapat ini, yang dipimpin oleh fokus pembahasan yang dilakukan ada dua klaster yakni pajak karbon dan cukai terutama cukai plastik.

Dalam rapat ini, para pelaku usaha dan asosiasi fokus pada penetapan pajak karbon yang tertuang dalam revisi RUU KUP. Penetapan ini dinilai tidak tepat sehingga ramai-ramai menolak untuk diberlakukan, bahkan diminta dikeluarkan dari RUU KUP.

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Arsjad Rasjid mengatakan, usulan pencabutan kluster pajak karbon dari RUU KUP bahkan datang dari 18 asosiasi pengusaha yang ada di Indonesia. Dan tentu di dalamnya ada ratusan pengusaha yang menolak rencana pengenaan pajak karbon.

"Rencana pengenaan pajak karbon diyakini justru dapat memperburuk perekonomian Indonesia. Para pelaku industri telah berupaya meminta penghapusan pengenaan pajak karbon tersebut," ujarnya melalui keterangan resmi yang dikutip, Selasa (24/8/2021).

Menurutnya, ada beberapa pertimbangan mengapa para pelaku usaha dan asosiasi menolak rencana penetapan pajak karbon ini. Pertama, berpotensi menimbulkan dampak negatif yang sangat signifikan dan sistemik terutama bagi kestabilan perekonomian Indonesia, neraca perdagangan dan pendapatan negara.

Sebab pajak karbon ini akan menambah beban biaya perusahaan dan membuat perusahaan tertekan, memperlemah daya saing dan meningkatkan laju impor ke Indonesia.

"Penurunan kinerja industri memicu terjadinya perampingan, pemutusan hubungan kerja (PHK), dan tidak menutup kemungkinan penutupan usaha atau pabrik," kata dia.

Kedua, ketergantungan proses produksi dan distribusi industri terhadap bahan bakar fosil masih sangat tinggi, hal ini berdasarkan data Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Bahkan hingga triwulan kedua 2020, bauran EBT nasional baru mencapai 10,9%, naik tipis dari capaian hingga akhir 2019 yang sebesar 9,1%.

Ketiga, belum banyak negara sedang berkembang yang menerapkan pajak karbon, dan rata-rata yang menerapkan adalah negara maju yang menghasilkan emisi karbon dan tidak mempunyai area hijau yang luas untuk menekan peningkatan emisi karbonnya.

Ia menjelaskan, bahkan di Asia Tenggara, hanya Singapura yang menerapkan pajak karbon pada tahun 2019, yang berlaku hanya bagi sektor energi. Sementara Thailand dan Vietnam memutuskan untuk mempelajari penerapan skema perdagangan karbon atau emission trade system (ETS).

Di Indonesia, pemerintah dinilai belum membuat peta jalan atau roadmap energi yang komprehensif, yang memetakan rencana dan upaya pengaturan energi, sehingga dapat memenuhi target Paris Agreement, yaitu netral karbon di tahun 2050.

"Akibat perencanaan pajak karbon tidak matang, masyarakat pun bisa menjadi korban. Hal ini terjadi di Perancis pada tahun 2018, masyarakat melakukan protes besar-besaran melalui Gerakan aksi jaket kuning atau Yellow Jacket Movement. Masyarakat menolak keras penerapan pajak karbon karena dianggap sebagai dalang dari beratnya beban masyarakat atas kenaikan harga

bahan bakar," jelasnya.

Oleh karenanya, pengusaha ini ramai-ramai menolak dan meminta pajak karbon dihapuskan dari RUU KUP dan meminta pemerintah terlebih dahulu untuk membuat peta jalan energi yang holistik dan kemprehensif.

Serta meminta pemerintah untuk melibatkan pemangku kepentingan termasuk pelaku industri dalam upaya menurunkan emisi energi, dan juga mempertimbangkan skema perdagangan karbon sebagai alternatif pengurangan emisi karbon.

"Jika melihat dampak dari sisi daya saing dan daya beli, kami memohon kepada komisi XI untuk tidak memasukkan tax carbon di dalam RUU KUP," ujar Ketua Umum Inaplas Edi Rivai dalam rapat yang sama.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto juga menyampaikan dua poin yang menjadi pertimbangan pihaknya mengapa menolak pajak karbon diterapkan.

Pertama, karena akan mengancam daya saing industri keramik. Apalagi industri keramik saat ini digempur oleh produk impor. Dimana pada semester I-2021 impor keramik dari China, India dan Vietnam melonjak hingga 61% dibandingkan tahun sebelumnya.

Kedua, penerapan pajak karbon akan menyebabkan kenaikan biaya produksi, sehingga akan membebani pelanggan. Dengan demikian, pelanggan akan kabur dan lebih memilih produk dengan harga yang lebih murah seperti impor.

"Di tengah kondisi lemahnya daya beli masyarakat dan murahnya produk impor akan membuat industri keramik semakin terperosok," tegasnya.[CNBC Indonesia]


Keyword:


Editor :
M. Agam Khalilullah

riset-JSI
Komentar Anda