Beranda / Liputan Khusus / Dialetika / Martabat Aceh dan Caleg Tidak Lulus Baca Al-Quran

Martabat Aceh dan Caleg Tidak Lulus Baca Al-Quran

Senin, 19 Juni 2023 18:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Bahtiar Gayo

KIP Aceh menggelar tahapan uji mampu baca Alquran di Asrama Haji Embarkasi Aceh, Banda Aceh. [Foto: AJNN/Iskandar]


Uji kemampuan baca Quran

Pelaksanaan uji mampu baca Al-Qur'an bagi Bakal Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024 telah dilaksanakan sejak tanggal 6-12 Juni 2023.

Hasilnya, terdapat 1.175 bakal calon dinyatakan mampu uji tes baca Al Quran. 19 orang bakal calon anggota legislatif (Bacaleg) DPRA tidak lulus uji tes baca Al Quran. Sementara 590 Bacaleg DPRA tidak mengikuti/ tidak hadir dalam seleksi uji baca Al-Qur'an hingga batas waktu yang ditentukan.

Belakangan muncul polemik atas hasil uji baca Al quran tersebut. Lantaran KIP Aceh masih memberikan kesempatan kepada Bacaleg yang tidak hadir pada uji baca Quran di tanggal 6-12 Juni 2023 lalu.

Menurut Kepala Bagian Teknis Penyelenggara Pemilu Komisi Independen Pemilihan Aceh, Fahmi dalam keterangan yang diterima oleh dialeksis.com, Jumat (16/6/2023), Bacaleg DPRA yang hadir 1.194 orang dan 50 orang lainya uji baca Al Quran dengan menggunakan video call.

Ada 5 bakal calon yang beragama non muslim dan terdapat 582 bakal calon yang tidak hadir mengikuti uji mampu baca Al Quran.

“Bagi yang tidak hadir, partai politik dapat mengajukan kembali yang bersangkutan pada masa perbaikan atau mengajukan bakal calon pengganti di masa perbaikan,” jelasnya.

"Terhadap bakal calon yang diajukan kembali atau bakal calon pengganti, yang tidak hadir di masa uji mampu baca alquran perbaikan, dinyatakan TMS dan tidak dapat dimasukkan ke dalam daftar calon sementara (DCS)," jelasnya.

Mengapa tidak diumumkan siapa saja yang tidak lulus dan dari partai mana? Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh mengungkapkan alasan mengapa mereka tidak mengumumkan nama-nama Bacaleg yang tidak lulus uji tes baca Alquran ke publik. 

Keputusan ini didasarkan pada peraturan KIP Aceh yang bertujuan menjaga nama baik Bacaleg dan partai yang bersangkutan.

Munawarsyah, Ketua Divisi Teknis Penyelenggara Pemilu KIP Aceh, mengatakan KIP Aceh mengambil langkah ini dengan mempertimbangkan aspek kehormatan dan perlindungan terhadap identitas Bacaleg yang tidak lulus uji tes baca Alquran. 

“Dalam keputusan KIP Aceh itu diatur, menjaga martabat personal dan menjaga nama baik partai, kita tidak menyebutkan orangnya dan partainya,” kata Munawarsyah kepada Dialeksis.com, Sabtu (17/6/2023).

Meskipun mereka tidak memenuhi syarat tertentu dalam tes tersebut, KIP Aceh berkomitmen untuk tidak mengungkapkan identitas dan partai mereka ke publik, menghindari potensi stigmatisasi dan dampak negatif lainnya.

Lebih lanjut Munawarsyah mengaku nama-nama Bacaleg yang tidak lulus uji tes baca Alquran hanya disampaikan kepada partai politik terkait, sementara kepada publik hanya diinformasikan jumlah Bacaleg yang tidak memenuhi syarat.

Keputusan ini diambil berdasarkan pertimbangan KIP Aceh untuk menjaga privasi dan nama baik Bacaleg yang tidak lulus uji tes baca Alquran. Dengan menginformasikan jumlah Bacaleg yang tidak memenuhi syarat kepada publik, KIP Aceh tetap memberikan transparansi mengenai hasil uji tes tanpa mengungkapkan identitas individu yang terkait.

Dengan menyampaikan nama-nama Bacaleg yang tidak lulus hanya kepada partai politik, KIP Aceh memastikan bahwa partai tersebut tetap mendapatkan informasi yang diperlukan terkait hasil uji tes baca Alquran. 

Hal ini memungkinkan partai politik untuk melakukan evaluasi internal dan mengambil tindakan yang sesuai terkait pencalonan Bacaleg tersebut.

Dalam menjalankan tugasnya, KIP Aceh senantiasa mengutamakan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan perlindungan privasi individu. 

Keputusan untuk hanya mengumumkan jumlah Bacaleg yang tidak lulus uji tes baca Alquran kepada publik adalah langkah yang diambil untuk menjaga keseimbangan antara transparansi dan perlindungan terhadap hak-hak individu yang terlibat dalam proses pemilihan.

Tidak lulus tes baca Quran bagi sebagian Bacaleg, telah meriuhkan dunia maya. Bagaikan tidak masuk akal bila orang Aceh yang sudah balig tidak mampu membaca Alquran.

Menanggapi hal itu, pemerhati agama sosial politik Aceh, T Muhammad Jafar Sulaiman mengatakan, fenomena banyak Bacaleg yang tidak lolos baca Al-Quran menandakan ada persoalan serius di tubuh partai politik dalam mempersiapkan kader-kader politik.

"Para Parnas maupun Parlok telah gagal dalam peningkatan kualitas anggotanya, hal ini menandakan sistem pengrekrutan anggota partai politik itu masih belum memenuhi sebuah standar partai politik yang baik," ujarnya kepada Dialeksis.com, Minggu (18/6/2023).

Menurut pemerhati keberagaman itu, persoalan keagamaan itu tidak menjadi satu concern serius bagi Parnas maupun Parlok, tidak ada partai yang serius dalam memberikan pendidikan aspek keagamaan bagi anggota Parpolnya.

"Mungkin bagi partai politik, menganggap soal keagamaan sudah selesai sebelum seseorang itu menjadi kader partai," sebutnya.

Jafar menjelaskan, ada prinsip penting yang sampai hari ini belum terwujud di negeri ini yaitu meritokrasi, adalah satu konsep penempatan seseorang dengan kemampuannya atau dengan keahlian di bidang tertentu.

"Faktanya, di Aceh kader Parpol penempatan seseorang itu bukan pada keahliannya, latar belakang pendidikannya, tapi berdasarkan kedekatan, relasi, rekomendasi dan sebagainya, sekalipun yang bersangkutan tidak ahli di bidang tertentu, makanya meritokrasi tidak terwujud di Aceh," ungkapnya.

Terpenting, menurut Jafar, semua orang Aceh tidak perlu berharap banyak bahwa tidak ada sama sekali hubungan mampu baca Al Quran Caleg dengan kinerja ke depan.

"Tidak menjamin dia tidak korupsi, menyalahi kewenangan, karena tes itu hanya sebuah formalitas dikarenakan Aceh berlaku Syariat Islam. Jadi tidak harus bermimpi bahwa kemampuan baca Al Quran Bacaleg berpengaruh terhadap akhlak dan moral yang bagus," terangnya.

Satu sisi, kata Jafar, fenomena ini mencoreng nama Aceh karena syariat Islam yang dijalankan hanya di permukaan dan tidak menyentuh kepada para pengambil kebijakan baik eksekutif maupun legislatif.

"Etika-etika publik ini tidak didapat dari uji baca Quran, tetapi didapat bagaimana dari cara dia merespons kepentingan publik dalam persoalan kesejahteraan," ucapnya.

Kemampuan dasar ini, lanjutnya, jika tidak dimiliki maka tidak akan ada perubahan bagi Aceh karena semua itu dikaji dengan pendekatan agama. Persoalan investor, pembangunan, peningkatan perekonomian itu selalu dikaji dengan pendekatan agama sesuai syariat islam atau tidak.

"Padahal bicara kesejahteraan, investasi, modal dan sebagainya itu tidak berkorelasi dengan itu, tidak berarti juga bahwa persoalan ini jauh dari nilai agama. Karena rumusnya berbeda, nalar agama dengan nalar publik itu berbeda," pungkasnya. 

Selanjutnya »     Hal Buruk bagi Aceh Ini tamparan ba...
Halaman: 1 2 3
Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda