Beranda / Dialog / Syariahkah Bank Syariah di Aceh

Syariahkah Bank Syariah di Aceh

Sabtu, 15 Agustus 2020 17:30 WIB

Font: Ukuran: - +


Foto: dialeksis.com

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Paska lahirnyanya Qanun Aceh No. 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah, mulai dilakukan proses konversi lembaga keuangan konvensional menjadi berbasis syariah. Proses konversi lembaga keuangan konvensional di Aceh sudah dimulai dan direncakanan pada tahun 2022 semua lembaga keuangan di Aceh sudah berbasis syariah. Meski demikian masih banyak terjadi beragam pandangan dan tafsir terhadap lembaga keuangan syariah. 

Sebagian masyarakat berpandangan  tidak ada bedanya antara perbankan syariah dan perbankan konvensional. Bagi pendukung sistem “perbankan Islam” atau “perbankan syariat” bersikukuh kalau bunga bank yang diterapkan oleh “bank sekuler” (atau “bank konvensional”) masuk kategori riba yang diharamkan dalam Islam. 

Sementara itu di pihak lain, ada yang berpandangan bahwa bunga bank yang diterapkan oleh “bank sekuler” itu tidak termasuk kategori riba seperti yang dimaksudkan dalam ajaran Islam atau berbeda secara substansial dengan konsep riba yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadis. Umumnya yang paling populer anggapan masyarakat bahwa perbankan Islam menerapkan prinsip bebas bunga (nol persen) dalam transaksi apapun karena ada asumsi, tafsir, dan pemahaman bahwa bunga (apapun itu tanpa kecuali) adalah termasuk riba, sebuah praktik yang diharamkan dalam Islam sesuai dengan teks-teks dasar Al-Qur’an dan Hadis. 

Riba ini menjadi alasan paling mendasar dan karakteristik paling menonjol dari sistem perbankan Islam. Karena penekanan pada “bebas bunga” inilah maka perbankan Islam sering disebut dengan “perbankan tanpa bunga” (non- interest banking). Selain itu sistem dan mekanisme akad juga menjadi pembeda antara perbankan konvensional dan perbankan Islam. 

Jika pada bank konvensional akad atau perjanjian didasarkan pada hukum-hukum positif yang berlaku di masing-masing negara, maka perbankan Islam akad / perjanjian dibuat atau didasarkan pada hukum Islam yang, antara lain, mengharuskan adanya syarat dan rukun. Yang dimaksud dengan rukun adalah adanya penjual, pembeli, barang yang diperjualbelikan, harga barang, dan ijab-kabul dalam melakukan proses transaksi perbankan. Sementara yang dimaksud syarat adalah misalnya barang dan jasa yang ditransaksikan harus halal, harga pun harus jelas. 

Melalui tayangan poadcast youtube Jalan Ary, dialeksis menuliskan utuh wawancara di chanel tersebut. Berikut ini petikan isinya:

Apa saja dampak negatif atau positif dilakukan konversi Bank dari Konvensional ke Syariah di Aceh? 

Bila kita merujuk kepada UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA) mengamanatkan bahwa Aceh identik dengan Syariat Islam. Kemudian dari situ lahir yaitu Qanun Aceh nomor 8 tahun 2014, qanun ini menyatakan bahwa praktek keuangan di Aceh berdasarkan Syariah. Kemudian dalam Qanun Aceh No. 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah. Qanun ini menyatakan pada saat qanun ini mulai berlaku, lembaga keuangan yang beroperasi di Aceh wajib menyesuaikan dengan qanun ini paling lama 3 tahun sejak Qanun ini diundangkan. artinya terhitung sejak tahun 2022 semua lembaga keuangan di Aceh harus sudah menerapkan prinsip keuangan syariah.

Aceh harus menjadi lokomotif atau pilot project dari keuangan syariah. Terlebih berdasarkan survei selama ini, lembaga keuangan berbasis syariah relatif bertahan lebih baik daripada lembaga keuangan konvensional. Hal ini bisa dilihat dari krisis monoter tahun 2008 silam, dimana Bank Muamalat -yang merupakan Bank Syariah Pertama di Indonesia kala itu “ tetap bisa eksis padahal ketika itu Bank lain sudah pada bertumbangan.

Pada masa pandemi covid seperti saat inipun tetap tumbuh. Karena konsep yang dikembangkan Bank Syariah itu tidak ada konsep meminjam uang. Bahwa sesuatu yang dipinjam dari Bank Syariah, ada underlying asset (aset acuan -red). Kalau uang yang dijadikan capital modalnya, akan bermasalah ketika tidak punya aset. Sedang bank syariah tidak membisniskan uang namun membisniskan aset. Sehingga kalau nasabah untung, Bank juga untung. Kalau hari ini masa pandemi ada masalah dengan perputaran keuangannya, maka dia juga akan turun. Jadi dalam konsep keuangan syariah tidak ada yang dizalimi satu sama lain.

Apakah praktek Bank syariah yang diterapkan selama ini sudah sesuai dengan prinsip syariah atau hanya kemasannya saja yang syariah sedangkan prakteknya masih mengacu kepada praktek bank konvensional?

Pertanyaan ini sudah banyak didiskusikan selama ini. Pertanyaan yang mengememuka sudahkah syariahkah Bank Syariah?. Sebenarnya kalau kita merujuk kepada Peraturan OJK dan Peraturan Bank Indonesia. Peraturan ini lahir dari Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) yang diproduk Majelis Ulama Indonesia. Untuk mengukur sudahkah sebuah lembaga keuangan menerapkan prinsip Syariah pada dasarnya tidak dapat sekedar merujuk buku fikqh yang ada. Karena buku fiqih yang ada tidak mampu menjawab problematika kekinian.

Sisi syariah disini berdasarkan fatwa fatwa yang dikeluarkan DSN. Operasionalisasi DSN ini yang dibawa pada praktek keuangan Setiap fatwa yang dikeluarkan sudah diuji. Karena berbicara muamalah ini berbeda dengan ibadah. Karena orientasi muamalah adalah kemaslahatan atau keuntungan bersama. Kalau kita menggunakan fiqih lama, terkadang tidak tercover kebutuhan hari ini. Contohnya, apakah boleh jual beli emas secara cicilan? Secara hukum syariah hal tersebut termasuk hukumnya haram. Namun faktanya kenapa ada Bank Syariah yang menjual emas secara cicilan. Kenapa boleh? Ternyata bila kita merujuk pada kitab yang ada hanya ada satu mahzab yang ada seperti kitab fatwa Ibnu Taimiyah. Kenapa dilarang karena emas itu dianggap cash flow seperti uang. Ketika uang diperjual belikan maka tidak boleh dalam jangka waktu lama. Harus cash and carry. Seperti ketika kita menjual uang ringgit dengan rupiah, maka tidak boleh kita tukar hari ini ambil rupiahnya besok. Tidak bisa seperti itu karena akan terjadi fluktuasi.

Maka dalam hadis dikatakan, kalau jual beli emas dengan emas atau perak dengan perak harus tunai dan tidak ada penundaan pembayaran. Lantas mengapa hari ini Bank Syariah ada yang menerapkan produk jual beli emas secara cicilan tadi? Pendapat Ibnu Taimiyah bahwa kalau pencetakan uang tidak dijadikan landasan pengukur nilai, maka ilat emas itu sudah berubah sebagaimana barang komoditas lainnya. 

Jadi praktek keuangan syariah di Indonesia adalah fatwa DSN yang kemudian diundangkan dalam peraturan OJK dan BI. Jadi alat ukurnya itu.

Ada fakta menarik di publik, bahwa ada semacam ketidaksiapan proses konversi bank syariah di Aceh. Pendapat anda?

Ini menarik. Bahwa yang namanya Bank Syariah pada dasarnya harus memberikan keuntungan bagi nasabah. Karena Bank itu memang hakikatnya lembaga bisnis. Yang menarik saat ini sejumla bank bank besar yang platformnya non muslim berlomba hijrah hijrah ke Bank Syariah, seperti ANZ Bank, Deustch Bank, CNB Bank. Artinya ada keuntungan disini. Mereka tentu tidak main main. Ada perputaran uang yang menguntungkan disini. Lantas mengapa muslim sendiri tidak siap ketika non muslim sendiri yakin bahwa konsep ekonomi syariah menguntungkan.

Ketika kita kembali ke Syariah yang pure atau murni, itu akan memberikan keadilan dan kemaslahatan bagi segenap makhluk. Kehadiran lembaga keuangan syariah harus memberikan kemasalahatan bagi rakyat Aceh. Dari sisi konsep, keuangan syariah sangat menjanjikan. Tinggal komitmen dari pelaku keuangan syariah itu sendiri. Pekerjaan rumah kita kedepan agar pelaku keuangan ekonomi syariah benar benar komitmen menjalankan praktik syariah dalam bisnis. Harus full heart atau sepenuh hati.

Apakah dalam kurun waktu 3 tahun itu konsep keuangan syariah benar benar dapat teralisasi di Aceh?

3 tahun ini adalah proses konversi lembaga keuangan menjadi syariah. Namun yang perlu menjadi perhatian sebenarnya bukan hanya edukasi kepada pekerja lembaga keuangan syariah di Aceh, yang paling penting adalah edukasi terhadap masyarakat Aceh sendiri perihal keuangan syariah. Karena sejauh ini masih ada beragam pandangan atau mindset terkait lembaga keuangan syariah.

Ada kasus dulu sempat heboh, salah satu masyarakat Aceh yang berprofesi sebagai akademisi di salah satu perguruan tinggi negeri Aceh, menyatakan bahwa ternyata Bank syariah di Aceh masih menerapkan praktik bunga juga dalam menarik keuntungan?

Ini yang menurut saya pemahaman yang salah. Misalnya ada yang mengambil pembiayaan untuk beli mobil. Namun ternyata dia tidak membeli mobil tersebut. Ini dari segi akad sudah salah. Kalau diketahui Dewan pengawas Bank tersebut terancam dilikuidasi. Ini yang salah dua pihak, yaitu nasabah dan Bank. Dari segi rukun jual beli salah karena tidak ada barang. 

Apabila nasabah tidak mau membayar dengan sengaja maka dia dapat dikenakan ta’zir atau denda berdasarkan fatwa dsn, peraturan Bank Indonesia dan UU Perbankan Syariah. Ada tambahan pembayaran namun tidak dicatat sebagai keuntungan namun dimasukan ke kas dana sosial.

Apakah keunggulan Bank Syariah dibanding Bank Konvesional?


Semua yang dilakukan bank konvensional hampir semua dapat dilakukan oleh bank syariah. Kecuali bisnis riba atau sistim pembungaan uang, unsur tipu menipu, ketidakpastian atau bisnis yang bersifat merusak. Seperti pembiayaan terhadap bisnis rokok. Itu tidak bisa karena berdasar fatwa DSN rokok itu haram. Semua sistem bisa digunakan tapi ribanya dibuang. Contoh tidak boleh pinjam uang di Bank Syariah. Dia harus ada undelying asset. 

Pembiayaan dapat dilakukan bila ada bisnis yang ingin dikelola dengan konsep sharing modal. Bank syariah melakukan pembiayaan sebagian dari kebutuhan modal dengan konsep bagi hasil terhadap keuntungan bisnis. Jadi keuntungan dan kerugian ditanggung bersama. Namun kalau di Bank Konvensional, bank tidak mau tahu apakah bisnis anda lancar atau tidak. Anda harus tetap membayar kewajiban meskipun bisnis anda mengalami ketidaklancaran keuntungan. Karena sedari awal akadnya atau perjanjian adalah akad riba. Bank meminjamkan sejumlah uang kepada nasabah dengan perjanjian bunga tertentu.

Fitur fitur di Bank Syariah sangat fleksibel pada dasarnya. Cuma memang yang banyak dipraktikan saat ini adalah Murabahah atau perjanjian jual-beli antara bank dengan nasabah. Praktik transaksi yang memungkinkan bagi nasabah untuk menyelesaikan masalah finansial ketika kesulitan membeli suatu barang.

Perbedaan paling esensial adalah pada akad. Bank Syariah menggunakan akad jual beli. Sedangkan Bank Konvesional menggunakan perjanjian hutang piutang.

Saran terkait ekonomi syariah di Aceh?

Saya kira Pemerintah perlu serius terhadap ekonomi syariah di Aceh. Perlu mendukung penuh juga edukasi terhadap perbankan dan masyarakat Aceh sekaligus. Saya yakin apabila itu dilakukan ekonomi Aceh akan tumbuh secara positif.  


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda