Beranda / Liputan Khusus / Diaspora / Identitas Diaspora Orang Aceh "Kedai Runcit di Malaysia"

Identitas Diaspora Orang Aceh "Kedai Runcit di Malaysia"

Minggu, 06 Desember 2020 10:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis: Muhammad Ichsan,.S.Pd,.M.Hum (cn)/Mahasiswa Magister Kajian Asia Tenggara FIB UI


Mengingat bahwa people to people interaction menjadi salah satu faktor penting dalam mempererat hubungan Indonesia dan Malaysia. Dalam hal ini diaspora dapat menjadi salah satu bagian dari masyarakat atau individu yang akan melakukan kontak antar masyarakat.

Diaspora seringkali didefinisikan sebagai penduduk yang menetap di negara lain. Dalam perkembangan diaspora dewasa ini memiliki peran penting dalam interaksi internasional khususnya dalam mendorong kerjasama Indonesia dan Malaysia. Diaspora Indonesia juga diharapkan dapat memperkuat hubungan bilateral hubungan Indonesia dan Malaysia.

Keberadaan diaspora Indonesia yang tersebar di seluruh dunia diperkirakan berkisar antara 8-10 juta orang. Tersebar di 120 negara yang berada di kisaran 3% dari total jumlah penduduk di Indonesia. Tersebar di tujuh benua yakni Amerika Utara, Amerika Selatan, Antartika, Afrika, Eropa, Asia dan Australia.

Diaspora berasal dari bahasa Yunani kuno yang berarti penyebaran atau penaburan (Kemendag, 2017). Selanjutnya beberapa kajian (Romdiati, 2015) menyebutkan bahwa, diaspora adalah emigran dan keturunannya yang tinggal di luar negara tempat leluhurnya, namun mereka masih mempertahankan hubungan emosi dengan negara asalnya tersebut. Hubungan emosi tersebut misalnya tercermin dari kebiasaan makan dan bersosialisasi.

Pengertian tersebut tentu saja mengakibatkan jumlah diaspora Indonesia menjadi sangat banyak. Selain itu, para diaspora itu cenderung pergi dari Indonesia berdasarkan motivasi ingin menambah ilmu (pelajar, mahasiswa), ingin memperbaiki kesejahteraan (pekerja, TKI, atau mengikuti pasangan yang menjadi warga negara tujuan diaspora), dan mungkin alasan politik (diaspora yang terpaksa pergi dari Indonesia).

Motivasi tersebut menunjukkan bahwa Indonesia sebagai negara asal, dipersepsikan sebagai negara yang kurang mampu memenuhi keinginannya (mempunyai banyak nilai negatif). Negara tujuan, sebaliknya, dipersepsikan lebih maju daripada Indonesia (lebih banyak nilai positifnya). Di samping itu, para diaspora TKI tersebut pada umumnya adalah pekerja kasar, bernasib buruk, baik ketika akan meninggalkan Indonesia, ketika berada di negara tujuan dan ketika kembali lagi ke Indonesia (Faturochman, 2002).

Kosmopolitanisme semakin menjadi aliran yang penting sejak dimulainya era globalisasi. Perubahan sosial yang terus terjadi di era global di mana di sana “ sini terjadi pertemuan kebudayaan yang membuat berbagai lokalisme semakin terkikis, masyarakat semakin menyadari dirinya sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Kosmopolitanisme terkait erat dengan istilah kewarnegaraan dunia.

Diaspora pada akhirnya berperan dalam terbentuknya budaya kosmopolitan. Penyebaran manusia dari berbagai belahan bumi ke berbagai belahan bumi lain, saling bertemu, berkomunikasi, membentuk jejaring, pada akhirnya merupakan pertemuan antar budaya, saling menghargai, saling menghormati, berbaur. Setiap hari terjadi perbauran dan secara perlahan menciptakan suatu perubahan sosial dan budaya ke arah tatanan sosial dan budaya baru, budaya kosmopolitan, (M. Imam Santoso, 35 : 2014).

Diaspora Aceh sangat terkait dengan maju-mundurnya konflik. Perang yang terus berlangsung mendorong terciptanya jejaring yang intensif di kalangan orang Aceh di luar negeri yang bertumpu pada afiliasi-afiliasi politik, ekonomi, etnik, dan kekerabatan.

Maka, kesulitan-kesulitan yang bersumber dari konflik ini pun berakibat pada penguatnya perasaan senasib sepenanggungan dan solidaritas antara sesama etnis Aceh di taraf transnasional. (Antje Misback, 4 : 2012).

Banyak migran dan pengungsi Aceh yang khusus mengandalkan jejaring kekerabatan dibandingkan hanya mengandalkan bantuan kelembagaan dari pemerintah Malaysia atau dari kelompok-kelompok resmi Aceh.Jejaring kekerabatan ini termasuk melalui hubungan darah/keturunan dan pernikahan. Susan Pattie (1999:85) memberikan label ikatan-ikatan keluarga ini sebagai “perekat komunitas diaspora”. (Antje Missbach, 87 : 2012).

Seandainya pun mereka tidak memiliki kerabat di Malaysia, bantuan dari rekan-rekan sekampung pun masih bisa diharapkan. Menurut Terrence Lyons (2007:531), ketertarikan dengan lokalitas tertentu“dapat menciptakan identitas bersama sekalipun sebelumnya tidak ada hubungan yang erat”.

Jejaring lokal yang informal menyediakan ruang persinggungan yang penting bagi pendatang baru Aceh. Era pascakonflik dan tsunami diiringi ledakan ekonomi karena banyaknya gelombang bantuan Internasional. Tidak seperti diasporan Aceh di Barat, para pengusaha Aceh di Malaysia tertarik menghidupkan kembali hubungan bisnis antara Aceh dan Malaysia. Salah satu inisiatif bisnis baru tersebut adalah Aceh Trading Center (ATC) yang dikelola oleh sejumlah ekspelajar Aceh di Penang.

ATC memiliki dua tujuan, yakni mempromosikan produk pertanian Aceh (kopi, kelapa sawit, kopra, pinang dan pala) di Malaysia, dan mengundang investor Malaysia ke Aceh.

Sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh kasus-kasus inisiatif bisnis diaspora diatas, meskipun ada antusiasme yang besar, namun hanya sedikit yang kerja sama bisnis antara pengusaha Aceh di Malaysia dan Aceh yang membuahkan hasil. Ada satu pengecualian yang langka yaitu perusahaan patungan yang melibatkan pemerintah Aceh dan Lembaga Kemajuan Tanah Persekutuan (Malaysian Federal Land Development Authority, FELDA), (Antje Missbach, 255 : 2012).


Salah satu menarik dari diaspora orang Aceh yaitu aktivitas peruncitan (Kedai Runcit) telah lama berada di Malaysia sejak dahulu yang lebih menfokuskan kepada jualan barangan keperluan harian. Kebanyakan pengguna bergantung kepada pasar dan kedai-kedai runcit untuk mendapatkan barangan keperluan harian mereka. (Siti Rahmah Awang et al., 2002).Lokasi pasar dan kedai runcit bertumpu pada kawasan perumahan dan kejiranan yang bertujuan memudahkan pengguna untuk mendapatkan barangan keperluan.

Di Malaysia, industri peruncitan merupakan antara industri yang penting dan memberi sumbangan yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi negara. Sektor ini sentiasa memberi sumbangan yang besar dari segi sumbangannya terhadap Keluaran Dalam Negara Kasar (KDNK) dan daripada kadar gunatenaga buruh yang terlibat di dalam kegiatan peruncitan.

Sektor ini terbentuk daripada gabungan peruncit, perniagaan kecil dan pasar basah. Di samping itu, sektor peuncitan juga merupakan gabungan antara pasar raya, koperasi bersatu dan kedai-kedai yang menjual peralatan tertentu dan diletakkan di dalam satu plaza membeli belah di kawasan perbandaran.

Perniagaan runcit adalah satu-satunya sektor perniagaan yang paling senang diceburi di Malaysia dan jenis perniagaan runcit yang popular diceburi adalah perniagaan groseri atau perniagaan pembekalan makanan.

Satu kajian telah dijalankan oleh Perbadanan Usahwan Nasional Berhad di Negeri Sembilan pada tahun 1986 tentang penglibatan bumiputera dalam perniagaan, telah melaporkan bahawa lebih daripada 25 peratus peniaga bumiputera dalam negeri berkenaan telah melibatkan diri dalam perniagaan barangan runcit.

Industri peruncitan merupakan penyambung terakhir di dalam aliran produk-produk daripada pengeluar kepada pengguna. Maka ianya merupakan penyambung terakhir dalam aliran produk-produk negara. Ekonomi tidak boleh berfungsi tanpa peruncitan dan keberkesanan industri peruncitan secara amnya memerlukan industri pemborongan. Peruncitan pula adalah sebarang perniagaan yang menjual barangan dan perkhidmatan kepada penggunan akhir untuk kegunaan peribadi atau keluarga.

Peruncitan adalah peringkat terakhir dalam saluran agihan yang menghubungkan pengeluar dengan pengguna akhir. Dalam kata lain, peruncitan adalah satu set perniagaan. Oleh itu perniagaan runcit bermaksud perniagaan yang menjalankan urusniaga menjual kepada pengguna dalan kuantiti yang sedikit. Perniagaan runcit. (Prosiding Perkemb V, Jilid 2, 141 “ 151 : 2010).

Rasanya tidak ada masyarakat Aceh yang tidak pernah mendengar kawasan Chow Kit, Kuala Lumpur “ Malaysia, sebab kawasan ini dikenal sebagai pasar dagangnya masyarakat Aceh di Malaysia.

Nah, apabila kita berkunjung ke Malaysia, seolah belumlah dianggap lengkap seandainya kita belum singgah untuk mengunjungi ‘pasar Aceh,-nya warga Aceh di Malaysia tersebut. Terbagi kepada perniagaan runcit kecil-kecilan (penjaja, pengerai dan pekedai runcit) dan perniagaan runcit besar-besaran (pasar raya, pasar raya besar, kedai sejaras dan gedung serbanika).

Objektif kajian ialah mengenalpasti masalah yang dihadapi oleh usahawan Melayu dalam perniagaan peruncitan yaitu peniaga kedai runcit dan termasuk peniaga pasar mini. Kajian juga mencoba mengenalpasti faktor yang menjadi penentu kepada kejayaan usahawan peniaga kedai runcit dan pasar mini Melayu di kawasan daerah Hulu Langat dan memberikan cadangan yang boleh diambil untuk meningkatkan lagi pencapaian usahawan Melayu di masa akan datang.

Pasar Chow Kit terletak di ujung utara Jalan Tunku Abdul Rahman, namun kebanyakan pedagang Aceh berdagang di sepanjang jalan Raja Alang yang bersisian dengan Safuan Plaza. Sementara itu kedai-kedai runcit (kelontong) berada teratur setelahnya, begitupun kios-kios jamu yang juga milik orang Aceh ini berjejer dengan rapi. Mudah saja kita mengenal para pedagang Aceh di sana, sebab semua mereka menggunakan bahasa Aceh dalam bertutur, persis seperti Pasar Aceh di Aceh terkecuali bila ada pembeli orang Melayu.

Memang pedagang Aceh di Malaysia sebenarnya tidak hanya di Chow Kit ini saja, banyak dari mereka juga menyebar di wilayah-wilayah lain di Malaysia, seperti : di Puchong, Sungai Tangkas, Kajang, Bandar Tasik Selatan, Sungai Buloh. Akan tetapi Chow Kit adalah sentralnya pedagang Aceh. Konon, menurut seorang pedagang di sana, jika bulan Maulid tiba, di kawasan Chow Kit ini kerap digelar Kenduri Maulid dengan menyembelih 12-15 ekor sapi. 

Penulis: Muhammad Ichsan,.S.Pd,.M.Hum (cn), Mahasiswa Magister Kajian Asia Tenggara FIB UI  

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda